Chereads / ABOUT HALF / Chapter 3 - Bab 3 - Invisible

Chapter 3 - Bab 3 - Invisible

Satu kata yang menggambarkan seorang Najina; Jalang.

Dari serangkaian komentar yang perempuan itu baca dari layar pipih itu semuanya menunjukkan hal yang sama bahwa Jina memanglah seorang jalang yang menjual tubuhnya kepada semua pria kaya raya.

Bukan tanpa alasan, sebab siapa yang patut disebut serendah itu jika bukan seseorang yang mendapatkan skandal bermalam dengan dua pria berbeda dalam satu hari yang sama. Seakan pekerjaannya memang menjadi jalang untuk memuaskan kaum pria.

Ya, hanya Jina yang bisa mengalaminya.

Belum reda kabar berkencan dan bermalamnya di sebuah hotel privat di Dhives dengan aktor Britania itu. Jina kembali dihadang kelam berupa video yang terlihat syur bersama pebisnis nomor satu di dunia sekaligus suami dari kenalan akrab perempuan itu.

Padahal ingat namanya saja, Jina tidak sama sekali.

Seolah-olah hidup dan hadirnya Jina memang ada hanya untuk bulan-bulan masyarakat di dunia ini.

"Bagaimana wajahnya bisa semirip aku, ya?" tanya Jina bermonolog pada dirinya sendiri.

"Itu jelas bukan wajahmu," sahut Shan yang tengah sibuk menyerbu jalanan gelap dengan setir kemudi.

"Tapi sangat mirip denganku memang. Pantas saja jika semua orang percaya dengan video ini."

"Tidak perduli sepandai apa orang yang mengeditnya, itu jelas hanyalah sebuah editan," tegas Shan.

"Lihat, bahkan ada tahi lalat di punggungnya juga sama dengan milikku," ucap Jina lagi.

"Makanya sudah kubilang jangan memakai baju terbuka. Orang yang berniat jahat pasti akan melakukan segala cara untuk menjatuhkan bahkan dengan detil sekecil itu," ucap Shan mendadak meninggi.

Lautan amarah terpantri jelas dari sosok itu. Lengannya yang mengeras memperlihatkan otot-ototnya membiru kuat, cengkeraman kencangnya pada kemudi dan suaranya yang mendadak meninggi itu menjadi penandanya.

"Aku memakainya juga karena sponsor," balas Jina terdengar tanpa terbebani. "Lihatlah! Mereka bahkan membuat tahi lalat di atas mata seperti milikku."

"Aku ingin muntah!" lanjut Jina masih menonton video pada ponselnya. "Ini menjijikkan sekali. Bagaimana mungkin tanganku menyentuh milik pria itu seperti itu dan mulutku— ewh." Jina memberi gestur ingin muntah ke depan merasa jijik.

"Berhenti menonton itu!" Shan segera mengambil ponsel Jina, menekan tombol mati lalu melemparnya sembarang ke kursi belakang.

"Kenapa kau masih sanggup melihat video itu dan membaca semua komentar untukmu? Kau tidak punya otak sama sekali, Jin," ucap Shan dengan amarah yang semakin meletup.

Jane hanya menghela napas panjang. Menyandarkan kepalanya ke arah pintu dengan pandangan kosong menatap ke jalanan gelap di depan.

"Aku hanya tidak tahu harus melakukan apa," cicit Jina bersuara. "Jika aku menonton video aku bisa merasakan ingin muntah dan jijik. Jika aku membaca komentar aku bisa mentertawakan dan membodohkan mereka semua. Tapi jika aku tidak melakukan apa-apa, aku merasa sedih," lanjutnya.

"Baca buku atau tidur saja itu lebih baik," ucap Shan.

Jina kembali menegakkan tubuhnya menatap ke arah pria yang sudah dianggap sebagai adik olehnya dengan tatapan penuh binar melepuh.

"Shan, haruskah kita pergi ke Fleur saja? Kita bertiga tinggal di sana lalu membuka restoran saja bagaimana?" tanya Jina kepada Shan. "Kita jual villa-ku di Dhieves. Meskipun Fleur belum terkenal seperti Dhieves tapi aku yakin tidak lama lagi Fleur akan terkenal."

"Berhentilah membicarakan omong kosong!" pekik Shan melirik sekilas ke arah Jina. "Lebih baik kau tidur saja. Perjalanan kita masih jauh."

Jina menyebik dengan sebal ke arah Shan. Menjatuhkan kepalanya kembali pada titik keras dari palang pintu mobil SUV yang dikendarai mereka.

Tidak ada kata lagi yang keluar dari keduanya selama beberapa detik. Jina hanya menatap kosong ke depan dengan pikiran yang hanya perempuan itu sendiri mengerti. Shan melirik dan turut jatuh ke dalam rasa bersalah atas keadaan yang harus Jina alami.

"Aku bersumpah akan menangkap orang yang memfitnah-mu, Kak," kata Shan dengan penuh ikrar keyakinan.

Hening masih terus menyingkap diri mereka. Jina jatuh ke dalam pikiran yang benar-benar lelah menjalani kehidupannya.

Rangkaian jalanan gelap yang hanya disinari oleh lampu dari mobil yang dikendarai itu seolah gambaran diri Jina. Tidak perduli sebanyak apa kendaraan yang melintasi kegelapan hidupnya, Jina hanya akan sendirian dalam gelapnya kosong dan sunyinya hidup seperti itu.

Tidak akan ada yang tahu bagaimana melelahkannya hidup Jina. Tidak akan ada orang yang tahu bagaimana perasaan Jina selama ini. Tidak akan ada orang yang tahu mengapa Jina memilih hidup bak sebatang kara seperti ini padahal dirinya mampu untuk bertamasya bersama semua teman-temannya.

Tapi apakah sebenarnya Jina juga mengerti mengapa dirinya hidup seperti ini? Nyatanya dia sendiri juga tidak tahu. Dia hanya menjalani kehidupan dengan ala kadarnya di dalam dunianya sendiri.

"BERHENTI!!" teriak Jina dengan sangat kencang. Tangannya menyentuh lengan Shan.

Sontak Shan menginjak rem dengan mendadak penuh keterkejutan yang membuat tubuh kedua orang di dalam harus terpelanting terdorong ke depan.

"Ada apa?" tanya Shan dengan kebingungan.

"Ada yang tertabrak," kata Jina. Perempuan itu membeku pada sudut yang sama dengan wajah yang berubah begitu menegang ketakutan.

"Tunggu di sini! Aku akan memeriksa."

Shan lantas melepas sabuk pengaman dan berjalan keluar dari mobil. Laki-laki itu segera memeriksa ke bagian depan kap mobil. Namun, tidak ada apa-apa. Tidak ada bekas tabrakan pada bagian depan mobil.

Shan lantas berjongkok ke bawah melihat sesuatu namun nihil. Pandangannya menatap ke arah Jina yang masih membeku dengan raut ketakutan di dalam mobil memberi tanda bahwa tidak ada apa-apa.

Untuk memastikan sekali lagi, Shan berjalan ke bagian belakang untuk melihat jejak yang mungkin bisa dipastikan. Namun juga nihil.

Tapi, itu nyata.

Mendadak angin kencang datang berhuwus ke sekitar mereka. Angin yang begitu kencang terdengar oleh telinga dan begitu dingin terasa oleh kulit.

"AHHHH!"

Shan segera berlari membuka mobil menuju ke arah suara Jina yang berteriak kencang.

"Ada apa, Kak?" tanya Shan dengan gurat khawatir.

Jina menutup matanya dengan kedua telapak tangannya. Tubuhnya terlihat begitu bergetar penuh ketakutan.

Dengan tergagap Jina berkata, "Ada sesuatu di sampingku."

Shan menghela napasnya dengan frustasi. Laki-laki itu segera masuk ke dalam setelah memastikan tidak ada apa-apa seperti yang Jina katakan. Angin masih terdengar kencang bahkan ketika mereka sudah duduk di dalam mobil.

"Tidak ada apa-apa. Tidak ada yang tertabrak ataupun sesuatu yang kau maksud," kata Shan.

"Aku sungguh melihat ada yang tertabrak, Shan!" pekik Jina dengan kencang menatap ke arah Shan. "Lalu dia tiba-tiba berdiri di sampingku," lanjut Jina.

"Tenanglah!" pinta Shan. "Tidak ada apa-apa. Itu hanya pikiranmu saja."

"Aku tidak berbohong, Shan!" pekik Jina sekali lagi berusaha meyakinkan Shan. "Aku sungguh melihat sesua—AKHHH!"

Jina kembali berteriak dengan tangan yang kembali menutupi wajahnya. Shan segera mengikuti arah pandang Jina yang menuju ke bagian samping dari tempat Shan duduk.

Tidak ada apapun yang Shan lihat. Hanya hamparan gelap dengan liukan angin yang menerpah.

"Kak Jina, tenanglah! Tidak ada apa-apa di sini."

"Ada sesuatu di belakangmu!" teriak Jina.

Shan segera meraih lengan Jina berusaha untuk menyingkirkan tangan itu dari wajahnya.

"Lihat!! Buka matamu, Kak!" ucap Shan dengan tegas, memaksa Jina untuk membuka matanya. "Apa kau melihat sesuatu di sini?" tanya Shan lagi ketika perlahan Jina membuka matanya.

Tidak ada apapun yang Jina lihat. Berbeda sekali dengan sebelumnya. Jina tidak sedang berbohong atau berhalusinasi. Sosok itu, yang sebelumnya tertabrak kemudian berpindah ke sampingnya lalu menyeringai di belakang tubuh Shan memang sungguh Jina lihat.

"Kita lanjutkan perjalanan kita saja, ya?" pinta Shan dengan lembut.

Tidak ada jawaban dari Jina. Perempuan itu hanya kembali menapuh kekosongan dalam dirinya.

***

"Ada kabar dari Berith," ucap Dimitri yang tengah mengebor setiap langkah dari Sonneillon di dalam penthouse mewah itu. "Dia menemukan perempuan itu."

Langkah Sonneillon segera berhenti. Membalik tubuhnya untuk menatap ke arah Dimitri, menuntut penjelasan yang lebih dalam.

"Berith menemukannya di Jembatan Azallea," tambah Dimitri.

"Itu tidak jauh dari tempat kita," jawab Sonneillon.

Itu benar.

Mesias, sebuah jalan yang menuju markas besar bangsa iblis di bawah lautan sana. Jalan perantara yang akan menghantarkan semua iblis datang ke bumi dari berbagai tempat di bawah bumi, di lautan ataupun di antara langit dan bumi.

Tempat itu menyilang dengan jalanan manusia. Tempat itu menyimpan banyak kisah kelam antara manusia dan bangsa iblis.

"Bagaimana Berith bisa tahu?" tanya Sonneillon.

"Aromanya samar tercium. Tapi dia belum bisa memastikannya karena itu dia meminta kita melihatnya sendiri," terang Dimitri.

"Apa yang membuat Berith sangat yakin?"

"Wajahnya benar-benar secerah matahari dan ada penyihir bersamanya."

***