"Chiko? Itu tidak mungkin! Dia tidak mungkin mengambilnya!" Aliana menggelengkan kepala, ia merasa tidak percaya.
"Tapi memang dia yang memberikannya, Nona!"
"Kamu bohong! Ini pasti sudah di rekayasa! Atas dasar apa, adik saya memberikan sertifikat tanah itu kepada kalian?"
"Atas dasar taruhan! Dia kalah dalam pertandingan! Boss kami mengadakan taruhan atas balapan liar. Siapapun yang ingin mengikuti balapan tersebut, dia harus mempersiapkan uang sebanyak $100.000 sebagai jaminan! dan adikmu menyetujuinya! Sebagai bayarannya, dia memberikan sertifikat ini kepada kami! Boss pun tidak keberatan. Dia menerimanya!"
Hans pun terhuyung lemas, tubuhnya seakan roboh tak ada tenaga,
"Bagaimana ini, tempat ini adalah harta satu-satunya yang aku miliki! Lalu sekarang, aku harus menyerahkannya hanya karena sebuah taruhan? Ini sangat buruk!" Hans nampak sangat sedih, Riana pun bergegas menghampiri suaminya, kemudian memeluknya.
"Tunggu! Dimana Boss kalian? Bisakah aku bertemu dengannya?"
"Untuk apa, Nona?"
"Aku ingin meminta keadilan untuk Ayahku! Dia tidak tau apa-apa! Kalau dia tidak keberatan, biarkan aku membayarnya dengan mencicil!"
Arthur dan yang lainnya pun tertawa.
"Apakah anda bercanda, Nona? Uang berjumlah $100.000 itu bukanlah uang yang sedikit. Anda mungkin harus menghabiskan banyak waktu, untuk upah yang tidak seberapa setiap bulannya!" Arthur terkekeh,
"Tidak masalah! Yang penting, kedua orang tuaku tidak kehilangan peternakan ini. Aku tidak keberatan!" Ucap Aliana, yakin.
"Ya, itu mungkin bisa saja! Tapi kita tidak yakin, apakah Boss kita akan menyetujuinya, atau tidak."
"Kalau begitu, pertemukan aku dengannya! Aku akan berbicara langsung padanya!"
"Baiklah kalau begitu!"
Kemudian Arthur memberikan sebuah kertas banner kecil, yang bertuliskan alamat lengkap perusahaan mereka kepada Aliana.
Aliana pun bergegas mengambil kertas tersebut, kemudian melihatnya.
"Baiklah! Besok aku akan datang untuk menemuinya! Tapi sebelum itu, tolong berikan kami waktu. Setidaknya sampai aku berhasil membujuk Boss kalian, untuk memberikan keringanan."
"Baiklah kalau begitu. Kami kasih kalian waktu selama dua hari. Jika dalam kurun waktu dua hari masih belum juga ada keputusan dari Boss, maka terpaksa kami akan mengambil alih tempat ini, sesuai perintah awal Boss!"
Aliana pun mengangguk,
Setelah berkata demikian, mereka pun pergi meninggalkan kediamannya keluarga Hans.
"Hancur sudah! Padahal itu adalah satu-satunya sumber penghasilan kita! Kita juga tidak punya penghasilan lain, selain dari tempat ini. Kalau tempat ini benar-benar di ambil, kita harus bekerja apa?" Hans terlihat sangat putus asa.
"Papah..." Aliana bergegas menghampiri Ayahnya,
"Papah tenang saja! Aku berjanji. Aku tidak akan membiarkan mereka mengambil tempat ini. Besok aku akan menemui orang itu dan meminta keringanan padanya!"
"Tapi bagaimana kalau orang itu menolak, Nak?"
"Kita coba dulu saja, Pah... Aku yakin, akan selalu ada jalan selama kita mau mencoba dan berusaha. Tidak ada yang tidak mungkin!" Alice terlihat bersemangat,
"Baiklah, Nak! Kami akan berharap padamu! Semoga kamu berhasil membujuknya!"
Aliana pun mengangguk,
"Aku akan berusaha, Pah."
Hans pun mengangguk,
.
.
.
Sementara disisi lain, Andreas sudah menunggu kabar terbaru mengenai lahan peternakan sapi tersebut.
"Bagaimana? Apakah kamu berhasil menekan mereka?" Tanya Andreas, ketika Arthur sampai di ruangannya.
Arthur pun mengangguk,
"Besok, Anak perempuannya akan datang kemari untuk menemui anda, Tuan Muda!"
"Oh ya? Siapa nama gadis itu?"
"Kalau namanya, saya kurang tau! Soalnya, kami tadi belum sempat berkenalan!"
Andreas pun terkekeh,
"Apakah dia seorang gadis cantik yang memiliki lesung pipi?"
Arthur pun mengangguk,
"Seingatku, iya! Tapi, bagaimana anda bisa mengetahuinya? Apakah anda mengenalnya?"
"Apakah itu penting bagimu?"
"Hehe.. tidak juga, Tuan Muda! Kalau begitu, saya permisi pamit keluar! Kalau ada perlu apa-apa, anda bisa meminta saya untuk datang kembali!"
"Yasudah! Kau boleh pergi!"
Arthur pun membungkuk hormat, kemudian pergi meninggalkan ruangannya Andreas.
.
.
.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Andreas sudah bangun. Ia begitu tidak sabar untuk bertemu dengan gadis yang berhasil memporak-porandakan hati dan pikirannya tersebut.
Ia bergegas mandi dan mengacak-acak lemari, hanya untuk mencari satu buah pakaian yang akan ia kenakan di hari ini.
"Pelayan!" Teriaknya,
Para pelayan pun bergegas berdatangan menghampirinya.
"Iya, Tuan Muda! Ada yang bisa kami bantu?"
"Apakah baju di lemari hanya tersisa ini saja? Kenapa bajunya sangat jelek? Ini semua sama sekali tidak ada yang bagus! Bagaimana aku bisa bersiap!"
Para pelayan melihat ke sekeliling ruangan kamar tersebut, yang kini sudah hampir seluruhnya dipenuhi oleh pakaian yang berserakan.
Para pelayan hanya menggeleng-gelengkan kepala mereka.
"Tuan muda aneh sekali! Masa pakaian sebanyak dan sebagus ini dibilang jelek dan sedikit."
"Iya! Tidak biasanya dia begitu!"
Para pelayan itu malah berbisik-bisik.
"Maaf, Tuan Muda! Pak Arthur sudah datang!" Salah seorang pelayan datang untuk memberitahunya.
"Apa? Dia sudah datang?"
Pelayan itu mengangguk,
"Astaga!.... Kenapa dia datang secepat ini? Aku saja belum selesai bersiap!" Ucapnya, sambil mengacak kasar rambutnya.
Bagaimana bisa siap, sejak ia bangun dari tiga jam yang lalu, ia malah sibuk mengacak-acak lemari pakaian dan memberantakannya. Namun tak ada satu pakaian pun yang ia kenakan.
Para pelayan pun terkekeh,
"Suruh dia kemari!" Perintah Andreas,
Tak lama kemudian, Arthur pun datang.
"Tuan Muda! An...." Arthur tak melanjutkan kata-katanya, ia justru malah menatap heran kearah Andreas yang masih belum juga pakaian.
"Em.. Maaf, Tuan Muda! Bukankah Anda akan ke kantor, hari ini? Tapi kenapa anda masih belum juga bersiap?" Arthur menatapnya dengan heran,
"Bagaimana aku bisa bersiap, pakaiannya saja tidak ada!"
Arthur menatap ke sekeliling ruangan yang sudah dipenuhi oleh pakaian yang berserakan dimana-mana.
"Lah.. ini, apa? Ini pakaian juga!" Ucap Arthur, sambil mengambil beberapa pakaian itu lalu mengasongkan pakaian itu kepada Andreas,
Andreas pun menepisnya,
"Apa kamu tidak lihat? Ini pakaian jelek semua! Tidak ada yang cocok untuk aku kenakan. Lebih baik sekarang kamu hubungi desainer langganan ku, dan suruh dia kemari untuk membawa beberapa pakaian untukku!"
"Tapi, Tuan Muda! Ini sudah hampir jam 10!"
Andreas pun menoleh ke sebuah jam dinding klasik yang terpampang di dinding kamarnya, Iapun menepuk jidatnya.
"Yasudah sebentar! Aku bersiap dulu!" Kemudian ia mengambil sebuah pakaian yang ada di tangan Arthur, lalu menggantinya di ruang wardrobe.
15 menit kemudian, iapun kembali dengan setelan jas casual nan elegan,
"Aneh sekali Tuan Muda ini. Baju sebagus itu, masih di bilang jelek. Orang kaya memang selalu begitu, menganggap pakaian mahal seperti koran bekas saja." Bisik Arthur dalam hatinya,
Kemudian mereka pun berangkat,
..........
Sementara disisi lain, Aliana juga telah sampai di kantornya Andreas,
Ia menatap sekeliling ruangan kantor dengan takjub,
"Maaf, Nona! Ada yang bisa kami bantu?" Tanya seorang security di kantor tersebut,
"Em.. saya ingin bertemu dengan Tuan pemilik perusahaan ini, apakah bisa?"