Brukk!!
Marisa akhirnya kehilangan keseimbangannya. Lebih mengerikannya lagi ia jatuh ketika tengah menaiki tangga yang ia pakai untuk mendekor. Pandangan matanya menjadi kabur, serta kepalanya menjadi pusing, akibat terbentur di lantai. Setelah itu ia tak sadarkan diri.
Tarjo yang tadi diberi amanat untuk mengawasi Marisa membelalakan matanya, ketika melihat Marisa yang jatuh dari tangga dan pingsan. Tarjo menaruh bunga segar yang sedang ia bawa. Kemudian segera berlari dan mencari Rina dengan ekspresi wajah yang panik.
Rina yang kebetulan sedang melihat ke arah Tarjo sudah merasa perasaannya tidak enak. Ia mengerutkan keningnya. Rina lalu bertanya kepada Tarjo, "ada apa Jo?"
"Bu Marisa jatuh dari tangga mbak, setelah itu pingsan," jawab Tarjo.
Mata Rina membelalak. Benar ternyata yang menjadi kekhawatirannya tadi. Sekarang Rina juga menjadi panik.
"Pingsan di mana Jo?" tanya Marisa dengan cemas.
"Di dekat tempat duduk pengantin mbak," jawab Tarjo. Ia menunjuk ke arah Marisa, meski belum terlihat juga oleh Rina sebenarnya.
Rina yang panik segera berlari mencari Marisa. Dari kejauhan karyawan Marisa sudah berada di sekitar Marisa. Salah seorang karyawan wanita berusaha menyadarkan Marisa.
Tanpa pikir panjang, Rina lalu menyuruh salah satu karyawannya mengantar ia dan Marisa ke rumah sakit.
Namun sebelum itu, ia memerintahkan seorang karyawan yang lumayan bisa diandalkan untuk menggantikan Marisa mendekor area pelaminan.
Beberapa karyawan menggotong Marisa menuju ke mobil. Rina dengan setia lalu mengekor di belakangnya. Wajahnya terlihat mencemaskan Marisa. "Semoga tidak terjadi hal yang buruk ya Tuhan," harap Rina.
Di perjalanan menuju ke rumah sakit Rina berusaha menyadarkan Marisa. Ia menepuk-nepuk pelan pipi Marisa. Namun hasilnya nihil. "Sa, bangun dong Sa," pinta Rina, diiringi isakan tangis.
Beruntung jalanan kala itu tidak macet, dan lumayan lancar. Sehingga ia dan Marisa bisa lebih cepat sampai di rumah sakit.
Begitu sampai di IGD rumah sakit, Rina segera membuka pintu mobil dan turun. Setelah memberi tahu satpam dan petugas medis, mereka berhamburan menolong Marisa.
Karyawan Marisa yang tadi menyopir mobil, turun dan ikut membantu Marisa. Ia dan petugas medis membaringkan tubuh Marisa ke brankar.
Rina dengan setia mengikuti Marisa yang diantar petugas medis ke ruang pemeriksaan. Sementara Marisa sedang ditangani oleh dokter. Rina mengurus administrasi rumah sakit.
Setelah selesai Rina menunggu dengan cemas di luar ruangan pemeriksaan. Ia terus menerus mondar-mandir sembari menunggu dokter keluar dari sana.
Beberapa menit kemudian dokter yang memeriksa Marisa keluar. Rina lalu bertanya, "gimana kondisi teman saya dok?"
"Terdapat luka di kaki ibu Marisa, mungkin tergores sesuatu. Dan ada cidera pada tulang ekor dan punggung. Sepertinya ibu Marisa harus dirawat secara intensif," jawab dokter.
Mendengar penjelasan dari dokter membuat mata Rina tiba-tiba berkabut, sedih sekali rasanya. "Tapi masih bisa disembuhkan kan dok?" tanya Rina.
"Untungnya sakit ibu Marisa tidak terlalu parah Bu. Kami akan berusaha semaksimal mungkin, agar kondisi ibu Marisa segera pulih," jawab dokter.
"Terima kasih dokter," ucap Rina. Secerca harapan itu muncul dan membuat Rina menjadi sedikit lega. Ia optimistis Marisa akan cepat sembuh.
Setelah itu dokter mohon izin pergi, karena harus menangani pasien yang lain. Dan Rina mempersilakannya. Ia kemudian masuk dan menemui Marisa.
Ketika Rina masuk, Marisa sudah sadarkan diri. Walau kesadarannya masih belum penuh.
Marisa mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Kemudian setelah melihat Rina ia bertanya, "kenapa aku bisa ada di sini Rin? Gimana dengan projek kita? Nggak apa-apa kan?"
"Kamu tadi jatuh dari tangga Sa, lalu pingsan," jawab Rina.
Wajah Marisa terlihat panik. Ia teringat akan pekerjaannya yang belum beres tadi. "Rin. Dekorasinya tadi belum selesai!"
"Kamu ini lagi sakit masih sempat-sempatnya mikirin soal itu," sahut Rina.
"Kalau hasilnya tidak bagus bisa kacau Rin! Klien bisa kecewa dan nggak mau pakai jasa kita lagi," ucap Marisa cemas. Saat mengatakan itu Marisa menggerakkan tubuhnya sedikit. Dan setelah itu ia merasakan sakit yang teramat sangat. Secara spontan Marisa mengaduh kesakitan.
Rina membelalak matanya. Ia panik hingga mulutnya menjadi ternganga. Rina buru-buru membungkam mulutnya. Dan menyuruh Marisa agar tidak banyak gerak terlebih dahulu. "Kamu lagi sakit, jangan banyak gerak!"
"Aku sakit apa kok sampai badanku sakit semua begini? Dokter bilang apa sama kamu Rin?" berondong Marisa dengan ekspresi wajah yang cemas.
"Dokter bilang ada luka tergores di kaki kamu. Sama ada luka cidera di punggung dan tulang belakang," jawab Rina dengan jujur.
"Tapi kamu jangan khawatir. Dokter bilang kamu akan segera sembuh kok," hibur Rina. "Soal kerjaan percayakan aja sama anak-anak, mereka juga bisa kok… dan pasti klien kita bisa ngerti kok dengan kondisi kamu sekarang," imbuh Rina.
Meski Rina sudah menyuruh Marisa mempercayakan urusan pekerjaan kepada karyawannya, ia masih tetap saja kepikiran. Bahkan Marisa sendiri tidak terlalu memedulikan tentang masalah kesehatannya.
Tak lama seorang suster datang. Ia akan memindahkan Marisa ke ruang perawatan. "Permisi Bu, saya mau memindah ibu Marisa ke ruang perawatan."
"Silakan sus," jawab Rina.
Ada sesuatu yang dilupakan oleh Rina. Padahal Marisa sudah dalam kondisi seperti ini, ditambah lagi jam juga sudah menunjukkan pukul setengah dua belas. Namun Rina belum menghubungi Kevin.
Rina sadar setelah sampai di ruang perawatan Marisa. Ia lalu menepuk jidatnya sendiri. "Ya ampun Sa. Aku melupakan sesuatu," ucap Rina.
Marisa mengerutkan keningnya. "Apa?"
"Aku lupa kasih tau Kevin," jawab Rina. Lalu tertawa canggung.
"Oh." Hanya kata itu yang keluar dari mulut Marisa, ekspresinya juga datar saat mengatakannya.
Melihat hal itu tawa Rina menjadi memudar. Ia meyakini hubungan Marisa dan Kevin sedang tidak baik saat ini.
"Kamu lagi ada masalah ya Sa, sama Kevin?" tanya Rina.
Marisa terdiam. Meski tak mengiyakan, ia juga tak mampu menyangkal. Ingin bercerita dengan jujur kepada Rina, namun ia belum siap.
Melihat reaksi Marisa yang tampak bimbang Rina memutuskan untuk memberinya waktu agar lebih tenang. "Ya udah, kamu cerita kalau kamu udah siap aja ya," ucap Rina.
"Yang lebih penting sekarang, aku tetap harus hubungi Kevin," imbuh Rina.
Marisa mengangguk, tanda setuju.
Rina kemudian meraih tas Marisa yang tadi ia bawa. Kemudian Rina meminta izin membuka tas milik Marisa. "Aku cari ponsel kamu dulu ya?!"
Rina terkejut. Di layar ponsel sahabatnya itu ternyata sudah ada beberapa panggilan tak terjawab dari Kevin. Ia kemudian menunjukkannya kepada Marisa.
"Suami kamu ternyata, udah beberapa kali telepon kamu sejak tadi Sa," ucap Rina.
Mendengar hal itu Marisa menunjukkan ekspresi wajah cuek. Entah mengapa ia masih jengkel dengan Kevin. Memberi kabar saja rasanya enggan.
Tanpa memedulikan ekspresi wajah Marisa. Rina lalu menekan tombol panggilan terakhir, ada nama Kevin di sana.
"Kamu kenapa baru hubungi aku sih Sa? Kamu bikin aku cemas," tanya Kevin di ujung telepon.