"Kamu kenapa baru hubungi aku sih Sa? Kamu bikin aku cemas," tanya Kevin di ujung telepon.
Awalnya Kevin sangat senang, karena Marisa akhirnya bersedia menelepon dirinya terlebih dahulu. Dan Kevin berharap ini pertanda baik untuk hubungannya dengan Marisa.
Namun nyatanya tidak seperti yang Kevin harapkan. Bukan suara Marisa yang ada pada sambungan telepon. Melainkan suara Rina.
"Ini Rina, Vin. Bukan Marisa," jawab Rina.
Kevin mengerutkan keningnya. Lalu bertanya, "Kok jadi kamu yang telepon? Ada apa Rin? Marisa mana?"
"Justru itu aku telepon kamu Vin. Marisa mengalami musibah saat kerja. Dia terjatuh dari tangga saat mendekor," jawab Rina di ujung telepon.
Mendengar jawaban dari Rina tadi, Kevin menjadi panik. Ia takut terjadi sesuatu yang buruk pada Marisa. Kevin lalu memberondong Rina dengan banyak pertanyaan. "Kok bisa? Gimana kejadiannya? Keadaan Marisa saat ini gimana? Ada di mana Marisa saat ini?"
Rina menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskan dengan kasar. Rina tahu Kevin cemas, hanya saja dibombardir pertanyaan seperti ini membuatnya menjadi kesal juga pada Kevin.
"Aku tau kamu panik Vin, tapi bisa nggak? Nanyanya pelan-pelan dan satu-satu."
Kevin yang cemas memaksa Rina untuk menjawab semua pertanyaannya tadi. "Udah, jawab aja Rin."
Kalau tidak ingat Kevin adalah suami Marisa, sudah Rina tutup dan abaikan saja telepon dari Kevin.
Rina menjadi seperti ini mungkin karena kesal, karena apa yang terjadi kepada Marisa akar masalahnya dari Kevin juga.
"Marisa ada di rumah sakit Pratama, di ruang VIP mawar nomor tiga. Udah itu aja dulu. Sisanya aku jelasin nanti, oke?!" Setelah itu sambungan telepon antara Rina dan Kevin berakhir.
***
Setelah mengetahui bahwa Marisa mengalami kecelakaan kerja. Kevin gegas dari keluar dari ruangan kerjanya, dan segera ke rumah sakit menemui Marisa.
Ketika Kevin keluar dari ruangannya. Lia berdiri dari tempat duduknya dan membungkukkan badannya sedikit. Tak lupa q memberi salam dengan sopan.
Lalu Kevin berkata, "Lia, hari ini saya akan pulang. Dan nanti sampai sore saya tidak bisa berada di kantor dulu untuk sementara waktu, karena istri saya sedang sakit."
"Nanti kalau ada apa-apa kamu bisa telepon saya, nggak apa-apa," imbuh Kevin.
"Baik pak Kevin," sahut Lia, mengerti.
Dan setelah berpamitan dengan Lia. Kevin terlebih dulu menghubungi Joni. Kevin meminta Joni untuk menyiapkan mobil, dan bersiap-siap. Baru setelah itu Kevin segera pergi dari ruang kerja Lia.
Langkah kaki Kevin dipercepat, bahkan setengah berlari menuju tempat parkir. Hingga yang biasanya ditempuh dengan waktu lima belas menit, bisa disingkat menjadi hanya tujuh menit saja.
Sampai di parkiran, Joni membukakan pintu mobil untuk Kevin. Dan setelah Kevin masuk, Joni menutup pintu mobil dan memutar.
Setelah duduk di kursi kemudi, dan telah menutup pintunya. Joni bertanya kepada Kevin, "Kita mau ke rumah sakit mana pak?"
"Ke rumah sakit Pratama Jon," jawab Kevin.
Rumah sakit tersebut berlainan tempat dengan tempat Debi di rawat. Rina tadi hanya memilihkan rumah sakit terdekat dari gedung pernikahan yang mereka sedang dekor. Karena Rina tidak tahu jika Debi juga tengah dirawat di rumah sakit. Ia hanya ingin Marisa mendapatkan pertolongan medis dengan cepat.
"Baik pak," jawab Joni.
Setelah mengerti ke mana tempat yang akan ia tuju. Joni kemudian menghidupkan mesin mobilnya. Memutar dan melajukan mobilnya meninggalkan tempat parkir.
***
Rina mengembalikan ponsel Marisa, setelah selesai menelepon Kevin. Ia menaruhnya di atas nakas.
"Aku kasih sini ya Sa," ucap Rina.
Marisa melirik ke arah ponselnya sekilas. "Oke," sahut Marisa.
Rina menarik napas panjang, kemudian mengembuskan perlahan. Ini sudah waktunya untuk bertanya langsung kepada Marisa. Kalau dipendam sendiri oleh Marisa, Rina takut akan ada kejadian buruk yang lainnya lagi.
"Sekarang, coba kamu ceritain sama aku Sa. Jangan kamu pendam sendiri," pinta Rina.
Marisa tahu, niat Rina baik. Hanya saja Ayah Rina, baru saja meninggal. Air matanya saja belum kering, karena kehilangan orang yang paling disayanginya. Mana tega Marisa menambah beban sahabatnya tersebut.
"Aku nggak apa-apa kok Rin," sahut Marisa berbohong.
"Kamu nggak akan mengalami hal kayak tadi kalau kamu nggak kenapa-kenapa Sa."
Rina tetap tak mempercayai ucapan Marisa. Ia kenal betul siapa Marisa. Sahabat Rina tersebut adalah orang yang punya banyak energi. Selain itu punya perencanaan yang matang tentang segala sesuatu, tidak mungkin seceroboh ini.
"Ya- aku lagi nggak enak badan aja," elak Marisa.
"Kamu terus mengelak. Seakan kita baru kenal aja," ledek Rina.
Marisa tertawa hambar. Ia lelah diberondong pertanyaan seperti itu oleh Rina. "Kamu udah kayak detektif aja deh Rin."
"Mungkin itu salah satu keahlian lain dariku," ucap Rina. "Udah buruan cerita," desak Rina.
Marisa menghela napas. Dia sudah menyerah. Dan akhirnya mau bercerita kepada Rina.
Wajah Marisa yang tadi sempat menegang karena berdebat dengan Rina. Kini tiba-tiba bola matanya seperti kehilangan fokus. Marisa menatap ke jendela dengan mata berkabut, seakan-akan teringat pada sesuatu yang ia tidak ingin mengingatnya.
"Ibu mertuaku lagi-lagi menagih cucu dariku," ucap Marisa. Ia perlahan mengalihkan pandangannya dan menatap Rina dengan wajah sendu.
Selama lima tahun Marisa menikah dengan Kevin, Rina sebenarnya memang sering mendengar bahwa ibu mertua Marisa tersebut menginginkan cucu.
Namun yang membuat Rina heran. Mengapa kali ini Marisa sampai jatuh sakit hanya karena pertanyaan itu? Karena biasanya Marisa dengan mudah mengatasi permintaan ibu mertuanya ini. Meskipun Rina sudah tahu, jika Marisa memang tidak bisa punya anak.
"Kamu biasanya bisa mengatasi ini dengan mudah, lalu apa masalahnya? Bukankah ibu mertuamu sabar dan sangat sayang padamu?" tanya Rina.
"Masalahnya, kali ini ibu mertuaku mendesakku Rin. Bahkan ia sekarang masuk rumah sakit sehabis ribut besar denganku," jawab Marisa.
Rina agak terkejut mendengar pengakuan dari Marisa tadi. Selama ini Debi adalah gambaran mertua yang baik. Rina juga merasa Debi sudah menganggap Marisa seperti anaknya sendiri.
"Mertua kamu masuk rumah sakit mana? Di sini juga?" tanya Rina.
Marisa menggelengkan kepalanya pelan. "Bukan Rin. Tapi rumah sakit Permata Medika," jawab Marisa.
Menyadari Marisa dan Debi dirawat di rumah sakit yang berbeda, Rina lalu meminta maaf. "Aku nggak tau kalau mertua kamu dirawat di sana Sa. Aku kemarin cari penanganan cepat aja. Jadi aku kirim kamu ke sini. Maafin aku ya?!" sesal Rina.
Marisa tersenyum tipis. Dengan usaha yang sudah dilakukan sahabatnya itu, mana mungkin juga Marisa marah.
"Kamu nggak salah Rin. Aku belum beritahu kamu. Aku harusnya berterima kasih sama kamu," sahut Marisa.
Rina bisa mengerti apa yang dirasakan oleh Marisa kini. Ia lalu memberi semangat dan berharap masalah ini dapat diselesaikan dengan baik.
"Sabar ya Sa. Aku harap kamu kuat menjalani semua ini. Dan masalah kamu akan segera selesai dengan baik," ucap Rina.
Hati Marisa sedikit lega sekarang, setelah bercerita kepada Rina. Sebelum cerita tadi, sepertinya ada beban besar di punggung Marisa. Marisa bersyukur punya sahabat seperti Rina.