"Hadiah apa pun yang kamu suka pastinya," jawab Alexander.
"Ya sudah, terserah kamu, Alex. Aku tidur dulu dan kamu istirahat."
"Iya, Sayang."
Naulida tidak tertarik dengan hadiah yang dikatakan oleh Alexander. Ia hanya kepikiran dengan hal yang tak diinginkan olehnya terjadi padanya. Perasaan khawatir masih belum pergi dari dalam pikiran.
Naulida tak mengerti dengan hal yang harus dilakukan olehnya. Ia hanya bisa pasrah dan mengikhlaskan semua ketika berkenalan dengan mama Alexander.
Naulida mencoba memejamkan mata secara perlahan tetapi, kedua mata tidak mau terpejam dengan rapat. Pikiran masih jalan sehingga susah untuk tidur. Ia bergonta-ganti posisi tidur dari miring kiri ke miring kanan, terlentang menjadi tengkurap dan begitu seterusnya hingga jam pengingat berbunyi dengan keras.
Naulida membuka mata dengan lebar seraya mengernyitkan dahi dan memajukan bibir. Ia kesal dengan pemikiran yang belum tentu terjadi hinggap di sana.
"Aaahh, sudah pagi. Waktu cepat sekali berputar, sih!" gerundel Naulida yang tidak jelas dan marah-marah sendiri karena pemikiran yang tidak sinkron dengan hati.
Naulida beranjak dari kasur dengan hati dan pikiran yang tak menyatu sehingga harus menormalkan raut wajah dengan senyuman ceria agar semua orang tidak menanyakan masalah.
Naulida bersiap-siap ke kantor selama setengah jam. Ia memakai pakaian kantor berwarna navy dengan make up natural. Ia bercermin dengan memandang dirinya sendiri di cermin rias.
Raut wajah kusut dengan alis saling bertautan membuatnya terheran dengan itu. Ia pun tidak menyangka dengan wajahnya yang tidak ingin tesenyum terlihat tidak cantik malah memperburuk suasana dan itu bisa memengaruhi kondisi teman dan lingkungan kantor.
Naulida menghela napas panjang lalu mengembuskan napas berkali-kali untuk mengendalikan pikiran, emosi dan hati yang sedang tidak membaik. Setelah merasa membaik, berangkat ke kantor dengan hati dan pikiran yang lega dan positif atas apa pun yang terjadi.
"Aku siap berangkat kerja dan tidak memedulikan hal yang akan terjadi ke depannya. Ia juga tidak ingin memperburuk keadaan diri yang masih muda dan harus menjaga kesehatan fisik dan mental," ucap Naulida yang telah lega dengan semuanya.
Naulida berangkat tanpa sarapan dan berpamitan dengan orang tua maupun adiknya karena tidak ingin hatinya menjadi kesal karena ucapan dan sikap yang tidak diinginkan olehnya.
Naulida menempuh perjalanan dari rumah ke kantor selama tiga puluh menit tanpa ada macet. Ia juga heran dengan kondisi jalanan yang terbiasa macet malah tadi lancar jaya tanpa ada drama di jalan sehingga bisa tenang saat bekerja.
Ia menyapa semua rekan-rekan kerja dari pertama masuk pintu utama hingga masuk ke ruangan. Rekan-rekan yang disapa olehnya sampai menggeleng kepala melihat dan mengetahui sikap Naulida yang ramah dan baik.
Rekan kerja heran karena Naulida jarang sekali menyapa karyawan di perusahaan dan terkenal jutek dan tegas dalam masalah pekerjaan. Ia tidak main-main dengan pekerjaan yang telah menjadi tanggung jawabnya.
Suara pintu diketuk dan ia mempersilakan sosok yang mengetuk untuk masuk ke ruangannya. Tak lama, sosok yang mengetuk pintu adalah Satrio yang membawa berkas di satu tangan dan tas kain berwarna putih.
Naulida bersandar di kepala kursi sembari memerhatikan Satrio yang melangkah ke arahnya sambil tersenyum yang dihiasi lesung pipit. Satrio meletakkan berkas di meja dan tas kain itu.
"Apa itu?" tanya Naulida.
"Ini sarapan untuk kamu dan kopi susu kesukaanmu," jawab Satrio.
"Kamu masih ingat dengan kopi kesukaanku?"
"Masih, dong dan sarapan ini adalah sarapan kesukaanmu," ucap Satrio.
"Sungguh?"
"Iya."
Naulida mengambil tas kain lalu melihat isi tas kain itu dan ternyata nasi pecel dan air mineral berukuran satu setengah liter. Sontak, ia membelalakkan mata dan mulut terbuka dengan lebar saat melihat kesukaannya di dalam tas kain itu.
"Wah, enak ini. Makasih, ya, Sat. Kamu tahu saja kalau aku belum sarapan dan sedang membutuhkan kopi."
"Sama-sama. Kamu makan sebelum bekerja karena masih ada waktu lima belas menit," ucap Satrio.
"Siap. Aku makan dulu."
Naulida membuka nasi bungkus di atas meja dengan lapisan kertas putih yang tidak terpakai olehnya yang berada di atas meja kantor sebelah kiri untuk alas nasi bungkus. Ia makan dengan lahap dan Satrio melihat Sandria makan yang menyenagkan.
"Kamu sudah makan belum?" tanya Naulida.
"Aku sudah makan di sana tadi. Aku tadi mau ngajak kamu sarapan bareng tapi, kamu tidak mengangkat panggilanku," jawab Satrio.
"Kamu tadi meneleponku?" tanya Naulida sambil mengarahkan makanan ke mulutnya.
"Iya. Aku tadi meneleponmu dan aku pikir kamu masih tidur, eh, ternyata sudah datang di kantor," ucap Satrio.
Naulida terus makan nasi pecel hingga habis tanpa sisa. Satrio terus mencerocos mengenai masalah pekerjaannya saat ini. Ia bingung dengan pekerjaan yang dikerjakannya dan Naulida memberikan solusi kepadanya agar tidak bingung.
"Kamu kalau bingung boleh tanya Alexander mengenai pekerjaanmu karena dia pasti mengajarimu kalau kamu tidak bisa mengerjakannya," ucap Naulida.
"Iya, Naulida. Kamu suka begitu, kah?" tanya Satiro.
"Tidak, dong. Aku bisa mengerjakannya sampai tuntas," ucap Naulida.
"Hmm, dasar," kata Satrio seraya mengusap kepala Naulida.
"Hmm, jangan diberantakin rambutku. Aku susah payah ngerapihinnya. Kamu malah berantakin semuanya," ucap Naulida sambil cemberut.
Alexander masuk ke ruangan Naulida dan melihat Satrio dan Naulida bersenda gurau dengan Satrio memegang dan mengelus kepala Naulida. Ia juga melihat Naulida manja dengannya. Alexander mengepalkan tangan dengan erat dan tatapan elang mengarah ke Satrio.
Alexander tidak suka dengan sikap Satrio yang manis kepada kekasihnya. Ia menghampiri dan menyingkirkan tangan Satrio dari kepala Naulida. Sontak, Naulida terkejut dengan kehadiran Alexander yang tidak terdengar suara pintu terbuka.
"Alex!"
"Bagus. Kalian pagi-pagi sudah bermesraan dan berpegang-pegangan kepala. Kamu juga tidak menolaknya sama sekali ketika dia memegang dan mengelus kepalamu," geram Alexander sembari menatap Sandria dengan lamat.
"Kamu salah paham. Aku menolaknya, Alex. Kamu bisa lihat ekspresiku bahwa aku kesal dengannya," sanggah Naulida.
"Halah, alasan!" sungut Alexander.
"Kamu tidak percaya, ya sudah. Aku dan Satrio hanya teman dan dia tadi mengantarkan sarapan dan kopi untukku. Ia juga membahas masalah pekerjaan yang tidak mengerti sehingga aku memberinya solusi yang terbaik untuknya agar selalu terus bekerja dan semangat dalam kehidupan dan kerjanya," jelas Naulida.
"Ini buat kamu," kata Alexander sambil menyerahkan berkas dan diletakkan di meja.
"Selesai kamu rapat, kita selesaikan semua ini agar clear dan kamu jelas. Jika kita sering bertengkar karena masalah yang sepele dan kamu hanya melihat sekilas saja bukan keseluruhan," ucap Naulida.
"Untuk apa? Semuanya bagiku sudah jelas," sungut Alexander.
"Lalu, kalau semuanya sudah jelas, kamu mau ngapain?" tanya Naulida.