"Aku hanya memikirkan ucapanmu itu tentang Alexander."
"Sudah, jangan dipikirkan. Biarkan itu mengalir seperti air sungai mengalir ke hulu."
"Semoga saja aku bisa begitu."
"Harus bisa. Naulida yang aku kenal adalah perempuan mandiri yang menjalani kehidupannya seperti aliran sungai dan laut jarang sekali memikirkan permalsahan yang terjadi ke depannya."
Naulida terkekeh mendengar kalimat yang mengatakan dirinya adalah perempuan mandri yang menjalani bak air mengalir. Naulida tidak memasukkan ucapan Satrio ke hati karena gaya bicaranya memang seperti tu.
Naulida melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan. Waktu telah siang dan menunjukkan pukul satu siang. Ia membungkukkan badan karena waktu istirahat telah lewat. Mereka keasikan berbincang satu sama lain.
"Jam makan siang telah lewat," rengek Naulida.
"Tidak apa-apa. Aku sedang memesan makanan untuk kamu dan aku. Aku pesan ayam penyet yang paketnya dengan kentang goreng dan minuma air mineral," ucap Satrio.
"Alhamdulillah. Makasih, ya, Satrio," ucap Naulida.
"Sama-sama. Aku sudah memberi catatan kepada pengantar makanan itu utuk diberikan office boy atau office girl lalu diberikan kepadamu," ucap Satrio.
"Okay. Makasih, ya, Sat," ucap Naulida.
"Sama-sama. Aku kembali bekerja dulu. Keep smile dan terima kasih sudah menyadarkanku untuk kembali menjadi diri sendiri seperti dahulu," ujar Satrio.
"Sama-sama. Kamu temanku dan aku temanku. Jadi, aku harus melakukan itu meskipun tidak ada hak untuk itu tapi, kamu sudah menjengkelkan. Jadinya, aku lebih kencang ke kamu," ucap Naulida.
"Tidak apa-apa. Aku malah senang kalau kamu yang mengingatkanku. Terima kasih dan sampai ketemu lagi pulangnya," ucap Satrio.
"Dasar. Selamat bekerja Sat."
Satrio kembali ke ruangannya. Naulida ke luar ruangan menuju toilet untuk mencuci wajah agar wajah tampak segar dan tidak kusut karena permasalahan yang belum terselesaikan dan muncul kembali masalah yang baru.
Naulida membasuh wajah sebanyak tiga kali lalu menatap dirinya di cermin. Ia berbicara dengan diri sendiri untuk memberikan energi positif agar selalu semangat dalam menjalani hidup.
"Hai, Naulida Ambriaksi. Apa kabarmu? Aku harap kabarmu selalu baik-baik saja, ya. Aku yakin kamu kuat dalam menjalani hidup yang fana nan keras ini sampai Tuhan memanggilmu. Jika, kamu capek, kamu istirahat, jangan menyerah atau putus asa karena itu akan sia-sia untukmu. Ingat perjuanganmu hingga mencapai titik ini, ingat keringat orang tuamu yang menyekolahkanmu hingga tingkat sarjana agar kamu bisa bekerja yang enak dan hidup yang enak. Semangat Naulida, jangan menyerah, keep smile, tetap kreatif dan produktif. Semangat Naulida, kamu pasti bisa menjadi orang sukses dan bisa membahagiakan orang tua dan adikmu," ucap Naulida terhadap diri sendiri seraya memeluk diri sendiri.
Setelah selesai berbicara dengan diri sendiri, ia ke luar dari toilet menuju ruangannya untuk kembali berkerja. Semangat Naulida bertambah saat ia mengajak bicara dirinya sendiri sehingga menjadi vitamin untuk mencapai semua tujuan dan cita-citanya di dunia.
Naulida kembali mengerjakan pekerjaannya dengan teliti dan fokus agar bisa pulang cepat hari ini. Tangan dan penglihatannya bekerja sama dengan baik sehingga pekerjaannya bisa selesai tepat waktu.
Tanpa terasa waktu jam kantor telah berakhir dan pekerjaannya pun ikut selesai tepat waktu. Naulida menyimpan file lalu mematikan laptop setelah itu keluar dari ruangan.
Naulida baru saja ke luar dari ruangan telah disapa dan diledek oleh teman-temannya. Ia meresponsnya dengan perkataan senda gurau agar tidak masuk ke hati dan tetap menjalani pekerjaan dengan baik.
"Wah, tumben, nih. Ibu Naulida pulang sore. Kerjaannya sudah selesai, ya, Bu?" ledek teman Naulida.
"Iya, dong, pekerjaanku sudah selesai. Aku hari ini semangat sekali seperti tersengat aliran air yang diberi bumbu semangat dan rasa kasih sayang," jawab Naulida.
"Wah, aliran itu pasti dari Bapak Alexander, ya?" sindir temannya.
Naulida tertawa."Wah, itu sengatannya beda lagi. Kalau ini sengatan semangat bukan sengatan cinta," sanggah Naulida.
Temannya tertawa menggelegar hingga menutup mulutnya."Astaga, Bu, ada-ada saja. Tapi, ada ibu bilang bahwa ada sengatan rasa kasih sayang berarti rasa kasih sayang itu bukan dari pak Alexander?" tanya temannya.
Naulida menggerakkan jari telunjuk ke arah kanan dan kiri di depannya."Bukan, dong. Mau tahu sosok yang memberi sengatan rasa kasih sayang itu?" tanya Naulida.
"Mau mau, Bu."
Naulida menghampiri teman perempuannya yang memakai kacamata dan rambut diikat satu, mengenakan pakaian kemeja berwarna biru muda dan jas yang senada dengan warna pakaian itu. Ia membungkukkan badan setengah lalu berbisik ke telinga temannya itu.
"Sosok yang memberi rasa kasih sayang itu ... aku," ungkap Naulida.
Sontak, temannya itu membelalakkan mata dan membuka mulut karena terkejut dengan jawaban yang membuatnya tidak ingin tahu sosok yang bisa membangkitkan semangatnya.
"Ih, Ibu! Nyebelin!" pekik teman perempuannya itu.
Naulida tertawa lalu meninggalkannya seraya melambaikan tangan kepada teman perempuannya itu. Ia tersenyum lebar setelah menggoda temannya itu
Naulida ke luar dari kantor dengan perasaan senang karena pekerjaannya selesai dengan tepat waktu. Ia hendak masuk mobil melihat Alexander jalan dengan papanya. Naulida menginjak gasnya secara perlahan.
Alexander melihat Naulida yang melewatinya. Tatapan mereka saling melirik dengan kilatan cahaya mata yang saling menyambar. Hubungan mereka telah membaik, tetapi mereka masih seperti orang yang tak saling mengenal.
Naulida menginjakkan gas mobilnya dengan kencang agar cepat sampai di rumah. Perjalanan dari kantor ke rumah memakan waktu sebanyak tiga puluh menit tanpa ada kemacetan.
Naulida ke luar dari mobil lalu masuk ke rumahnya. Ia baru sampai rumah dan hendak menginjakkan kaki ke tangga telah dipanggil ibu dengan keras. Ia pun menghentikan langkahnya.
"Sandria!"
"Iya, Bu?" balas Naulida sambil menghampirinya yang berada di dapur.
"Bantuin Ibu masak sini!" seru Ibu.
"Naulida ganti baju dulu, ya, Bu," ucap Naulida.
"Tidak perlu. Kamu pakai itu aja dulu."
Ibu melarang Naulida yang ingin ganti baju dulu. Naulida menuruti ucapan ibu padahal ia baru pulang dan tidak tahu bahwa dirinya juga lelah dalam mengurus pekerjaan. Naulida tidak ingin membuat ibunya marah sehingga mengalah dan melaksanakan perintah Ibu.
Naulida memasak sayur kangkung, ayam goreng, tahu dan tempe goreng dengan sambal bawang yang pedas untuk makan malam. Ia menyelesaikan masakannya selama empat puluh lima menit. Setelah itu, Naulida naik ke lantai dua untuk membersihkan diri dan beristirahat di kamar.
"Aduh, lelah sekali hari ini, tapi hari ini senang karena bisa membujuk Satrio menjadi teman yang dikenal olehnya seperti dulu dan bisa menyelesaikan pekerjaan tepat waktu. Ah, nikmatnya bisa pulang kerja sesuai dengan jam kantor dan ditambah jalanan juga bersahabat dan tidak macet panjang seperti biasanya," ucap Naulida.
Sesaat, Naulida bicara sendiri mengenai nikmat yang ia rasakan hari ini tetapi, satu sisi kepikiran dengan ucapan Satrio dan hubungannya dengan Alexander. Nada dering panggilan masuk berbunyi dengan keras. Naulida mengambil handphone dan melihat nama Alexander pada layar.