"Aku akan memanggil dokter," ucap Marisa. Ia gegas berlari ke ruangan dokter.
Marisa masuk ke ruangan dokter, setelah ia mengetuk pintu dan telah dipersilakan masuk.
"Silahkan duduk Bu," ucap dokter kepada Marisa. "Ada yang bisa saya bantu?" tanya dokter.
Marisa tetap berdiri karena cemas dengan ibu mertuanya. "Dok, ibu saya tadi katanya sesak napas, tolong diperiksa lagi." Marisa langsung pada pokok permasalahan, takut Debi bertambah parah.
Dokter langsung bangkit dari tempat duduknya. "Mari Bu, biar saya periksa keadaan ibunya."
Dokter dan Marisa kemudian masuk ke ruang pemeriksaan, dan memeriksa kondisi Debi.
Melihat Debi yang katanya kesulitan bernapas, dokter lalu menyuruh suster untuk memasangkan oksigen.
Beberapa menit kemudian kondisi Debi mulai membaik. Kevin lalu bertanya kepada dokter. "Ibu saya sakit apa dok?"
"Ibu Anda mengalami tekanan darah tinggi, tapi karena kondisinya sudah membaik sebenarnya boleh pulang," jawab dokter. "Namun jika ibu Anda ingin dirawat secara intensif tidak apa-apa," imbuh dokter.
"Kondisi saya masih buruk, kalau saya pulang saya takut mati," sahut Debi berdrama.
Dokter segera berpamitan kepada Kevin, karena masih ada pasien, ia juga telah memberi tahu bahwa setelah ini Debi bisa dipindahkan ke ruang rawat.
"Ibu tenang saja, kami akan memastikan ibu mendapatkan pengobatan yang terbaik," ucap Kevin.
"Marisa juga telah membayar uang deposit untuk rawat inap ibu," imbuh Kevin.
Debi berpikir negatif, bagaimana jika Marisa memberinya kamar kelas biasa. Ia ingin kelas VVIP.
"Marisa, kau tidak menaruhku di kamar yang jelek kan? Kondisiku tidak akan cepat baik jika tidak di kamar VVIP."
Marisa terkejut mendengarnya, meskipun belum disuruh, sebenarnya Marisa memang sudah memesan kamar VVIP untuk Debi, hanya saja ia tidak menyangka akan dituduh Debi seperti itu.
Selama ini, Marisa selalu memberikan yang terbaik untuk keluarganya, tak terkecuali Debi.
"Marisa sudah memesannya sebelum ibu suruh tadi Bu," jawab Marisa.
Debi tak menghiraukannya dan malah memasang wajah menyebalkan kepada Marisa.
***
Malam sudah menjelang pagi. Debi juga sudah dipindahkan ke ruang VVIP sesuai permintaannya.
Kevin tertidur dengan posisi duduk di samping ranjang Debi yang juga sudah tertidur pulas. Sementara Marisa duduk di samping jendela kamar, memandang dengan gamang langit yang gelap.
Pekerjaan Marisa yang menumpuk untuk besok pagi pun tak membuatnya ingin segera istirahat.
Mata Marisa menggelap. Setiap rintik yang juga turun malam itu seakan mewakili perasaannya yang dirundung sedih.
Kevin terbangun di dari tidurnya. Ia mengucek matanya dengan malas. Lalu ia melihat Marisa yang termenung di dekat jendela.
"Kamu belum tidur?" Tanya Kevin dengan suara parau khas orang bangun tidur.
Marisa menoleh ke arah Kevin, menggelengkan kepalanya. "Belum ngantuk."
"Kamu sendiri kenapa tiba-tiba bangun?" tanya Marisa penasaran.
"Aku mau ke kamar mandi," jawab Kevin sambil beranjak dari tempat duduknya, dan gegas ke kamar mandi.
Setelah keluar dari kamar mandi, Kevin menghampiri Marisa, dan duduk di dekatnya. "Kamu harus istirahat, jangan banyak pikiran," ucap Kevin.
Marisa memang punya energi yang besar sebagai seorang wanita. Setelah pulang berlibur sampai saat ini ia belum juga bisa tidur. Hal itu memang biasa terjadi setiap harinya, tapi lantaran banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan.
Namun kali ini rasanya sangat melelahkan, karena masalah seperti ini yang harus ia hadapi.
"Aku lelah berbohong Vin." Marisa mengatakan hal itu dengan tatapan yang kosong. Hati Marisa terasa sesak kini, menutupi kebohongan selama bertahun-tahun dari keluarga Kevin.
Kevin terdiam. Semua ini salah Kevin, tapi ia sendiri malah tak tahu harus berbuat apa, selain berbohong, dan menjadikan Marisa sebagai korban.
"Semua ini salahku, maaf," sesal Kevin. Apa yang telah terjadi di masa lalu disesali pun rasanya tidak ada gunanya. Ibunya sakit dan hanya Marisa yang disalahkan.
Marisa kini sudah merasa muak, lantaran Kevin dinilai terlalu lemah, hanya bisa meminta maaf dan menyesalinya.
"Makanya. Kamu jujur aja sama ibu Vin! Bukan aku terus yang disalahkan," sahut Marisa mendesak kevin, dengan nada yang mulai meninggi.
Kevin panik, matanya membelalak, lalu melihat ke arah Debi. Ia takut Debi bangun dan mendengar keributan ini.
Kevin menempelkan jari telunjuknya di bibir, memberi isyarat agar Marisa segera diam. Lalu setelah itu menarik pergelangan tangan Marisa untuk keluar dari ruang perawatan Debi.
"Kita bicara di luar," ucap Kevin. Marisa hanya pasrah dan mengikuti ke mana Kevin membawanya, tanpa mengatakan sepatah katapun.
Kevin lalu berhenti di dekat lorong rumah sakit, tak jauh dari kamar Debi. Ia dan Marisa kemudian duduk di sebuah kursi besi putih.
Suasana di sana sunyi dan sepi, Marisa menunggu Kevin untuk berbicara terlebih dahulu.
"Sampai kapan kamu akan diam Vin?" tanya Marisa, ia mulai jengkel dengan sikap diam Kevin.
"Aku belum siap untuk jujur kepada ibu, Sa," jawab Kevin.
Marisa tertawa frustasi. Marisa sudah diperlakukan seperti itu, tapi Kevin masih saja bersikap seperti seorang pengecut.
"Terus kamu biarin aja gitu mereka nyalahin aku terus?" Rahang Marisa mengeras karena menahan marah. Jika biasanya ia akan menghadapi masalah dengan kepala dingin dan masih bisa sabar, tapi kali ini sepertinya kehilangan kesabarannya.
"Lagi pula dia ibumu Vin. Dia akan menerima segala kesalahan kamu," sindir Marisa. Ia begitu karena ibu Kevin hanya memojokkan dirinya saja, tidak dengan Kevin.
"Kamu ngerti nggak sih Sa? Aku lakuin ini demi rumah tangga kita juga! Kalau ibu sampai tau kamu nggak bisa punya anak lagi, dia akan kecewa, dan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan."
Marisa mengerutkan keningnya. "Hal-hal yang tidak diinginkan? Apa maksud kamu?" Marisa bertanya balik.
"Aku takut ibu akan memisahkan kita," jawab Kevin dengan lesu.
Kemarin Marisa percaya Debi tidak akan memisahkan dirinya dan Kevin, meski Marisa sudah tidak bisa memiliki anak.
Hal itu lantaran ia sudah berusaha menjadi istri dan menantu yang baik. Debi juga sudah menyayangi Marisa seperti anaknya sendiri. Tak disangka Debi sekarang berubah seperti ini.
Rencananya, pelan-pelan Marisa dan Kevin akan jujur kepada Debi tentang apa yang apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu mereka.
Marisa terdiam, di satu sisi ia lelah harus terus-menerus berbohong seperti ini, tapi di sisi lain ia juga tidak mau kehilangan Kevin. Air matanya kini mulai menggenang.
Kevin menghirup napas dalam-dalam, kemudian mengembuskan perlahan. "Jika keadaannya sudah seperti ini, sepertinya kita harus memakai cara lain untuk menyelamatkan rumah tangga kita," ucap Kevin. Pandangannya lurus ke dapan dan tidak menatap ke arah Marisa, karena ia sendiri masih bimbang akan keputusan yang akan diambilnya ini.
"Kamu mau pakai cara apa lagi sih Vin?" Marisa seakan lelah dengan cara-cara yang Kevin gunakan.
Kevin menangkupkan kedua telapak tangannya di kedua sisi pipi Marisa. "Kamu percayakan saja sama aku ya?!" bujuk Kevin.
Marisa tidak menjawab, ia sudah hampir kehilangan kepercayaannya kepada Kevin, Marisa lalu bangkit dari tempat duduknya.
Kevin menahan tangan Marisa sambil mendongak. "Kamu mau ke mana Sa?"