Chereads / Jerat sang CEO Tampan / Chapter 8 - Sertifikat tanah

Chapter 8 - Sertifikat tanah

"Hmm.. sungguh kebetulan yang luar biasa. Apakah menurutmu ini adalah peternakan yang sama?" Tanya Andreas sambil memperlihatkan kartu nama itu kepada Arthur.

Arthur pun mengernyitkan keningnya, Ia mengambil kartu nama tersebut, kemudian  melihatnya. Iapun tersenyum,

"Iya, Tuan Muda. Ini adalah peternakan yang sama. Ini adalah peternakan sapi yang anda inginkan itu!" Kata Arthur, yakin.

Andreas pun tersenyum,

"Hmm.. bagus sekali! Sepertinya nasib baik memang selalu berpihak kepadaku! Susah-susah aku mencarinya, ternyata Tuhan sendiri yang mendatangkan dia padaku!" Andreas pun  tersenyum.

"Lalu apa rencana anda selanjutnya?"

"Lakukan penuntutan atas kepemilikan tempat tersebut. Aku ingin pemiliknya datang menemuiku!" Kata Andreas sambil tersenyum menyeringai.

"Baik Tuan muda, akan saya urus semuanya!" Kemudian Arthur pun pergi meninggalkan ruangan tersebut.

Setelah kepergian Arthur, Patricia pun masuk kedalam ruangannya Andreas. Dia bergegas menghampiri Andreas yang sedang terduduk di kursi kebesarannya, sambil menatapnya.

Tanpa ragu ia bergegas memeluknya, namun saat itu juga Andreas menepis tangannya,

"Kenapa? Apa kamu tidak merindukanku?" Patricia menatapnya dengan heran.

"Apa kau yang datang ke kamarku waktu itu?" Tanya Andreas, to the point.

"Apa maksudmu? Aku tidak mengerti!" Patricia berusaha menghindar,

"Jangan berpura-pura bodoh di depanku, Patricia! Aku sudah mengetahui semuanya! Kamu kan, yang menyandra gadis itu pada malam itu?'  Andreas menatapnya dengan tajam.

"Gadis?.. Gadis siapa? Aku sama sekali tidak mengerti!" Patricia masih saja mengelak.

Kemudian Andreas meraih ponselnya di meja, lalu membuka layar kuncinya, setelah itu ia menunjukkan sebuah foto padanya.

"Dia! Dialah gadis yang aku maksud! Apa kamu sudah mengingatnya? Jelaskan padaku! Apa yang terjadi malam itu!" Pinta Andreas,

"Aku... Aku hanya cemburu! Aku tidak ingin kamu bersama dengan orang lain. Kau itu milikku, Andreas! Aku tidak rela kamu menyentuh wanita itu!"

"Apa kamu bilang? Cemburu? Memangnya kamu siapa aku, sampai-sampai kamu cemburu? Apakah kamu kekasihku? Bukan, kan? Lalu apa hakmu melarangku? Kau itu hanya teman berkencan saja, Patricia! Kau sama sekali tidak memiliki posisi apapun dihatiku! Jadi please... Jangan bertingkah seolah kau itu penting dalam hidupku! Aku tidak suka itu!" Andreas menunjuknya.

Patricia pun terdiam,

"Pergilah dari sini! Aku masih banyak pekerjaan!" Ucapnya,

Patricia pun mengerucutkan bibirnya, kemudian ia keluar dari ruangannya Andreas.

"Shit! Sungguh menjengkelkan! Wanita memang tidak ada yang beres! Mereka hanya mementingkan diri mereka sendiri, tanpa memikirkan kesenangan kita sebagai laki-laki!" Andreas mendengus kesal.

.

.

.

Sementara disisi lain, keluarga Aliana sedang kompak bekerja, bukan hanya Aliana dan Hans yang turun tangan. Namun Riana, sang ibu juga turut membantu hari ini.

Namun sayang, Chiko dan Laura, mereka tidak bisa ikut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Karena mereka sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Laura sibuk dengan dunia modelingnya, sementara Chiko dia entah kemana.. sejak ia di pecat dari pekerjaannya, Chiko suka menyendiri dan keluyuran gak jelas. Dan setiap kali di tegur, ia pasti akan marah.

Ketika semuanya sedang sibuk bercanda-canda sambil memandikan anak sapi, tiba-tiba saja ada dua orang laki-laki yang datang bersama dengan polisi berjalan ke arah mereka.

Hans dan yang lainnya pun menatap kearah mereka dengan heran,

"Loh, Pah! Laki-laki itu... Bukankah dia yang memaksa ingin membeli tanah peternakan kita waktu itu, ya?"

Hans pun memperhatikanya dengan seksama,

"Hm.. sepertinya memang dia!"

Untuk apa lagi dia datang kemari? Bukankah kemarin kita sudah menjelaskan dengan tegas, kalau kita tidak akan pernah menjual peternakan ini?"

"Papah juga tidak tau, Nak! Semoga saja tidak ada hal buruk yang terjadi!" Ucapnya,

Kemudian mereka semua pun menghampiri mereka,

"Permisi!.." Ucap seorang laki-laki parubaya dengan stelan jas yang terlihat berkharisma itu. Di belakangnya ada Arthur, seorang laki-laki muda yang cukup tampan, yang mereka maksud tadi.

Selain mereka berdua, ada juga dua orang polisi yang berseragam lengkap dengan atributnya. Mereka semua menatap kearah Aliana dan juga Hans.

"Iya? Ini ada apa, ya? Kok rame-rame sekali! Dan kamu!" Hans menunjuk ke arah Arthur,

"Untuk apa lagi kamu datang kesini? Bukankah kemarin saya sudah menegaskan kepada anda, kalau saya tidak akan pernah menjual peternakan sapi ini!" Tegas Hans,

Namun Arthur hanya menanggapinya dengan tersenyum,

"Selamat siang, Pak! Maaf mengganggu waktunya sebentar! Apakah benar ini kediamannya Pak Hans?" Tanya laki-laki parubaya itu dengan ramah.

"Iya, betul! Saya sendiri. Maaf sebelumnya, ini ada apa ya? Kenapa rame-rame begini? Pake ada polisi segala!" Hans merasa bingung.

"Em.. begini, Pak! Sebelumnya, perkenalkan! Nama saya, Dean Freddy. Saya pengacara dari sebuah perusahaan property terbesar di kota ini. Yaitu, PT Gemstone Group Realty tbk. Anda mungkin sudah tidak asing mendengarnya!"

Hans pun mengangguk,

"Iya! Saya tau! Itu adalah perusahaan kemarin,  yang memaksa saya untuk menjual tanah peternakan ini pada mereka! Ada apa memangnya dengan perusahan itu? Dan, kenapa anda datang kemari atas utusan dari perusahaan tersebut?"

"Jadi begini, Pak! Saya kemari karena pihak perusahaan ingin mengambil alih kepemilikan tanah peternakan ini, jadi mohon dengan sangat, supaya anda segera berbenah dan mengosongkan tempat ini! Karena pihak perusahaan akan membangun proyek di tanah lahan ini!"

"Tunggu! Atas dasar apa kalian melakukan itu? Tanah itu milik kami! Kami bahkan menolak untuk menjualnya kemarin,"

"Maaf, Pak! Tapi tanah itu sudah menjadi milik kami sekarang!" Ucap Arthur.

"Apa maksudmu? Aku saja tidak menjualnya! Kalau kalian tidak percaya, sebentar! Biar aku tunjukkan surat sertifikat tanahnya!" Kemudian ia beranjak,

"Maksud anda, surat sertifikat yang ini, kan?" Arthur mengacungkan sertifikat tersebut.

Hans pun menoleh, ia menatap sertifikat itu dengan seksama.

"Surat itu...." Ia membelalakkan matanya,

"Kenapa surat itu sangat mirip dengan sertifikat milikku? Apakah Kalian memalsukannya? Jangan percaya! Itu pasti palsu! Aku memiliki yang asli, biar aku ambil dulu!" Kemudian ia bergegas pergi untuk mengambil sertifikat tersebut.

Namun, meskipun sudah mencarinya kemanapun, sertifikat itu tak juga di temukan. Iapun dengan langkah kaki yang lamban dan tubuh terhuyung kembali berjalan  menghadap mereka dengan raut wajah kecewa penuh dengan kehampaan,

"Bagaimana? Apakah anda menemukannya, Tuan?" Tanya Arthur,

"Bagaimana, Pah?Apakah sertifikatnya ada?" Aliana menatapnya penuh harap.

Namun Hans membalas tatapannya dengan raut wajah kehampaan, iapun menggelengkan kepalanya.

"Memangnya Papah menyimpannya dimana? Apakah Papah lupa menyimpannya?"

"Papah tidak lupa, Nak! Sertifikat itu selalu Papah simpan di nakas ruang tamu, Papah tidak pernah memindahkannya!"

"Lalu kenapa bisa tidak ada?"

"Papah juga tidak tau!"

"Tentu saja tidak ada, karena sertifikatnya memang ini!" Ucap Arthur,

Hans dan Aliana pun menoleh ke arahnya,

"Apa aku boleh melihatnya?" Tanya Hans,

Arthur pun mengangguk, kemudian memperlihatkan sertifikat tersebut.

Hans pun melihatnya dengan seksama, ia membelalak kaget,

"Bagaimana mungkin...." Ia menatap Arthur,

"Darimana kamu mendapatkan sertifikat tanah ini?"

"Yang jelas aku tidak mencurinya!" Arthur tersenyum,

"Tapi aku tidak pernah menjualnya!"

"Iya, aku tahu Tuan! Memang bukan kamu. Tapi anak laki-lakimu!"

Aliana dan Hans pun membelakan mata mereka, begitu juga dengan Ariana dan yang lainnya.