"Apakah anda sudah membuat janji, sebelumnya?"
Aliana pun menggelengkan kepalanya,
"Kalau begitu... Maaf sekali, Nona! Karena, untuk bertemu dengan Boss Muda, anda harus membuat janji terlebih dahulu!"
"Saya mohon, Pak! Tolong izinkan saya untuk bertemu dengannya! Ada sesuatu yang ingin saya bicarakan. Keluarga saya sedang dalam masalah. Hanya dia yang bisa membebaskan kami, dari masalah itu!"
"Tapi, Nona...."
Perkataannya terhenti, ketika tiba-tiba saja ponsel miliknya berdering. Iapun bergegas mengangkat panggilan tersebut.
Terlihat dari cara bicaranya yang serius, nampaknya orang yang menelponnya itu adalah orang yang cukup berpengaruh. Entah siapa, orang itu. Aliana pun terlihat bodo amat. Sesekali security itu melirik ke arah Aliana. Entah apa yang mereka bicarakan di telepon tersebut.
"Hm.. ya ya ya, Saya mengerti. Baiklah kalau begitu, Tuan!" Kemudian panggilan pun dimatikan oleh security itu.
"Nona!"
Aliana pun bergegas menghampirinya,
"Iya, Pak!"
"Maaf, Nona! Boss barusan berpesan, dia mengatakan kalau hari ini..."
"Tolonglah, Pak! Tolong jangan usir saya! Saya perlu berbicara dengan pemilik perusahaan ini, tolong bantu saya untuk membujuknya! Saya.... "
"Silahkan masuk, Nona!" Security itupun membukakan pintu,
"Apa! Anda serius?" Aliana menatapnya tak percaya,
Security itu pun mengangguk,
"Iya! Saya baru saja ingin mengatakan, kalau Boss berpesan supaya anda menunggunya sebentar! Tidak lama lagi, dia sampai. Silahkan menunggu di dalam!"
Aliana pun mengangguk,
Ia begitu senang bukan kepalang.. Akhirnya, ia memiliki kesempatan untuk berbicara dengan pemilik perusahaan Tersebut. Iapun nampak sangat antusias,
"Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Ini adalah kesempatan emas, untukku! Aku tidak boleh mengecewakan ayah. Apapun yang terjadi, aku harus bisa membawa sertifikat tanah itu kembali!" Bisiknya dalam hati, iapun tersenyum.
15 menit kemudian..
Mobil yang di tumpangi Andreas pun sampai di halaman kantor. Dengan langkah yang tergesa-gesa, iapun masuk kedalam kantor. Ia sudah tidak sabar ingin memastikan... Apakah itu benar-benar gadis yang ia pikirkan, atau bukan. Sebuah senyuman pun tersungging di bibir sensualnya.
Sesampainya di lobby, iapun menatap ke sekeliling ruangan.. namun sosok yang ia cari itu tak terlihat sama sekali di tempat tersebut. Iapun berjalan menghampiri petugas resepsionis,
Mereka pun membungkuk hormat,
"Bukankah ada seorang gadis yang ingin bertemu denganku? Dimana dia?"
"Oh, Nona itu! Dia sedang berada di toilet."
Andreas pun mengangguk,
"Setelah dia kembali, suruh dia untuk segera menemuiku!"
"Baik, Pak!"
Setelah berkata demikian, Andreas pun berjalan menaiki lift untuk pergi ke ruangannya. Diikuti oleh Arthur yang merupakan asisten pribadinya.
Selepas Andreas pergi, Aliana pun kembali dari toilet...
"Nona!"
Aliana pun menoleh,
"Iya?"
"Anda sudah di tunggu di ruangan Boss! Silahkan menaiki lift menuju lantai 11. Disanalah ruangannya!"
"Oh, ya.. baiklah! Terimakasih, Nona!"
Resepsionis itupun mengangguk,
Dengan raut wajah penuh dengan kegembiraan, Aliana pun bergegas masuk kedalam lift. Ia menekan angka 11 yang tertera di tombol lift tersebut. Sebuah senyuman tak henti-hentinya selalu terpancar dari wajah cantiknya,
Tak lama kemudian, pintu lift pun terbuka menandakan bahwa kini ia telah sampai di lantai nomor 11.
Iapun melangkah keluar, lalu berjalan menyusuri sebuah koridor panjang yang ada di lantai tersebut. Matanya tak henti-hentinya menatap takjub ke sekeliling ruangan.
Hingga akhirnya iapun sampai didepan sebuah pintu minimalis, yang ternyata hanya satu-satunya di lantai 11 itu.
Iapun bergegas menekan sebuah bel, yang terletak di samping pintu tersebut. Begitu bel di tekan, pintu itupun terbuka dengan sendirinya. Aliana pun masuk ke dalam ruangan tersebut.
Dengan raut wajah senang, namun juga gugup ia rasakan saat itu. Iapun terus melangkahkan kakinya langkah demi langkah, hingga akhirnya ia sampai didepan sebuah meja besar yang bertuliskan nama CEO.
"Permisi, Tuan! Nama saya, Aliana Quinza. Saya adalah anak dari pemilik lahan peternakan sapi yang anda sita kemarin. Kedatangan saya kesini, untuk berdiskusi dengan anda. Bisakah kita berbicara sebentar?"
Namun, laki-laki dibalik kursi tersebut hanya terdiam tak menanggapinya. Seutas senyuman terpampang di bibir sensualnya,
"Dia bahkan tidak meresponku sama sekali! Bagaimana, ini? Bisa-bisa aku gagal!" bisik Aliana dalam hatinya, ia pun menjadi putus asa.
"Tuan, saya mohon! Tolong berikan saya kesempatan! Tolong jangan ambil lahan peternakan itu! Peternakan itu adalah mata pencaharian kami, satu-satunya! Apa jadinya hidup kami, jika sumber penghasilan kami di putus!" Ucap Aliana, dengan sedih.
"Lalu, dengan apa kamu akan menggantinya?" Tanya Andreas,
Aliana pun tersenyum,
"Akhirnya.. dia meresponku juga!" Semangat yang tadinya padam pun bangkit kembali.
"Kalau boleh, saya ingin mencicilnya, Tuan! Anda boleh menyimpan kartu identitas saya, sebagai jaminannya!"
Andreas pun tertawa,
"Mencicil? Sampai kapan? Lagian, hanya sebuah kartu identitas untuk jaminan! Apa untungnya, bagiku? Itu sama sekali tidak akan berguna!"
"Tapi, tuan...."
"Maaf! Tapi saya tidak tertarik, Nona! Kecuali..."
"Kecuali apa?"
"Kamu bisa menjaminkan sesuatu yang lain, misalnya!"
"Maksud anda, apa?"
Kursi itupun berputar,
"Dirimu!"
"KAMU!!"
Aliana pun membelalakkan matanya, saat melihat wajah laki-laki itu.
Andreas pun tersenyum,
"Apa kabar, sayang? Apa kau masih mengingatku? Apa kau tidak merindukanku?"
Andreas pun beranjak dari tempat duduknya, kemudian berjalan menghampirinya.
Aliana pun sontak melangkah mundur.
"Oh, tuhan! Laki-laki itu! Dia... dia yang telah menodaiku, waktu itu!" Ia berbisik dalam hatinya,
Iapun berbaik badan, kemudian bergegas berlari ke arah pintu untuk keluar. Namun sayang, ternyata pintunya adalah pintu otomatis dan tidak akan terbuka, tanpa mendapatkan akses dari sang pemilik ruangan itu sendiri.
Aliana pun mulai panik..
Ia kembali berbalik badan, laki-laki itu semakin berjalan mendekat ke arahnya.
"Stop! Hentikan! Jangan kesini!" Ia memberikan kode dengan tangannya,
"Aku tidak akan berhenti, sampai kamu membalas semua perbuatanmu, padaku!"
Laki-laki itu semakin mendekat ke arahnya,
"Apa maksudmu?" Aliana semakin menghimpit pintu.
"Apa kamu lupa dengan ini?" Laki-laki itu menunjukan sebuah luka yang masih di perban di bagian kepala belakangnya,
"Tidak!!" Aliana menggelengkan kepalanya, bayangan pemerkosaan yang ia alami beberapa hari yang lalu itu, kini kembali terbayang dan berputar-putar ibarat pusaran angin dalam ingatannya. Iapun menutup kedua telinganya dengan tangannya.
"Kenapa, sayang? Apa kamu sudah lupa? Perlukah aku ingatkan kembali?"
Laki-laki itupun tersenyum menyeringai, ia membelai wajah cantiknya, tangannya bergerak turun ke bagian bawah tubuhnya. Menyusuri setiap lekuk tubuh, yang pernah ia cicipi itu.
Iapun mengigit bibir bagian bawahnya,
"Sihir apa yang kamu miliki, Nona? Setiap aku melihatmu, hasrat dalam tubuhku kian meningkat. Rasanya begitu bergejolak, seakan terbakar jika tak ku salurkan."
"Apa maksudmu? Aku kesini untuk meminta keadilan untuk Ayahku, bukan untuk menjadi pelacurmu!"
"Kalau begitu, berikan keadilan padaku, Nona! Maka sebagai gantinya, akan kuberikan keadilan untuk Ayahmu!"
Kemudian laki-laki itu menarik tengkuk lehernya, lalu membenamkan bibir sensualnya.