Kevin tersenyum puas. Ia melirik sedikit ke arah Debi, untuk melihat reaksi ibunya. "Hmmm, ya sudah kalau begitu," pungkas Kevin mengakhiri sambungan teleponnya.
"Ibu lihat sendiri kan? Sebelum Marisa bekerja, ia sudah menyiapkan sarapan Kevin dan keperluan ibu juga," ucap Kevin.
"Itu bukanlah sesuatu yang istimewa, sudah tugasnya sebagai seorang istri," sahut Debi. "Aku dulu juga seperti itu. Hanya saja aku lebih baik dari istrimu, karena aku bisa punya anak," imbuh Debi.
Marisa sampai tidak bisa punya anak itu juga karena Kevin. Jadi saat ucapan itu keluar dari mulut Debi, rasanya Kevin juga ikut merasa tersakiti.
Namun, meladeni ibunya dirasa akan menghabiskan waktu Kevin saja, jadi ia lebih memilih untuk segera pergi.
"Kevin pergi dulu Bu," pamitnya, sambil meraih plastik hitam yang berisi sarapannya.
Kevin berjalan mendekati pintu, tanpa menoleh ke belakang lagi. Walau ia masih mendengar ibunya mengomel tentang dirinya.
"Kevin, ibu belum selesai bicara! Jangan jadi anak durhaka hanya karena istrimu," omel Debi. Dan setelah itu napasnya menjadi terengah-engah.
***
Dua puluh menit kemudian Kevin sampai di rumahnya. Dengan waktu yang sudah mepet ia berjalan cepat menuju ke kamarnya. Untung saja ia tadi sudah sarapan nasi uduk dari Marisa di dalam mobil.
Kevin membuka pintu kamar. Ia agak terkejut, ketika mendapati sudah ada setelan pakaian untuknya kerja. Kevin mendekatinnya lalu duduk di tepi ranjang.
Meski tidak ada yang memberi tahu, Kevin dapat memastikan setelan jas tersebut pilihan Marisa. Hanya saja ia masih tidak menyangka, walau sibuk Marisa juga masih memerhatikan soal pakaian Kevin. Ia lalu tersenyum. "Terima kasih sayang," gumamnya.
Setelah itu Kevin berdiri. Ia berjalan ke kamar mandi. Ia segera menyambar handuk yang ada di dekat kamar mandi. Dan setelah itu gegas mandi.
Beberapa menit kemudian Kevin keluar dari kamarnya. Ia sudah rapi dan wangi kini. Kevin menuruni tangga dengan terburu-buru. Ia sudah tak punya banyak waktu lagi.
Sampai di halaman rumah Kevin, Joni dengan tanggap membukakan pintu belakang mobil. Dan setelah Kevin masuk ia memutar dan masuk ke kursi kemudi.
Kevin melihat ke arah jam tangan miliknya dengan resah. Kemudian memerintahkan Joni agar lebih cepat menyetir mobilnya, agar ia tak telat sampai kantor. "Agak cepat ya Jon. Saya udah hampir telat ini."
"Baik tuan," jawab Joni.
Pak satpam telah membuka gerbang lebar-lebar. Jadi setelah Joni menghidupkan mesin mobil. Ia tancap gas dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Untung saja Kevin bisa tepat waktu sampai di kantornya. Begitu turun dari mobil Kevin langsung menuju ke ruang meeting.
Hanya menunggu beberapa orang saja. Setelah lengkap meeting pun dimulai.
Meeting yang berlangsung sekitar satu setengah jam itu kini selesai. Kevin sangat senang karena telah memenangkan sebuah tender besar. Orang-orang di ruangan tersebut mulai bangkit dari tempat duduknya dan memberi ucapan selamat kepada Kevin. Dan setelah itu mereka pergi.
Kini ruangan meeting tersebut menjadi sepi, menyisakan Kevin saja. Perlahan senyum dan kesenangan Kevin berangsur memudar. Ia menjadi teringat akan istrinya yang masih marah, hingga tadi pagi entah sengaja atau tidak pergi bekerja tanpa berpamitan langsung kepada Kevin.
Kevin merogoh ponsel dari saku celananya. Ia merasa harus memperbaiki hubungannya dengan Marisa, sebelum semuanya bertambah kacau.
Kevin sudah menghubungi Marisa beberapa kali. Namun Marisa tak kunjung mengangkatnya juga. Kevin sampai mendengus kesal dibuatnya.
Karena pikirannya yang sedang kacau. Menjadikan Kevin lupa, bahwa event wedding yang Marisa tangani diadakan siang ini, sudah pasti Marisa dibuat sibuk oleh pekerjaannya dan tak sempat mengangkat telepon dari Kevin. Ia yang sudah putus asa kemudian bangkit dari tempat duduknya dan berniat melanjutkan pekerjaannya.
***
Pukul enam pagi, seluruh pegawai florist Marisa telah sampai di gedung yang akan dipakai untuk pernikahan klien Marisa.
Para karyawan Marisa berlalu lalang membawa bunga dan peralatan lainnya untuk mendekor. Marisa tak kalah sibuknya, ia mengecek sudut demi sudut ruangan yang akan ia dekorasi.
Sebenarnya Marisa merasakan tubuhnya sedang tidak fit hari ini. Permasalah rumah tangga yang terjadi, ditambah kurangnya jam istirahat membuat staminanya menurun drastis.
Hal tersebut terpampang jelas dengan wajahnya yang mulai memucat. Namun bukannya istirahat, ia malah mengalihkannya dengan memasang beberapa bunga untuk dekorasi di pintu masuk gedung tersebut.
Salah seorang karyawan, sekaligus sahabat Marisa yang bernama Rina sudah mengingatkan Marisa istirahat. Ia tidak tega melihat wajah Marisa yang terlihat pucat.
Selain sahabat Marisa semenjak SMA. Rina ini juga sudah dipercaya bekerja sebagai asisten pribadi khusus di florist milik Marisa tersebut.
Rina saat ini sedang berdiri di sebuah tangga kecil, yang di atasnya ada Marisa yang sedang mendekor bunga. Dengan wajah yang cemas Marisa menyuruh Marisa untuk turun. "Kamu turun aja kalau sakit Sa. Biar aku yang kerjain," bujuk Rina.
"Aku nggak sakit kok Rin, aku baik-baik aja," sahut Marisa, tanpa melihat ke arah Rina dan terus melanjutkan pekerjaannya.
"Siapa yang akan percaya dengan kata-katamu itu, jika melihat langsung wajahmu yang pucat," ucap Rina tak percaya.
"Beneran nggak apa-apa," sahut Marisa tak mau mengaku.
Dan untuk mengalihkan perhatian Rina. Marisa menyuruhnya memasang bunga pada tempat lain. "Kamu tolong hias yang sebelah sana aja ya." Marisa menunjuk sudut ruangan sebelah kanan. "Di sana akan dipasang bunga segar soalnya," imbuh Marisa.
Rina tidak bisa menolak. Walaupun ia sahabat Marisa, dan tengah mengkhawatirkan kondisi kesehatan Marisa. Namun di satu sisi Rina harus profesional karena Marisa adalah bosnya.
Rina menghela napas. "Oke. Tapi kalau ada apa-apa panggil aku ya?!"
"Iya…" sahut Marisa dengan singkat.
Rina tetap tidak tenang. Ia tahu ada sesuatu yang disembunyikan oleh sahabatnya tersebut. Rina lalu memanggil salah seorang karyawan yang lain.
"Tarjo!"
"Iya mbak Rina? Ada apa ya?" tanya karyawan yang bernama Tarjo tadi.
"Kamu tolong jangan jauh-jauh dari bu Marisa ya. Dia lagi kurang enak badan, saya khawatir dia kenapa-kenapa," suruh Rina.
Tarjo mengangguk. "Baik mbak," sahut Tarjo.
"Kamu kasih tau saya kalau ada apa-apa sama Bu Marisa ya?!"
Tarjo sekali lagi mengangguk dan mengiyakan apa yang Rina suruh. Dan setelah itu Rina pergi untuk mendekor bunga seperti yang Marisa perintahkan tadi.
Sementara itu, dengan kondisi kesehatan yang semakin memburuk, Marisa merasakan keringat dingin mulai mengucur di dahi dan punggung Marisa. Kepalanya juga menjadi terasa ringan dan membuatnya seperti akan kehilangan keseimbangannya.
Marisa adalah seseorang yang konsisten dalam berbagai hal. Ia tidak bisa begitu saja mempercayakan hal yang dirasa sangat penting dan harus ia sendiri yang melakukannya.
Maka dari itu, setelah mendekor bunga bagian pintu masuk. Ia berpindah di bagian paling penting di gedung tersebut, yaitu di tempat duduk pengantin.
Ia berjalan menuju ke tempat duduk pengantin. Salah satu pegawainya mengikutinya dari belakang, membawakan bunga segar dan tangga.
Brukk!!