Nama Joni tertera di sana. Kevin segera mengangkatnya. "Iya Jon, ada apa?"
Namun Kevin terkejut, ketika suara istrinya yang terdengar di sambungan telepon.
"Vin, tasku ketinggalan di mobil, nanti jangan lupa nanti ambil sekalian ya?!"
"Iya, nanti aku ambilkan." Tanpa meminta izin Kevin menutup sambungan telepon dari Marisa begitu saja, mulutnya sudah gatal ingin melabrak pengemudi yang mobilnya persis di depannya ini.
Kevin berdiri di samping mobil yang menyerobot tempat parkirnya tadi, lalu mengetuk kaca mobilnya.
"Permisi! Bisa keluar sebentar!"
Tak lama sang pengemudi turun dari mobil sedannya dan menemui Kevin. Ia sendiri sedikit heran ketika seseorang berdiri dan mengetuk kaca mobilnya. Mungkin ia tidak menyadari apa kesalahannya.
Bukan tidak menyadari kesalahannya lagi sepertinya, bahkan wajahnya terlihat cuek menatap Kevin dengan pandangan malas seolah meremehkan.
Kevin kesal melihatnya, wanita muda berparas cantik itu sangat kontras dengan sikap yang terkesan arogan.
Kalau saja yang keluar adalah seorang laki-laki dan bersikap seperti itu, mungkin Kevin sudah membentaknya, tapi Kevin masih bisa menahannya karena yang ditemuinya kali ini adalah wanita.
"Iya?" Cara wanita itu bertanya saja seperti itu, kata-katanya irit dan sedikit menaikkan sudut bibirnya.
"Maaf, Anda telah merebut tempat parkir saya."
Wanita muda tadi mengerucutkan bibirnya. Bukan hanya ekspresi wajahnya, kata-katanya juga sangat menyebalkan. "Tempat parkir masih banyak dan luas, kan belum ada tulisan dipesan oleh Anda juga."
"Tapi saya sudah mau menempatinya, Anda tidak tau atau tidak peduli?" tanya Kevin, ia mulai geram.
"Saya lebih dulu," jawab wanita itu masih tak mau kalah.
***
Marisa berpikir mungkin Kevin terlalu panik sehingga memutus sambungan telepon darinya begitu saja.
Karena terburu-buru, tadi Marisa meninggalkan tasnya di mobil tadi, padahal kini ia harus membayar DP rumah sakit karena ibu mertuanya ngotot meminta dirawat secara intensif di rumah sakit.
"Kenapa Kevin lama sekali ya?" Marisa menjadi resah sekaligus malu kepada suster bagian administrasi.
Joni yang melihatnya tak tega lalu menghampiri Marisa. "Nyonya susul Tuan saja, biar saya yang menjadi jaminan di sini.
Karena sudah lama menunggu dan Kevin tak kunjung datang, akhirnya Marisa memutuskan untuk menyusul Kevin ke parkiran dan terpaksa meninggalkan Joni sebagai jaminan.
"Oke, makasih ya Jon," ucap Marisa.
Joni mengangguk dengan tersenyum tipis. "Iya Nyonya."
"Saya bayar nanti ya suster, saya mau susul suami saya dulu," pamit Marisa kepada suster bagian administrasi, setelah itu ia pergi.
**
Sesampainya di parkiran rumah sakit, Marisa melihat Kevin sudah menjadi pusat perhatian orang-orang yang parkir di sana. Ia melihat Kevin sedang ribut dengan seorang wanita muda dan cantik, lalu Marisa menghampirinya.
Marisa yang tidak mengerti persoalannya lalu bertanya kepada Kevin. "Ada masalah apa Vin?"
"Dia udah ngrebut tempat parkir aku Sa," jawab Kevin kesal.
Marisa menatap Kevin, lalu memegangi lengannya. "Ya udah, ayo cari tempat parkir yang lain aja…"
"Itu dengerin kata si tante." Sahut wanita itu tiba-tiba.
Kevin meradang, ketika mendengar istrinya yang dikira kakaknya, karena Marisa dan Kevin sebenarnya seumuran, hanya saja memang wajah Marisa lebih terlihat boros, dengan perawakan yang tidak langsing, mungkin itulah yang membuatnya terlihat lebih tua dari usianya yang sebenarnya.
"Jangan sembarangan ya Anda, ini istri saya!" Seru Kevin.
Bohong jika Marisa tidak marah dengan ucapan lancang dari wanita muda sok tau tadi.
Namun marah-marah bukan sifat Marisa, kalau Kevin memang keras sifatnya. Marisa justru sedih karena ini berarti ia sudah tak cantik lagi.
Marisa baru menyadari sesuatu, ia memang dari dulu tidak cantik, meski sudah perawatan sekalipun tetap saja bisa dibilang hanya mempunyai wajah yang pas-pasan.
Wajah wanita muda itu terlihat meledek ketika tahu Marisa disebut istri Kevin.
Meski menyebalkan, namun menurut wanita bernama Jeni tersebut. Kevin terlalu tampan untuk istrinya yang pas-pasan dan sangatlah tidak cocok dan serasi bila disandingkan dengan Kevin.
"Mana saya tau, lagian apa saya harus bertanya dulu, Anda siapanya Bapak ini?" tanya Jeni.
Marisa menghela napas, lalu menatap Kevin. "Aku bilang udah Vin!"
Kevin menunjuk Jeni dengan marah. "Dia udah keterlaluan Sa!"
"Aku tau, tapi pikirkan masalah tentang ibu." Marisa mengatakan hal itu sambil menatap mata Kevin dalam dan air mata yang hampir mengambang basah.
Mata Kevin membulat, ia justru lupa masalah yang lebih penting, yaitu kesehatan ibunya yang sedang memburuk. Ia kecewa sekaligus marah pada dirinya sendiri yang menjadi kehilangan fokus.
Setelah Marisa mengangguk pelan, Kevin lalu beranjak meninggalkan Jeni, walau matanya masih menatap tajam Jeni.
Kevin mendengus kesal dan memukul kemudiannya. "Sial sekali nasibku hari ini, harus bertemu dengan wanita menyebalkan seperti itu!" umpat Kevin.
Kevin sebenarnya tak kalah menyebalkan dari Jeni, bertengkar dengan seseorang hanya karena masalah tidak penting, padahal dia hanya perlu memundurkan mobilnya sedikit dan di sana ada tempat parkir yang masih kosong.
Setelah berhasil memarkir mobilnya dengan rapi. Dengan kompak keduanya berjalan masuk menuju ke dalam rumah sakit.
***
Di tempat yang berbeda Debi masih berada di ruang pemeriksaan. Dokter sebenarnya sudah menyuruhnya untuk pergi ke ruangannya.
Dokter yang memeriksa Debi juga sudah menyatakan bahwa Debi tekanan darahnya tinggi, hanya saja karena tidak parah ia bisa rawat jalan.
Debi ngotot tetap berbaring di sana dan mengatakan. "Saya benar-benar lemas dokter, kepala saya terasa berputar, saya belum bisa bangun." Akhirnya dokter menuruti keinginan Debi.
Debi sengaja ingin opnam dan bermaksud memberi pelajaran kepada anak dan menantunya, bahwa ia sakit serius gara-gara mendambakan seseorang cucu.
"Mereka tidak boleh menyepelekan aku seperti ini!" gumam Debi bermonolog.
Denting jam di ruang terus berbunyi, entah sudah sekian menit tapi mengapa Kevin dan Marisa belum juga muncul? Debi menjadi kesal.
"Apa saja sih yang mereka sedang lakukan? Lama sekali!" Debi tak henti-hentinya menggerutu.
**
Dua puluh menit kemudian akhirnya Kevin dan Marisa datang, dan setelah membayar administrasi mereka berdua berpindah ke ruangan tempat pemeriksaan.
Melihat anak dan menantunya sudah datang, Debi yang tadinya kesal merubah ekspresi wajahnya menjadi lemas, ia berakting seolah tidak berdaya dan sakit parah.
"Ibu, bagaimana keadaan ibu?" tanya Kevin kepada Debi. Sementara mata Marisa sudah basah oleh air mata. Ia terus-menerus merasa bersalah karena membuat mertuanya sampai seperti ini.
Marisa bahkan tak berani untuk meminta maaf kepada ibu mertuanya lantaran terlalu takut. Ia hanya bisa menangis terisak.
Debi yang sebenarnya mendengar tangisan Marisa menjadi merasa puas, karena usahanya berhasil.
Dengan suara yang dibuat selemah mungkin Debi mengatakan jika kondisinya sangat buruk dan menyalahkan Marisa dan Kevin.
"Aku sudah terlalu tua, tapi kalian membuat kondisi kesehatanku bertambah buruk, astaga suamiku… apa aku akan memyusulmu secepat ini?" Untuk membuat aktingnya semakin sempurna Debi tak lupa menitihkan air mata buayanya.
Ayah Kevin memang sudah meninggal tiga tahun yang lalu, tapi Debi sebenarnya tidak pernah membahas atau bersedih akan kepergian suaminya, baru sekarang saja mendiang suaminya disebut.
Mata Kevin dan Marisa membeliak karena terkejut mendengar apa yang Debi katakan tadi.
Marisa bertambah sedih dan menggelengkan kepalanya. "Jangan bicara seperti itu ibu… Marisa mohon, kami semua sayang ibu," ucap Marisa.
Debi sekarang berpura-pura sesak napas sehingga membuat Kevin dan Marisa bertambah panik.