"Iya, Sayang. Aku akan mengajarimu dansa."
"Yey, makasih, Sayang."
Naulida tersenyum lebar saat mendengar respons Alexander yang mengajarinya dansa.
Lima belas berlalu, Naulida dan Alexander selesai makan. Naulida memandangi Alexander yang membersihkan mulut menggunakan tisu. Ia menatap lelaki yang menjadi calon suami sekaligus atasannya.
"Kenapa? Kamu mau belajar dansa sekarang?" tanya Naulida.
"Iya, aku mau belajar itu sekarang, boleh?"
"Boleh banget, dong, Sayang."
"Yes!"
Naulida dan Alexander berdiri di dekat meja. Merkea mengambil posisi bak pasangan yang sedang romantis. Alexander memeluk pinggang Naulida. Ia mengarahkan tangan di pundak dan kaki berada di atas kakinya dan satu tangan dipegang olehnya.
Naulida mengikuti arahan Alexander. Ia meletakkan satu tangan di pundak, satu tangan pegangan dengan Alexander dan kaki diletakkan di atas kaki Alexander. Alexander pun mulai menggerakkan kaki secara perlahan dan Naulida mengikuti gerakan Alexander yang ke kanan dan kiri secara perlahan.
Alexander menatap Naulida yang memerhatikan kakinya karena takut menyakiti kaki calon suaminya itu.
"Aku takut kakimu sakit kalau aku naik ke kamu karena aku pakai hak tinggi."
"Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa seperti ini saat mantanku berdansa denganku."
"Jadi, kamu pernah dansa dengan perempuan lain selain aku?"
"Iya. Tapi, itu dulu dan aku tidak pernah berhubungan dengan mantanku sampai sekarang. Jadi, kamu tidak perlu khawatir dan cemburu soal dia, ya, Sayang karena hanya kamu di hatiku."
"Iya, Alex. Aku percaya sama kamu."
Naulida belajar dansa bersama Alexander tanpa musik. Alexander berhitung setiap langkah dan gerakannya agar Naulida tetap bisa mengingat dan mempelajarinya di rumah saat tidak ada kerjaan atau ada waktu luang.
Naulida memerhatikan Alexander yang mengajarinya dansa sembari berhitung gerakannya. Ia menundukkan kepala untuk memerhatikan hitungan kakinya juga.
"Bagaimana? Kamu sudah bisa?" tanya Alexander.
"Sepertinya bisa," jawab Naulida seraya tersenyum lebar.
"Kalau kamu sudah bisa, kita coba menggunakan musik dansa, ya," ujar Alexander.
"Baiklah."
Naulida dan Alexander masuk ke ruang VIP untuk berdansa menggunakan musik. Namun, Alexander lupa dengan musik untuk berdansa sehingga Alexander keluar dari ruangan VIP untuk meminta tolong kepada salah satu pelayan untuk mengambil alat yang digunakan menyalakan musik dansa di ruang VIP.
"Mas, ada CD atau DVD atau musik dansa di hanpdhone tidak?" tanya Alexander.
"Ada, Mas," jawab salah satu pelayan."Mas mau dansa dengan perempuan yang berada di ruang VIP itu?" tanya salah satu pelayan.
"Iya, Mas," jawab Alexander serambi terkekeh.
"Saya bawa ke sana, Mas."
Alexander kembali ke ruang VIP bersama salah satu pelayan untuk membawa sound dan DVD untuk berdansa. Sontak, Naulida terkejut melihat Alexander masuk ke ruang VIP bersama salah satu pelayan restoran.
Pelayan restoran itu memasang semua alat hingga selesai. Lalu, pelayan itu pergi meninggalkan Naulida dan Alexander di ruang VIP. Alexander melakukan aksinya dengan menyalakan alat itu.
Alexander memegang pinggang Naulida. Naulida melakukan aksinya seperti yang diajarkan oleh calon suaminya itu. Ia menginjak kaki Alexander dengan pelan. Lalu, mereka mulai berdansa sesuai irama. Tatapan Naulida dan Alexander tak saling berpaling malah menatap tajam dengan tatapan dan senyuman nakal.
"Kenapa kamu menatapku dan tersenyum nakal?" tanya Naulida.
"Kamu cantik sekali malam ini," jawab Alexander.
"Jelas, dong. Aku harus cantik dan menawan kalau bertemu denganmu," ujar Naulida.
"Jadi, kamu cantik kalau bertemu denganku? Bagaimana dengan kerja?" tanya Alexander sembari tersenyum tipis dan melirik bibir mungil Naulida.
"Eh, salah, ralat. Aku harus rapi ketika bertemu dengan siapa pun karena penampilan seseorang bisa dinilai oleh orang lain," jawab Naulida."Sama. Aku kerja di perusahaan harus berpakaian rapi karena ada penilaian dalam berpakaian," imbuh Naulida.
"Kalah karyawan bekerja di kantor dituntut untuk berpakaian rapi karena ada penilaian sehingga dapat penghargaan dari awal mulai dari liburan hingga uang," ucap Alexander."Kenapa harus berpakaian rapi ketika bertemu dengan siapa pun?" tanya Alexander.
"Karena itu adalah harga diri. Jika, kita tidak menghargai diri sendiri dengan berpakaian asal-asalan maka orang lain bisa juga tidak menghargai kita meskipun kamu memintanya," jelas Naulida seraya menatap Alexander.
Alexander meletakkan tangan satu tangan Naulida yang digenggamnya. Lalu, ia memegang pinggang Naulida dan menatapnya lamat.
"Jadi, begitu. Sebenarnya, aku tahu soal itu tapi, aku ingin tahu jawaban kamu saja ternyata jawabanmu adalah jawaban yang masuk akal dengan gaya bahasa sendirimu sehingga aku pun dapat memahami itu. Gaya bahasa yang ringan dan sederhana," ucap Alexander.
Naulida tersenyum lebar saat Alexander menghargai pendapatnya dari sudut pandangnya meskipun ia mengetahui cara berpakaian yang rapi. Sontak, Naulida mengecup bibir Alexander sekilas lalu tersenyum dan menggigit bibir bawahnya.
"Nakal, ya, kamu mencuri kesempatan dalam kesempitan," ucap Alexander sekaligus menggodanya.
"Biarin. Kamu gemesin. Jadi, aku kecup kamu saja," jawab Naulida dengan nada manja lalu menjulurkan lidahnya.
Alexander tersenyum lebar lalu menyentuhnya hidungnya sekilas. Naulida merasa nyaman ketika bersama dengan Alexander. Ia meletakkan kepala di pundaknya dengan mengalungkan tangan di lehernya.
Naulida mengelus dagunya dengan lembut. Ia kepikiran tentang ucapan Alexander yang ingin memperkenalkan dirinya ke mamanya. Alexander melirik Naulida yang terlihat khawatir dan seperti memikirkan sesuatu yang berat.
"Hmm, tadi ramai sekarang diam mendadak bak terkena sengatan cinta dalam dekapanku," goda Alexander.
Naulida melirik Alexander lalu memposisikan kepala menghadap ke wajahnya dan menatap lamat."Aku sedang memikirkan sesuatu," ungkap Naulida.
"Apa yang sedang kamu pikirkan? Apakah itu sangat penting dan sangat mengganggu pikiranmu?" tanya Alexander sembari mengelus pipi Naulida.
"Aku memikirkan kamu," jawab Naulida.
"Aku baik-baik saja. Jadi, kamu tidak perlu memikirkanku," ujar Alexander.
"Aku tahu kalau kamu baik-baik saja, Alex," ucap Naulida dengan intonasi penekanan.
"Lantas, apa yang membuatmu diam dan kepikiran aku?" tanya Alexander.
Naulida memutar bola mata dengan malas. Ia cemberut karena Alexander tak ingat dengan ucapannya kala itu. Ia menghela napas panjang sebelum memberi tahu hal yang ada dalam benaknya.
"Kamu tidak ingat dengan hal yang pernah kamu sampaikan kepadaku?" tanya Naulida.
"Hmm, apa?" Alexander tidak ingat dengan hal itu.
"Kamu pernah bilang kepadaku bahwa kamu akan mengajakku ke orang tuamu sekaligus berkenalan dengan mamamu," jawab Naulida seraya menggertakkan kaki dan sedikit membulatkan matanya.
"Astaga soal itu. Aku mengingatnya dan kamu tidak perlu khawatir dengan mamaku karena orangnya baik dan suka bersenda gurau," ujar Alexander.
"Tapi, aku tetap takut saat berhadapan dengan mamamu nanti. Aku takut mamamu mengeluarkan banyak pertanyaan kepadaku," gerundel Naulida.
"Tenang saja, Sayang. Mamaku bukan wartawan yang selalu bertanya apa pun untuk kepentingan pekerjaannya. Mamaku itu adalah perempuan santai tapi serius," ucap Alexander.
"Tapi, sama saja, Alexander. Aku takut mamamu tidak menerimaku sebagai menantunya," ucap Naulida yang khawatir.
"Kenapa mamaku tidak menerimamu?" tanya Alexander.