"Selamat pagi, Bu."
"Selamat pagi, Bu Naulida."
Naulida selalu mendapatkan sapaan selamat pagi dari teman-teman lainnya. Ia biasa membalas sapaan itu dengan ramah tetapi, sapaan itu hanya dibalas dengan anggukan, mata sayup dan bengkak hingga teman-teman berbisik mengenai keadaan yang terjadi pada dirinya.
Naulida masuk ke ruangannya dengan pikiran yang berantakan, kepala sedikit berat karena tidak tidur seharian dan mata panas. Ia duduk dengan mendongakkan kepala sembari mata tertutup.
Sesaat, Naulida menutup matanya teringat ucapan Satrio mengenai keluarga Alexander dan ingin mengambil kehormatannya. Naulida merasa jijik dengan temannya itu. Ia tidak menyangka bisa berteman dengannya.
Naulida membuka mata dan mengembalikan kepala dengan normal. Ia menghela napas panjang lalu memeluk diri sendiri sebelum mengerjakan pekerjaannya di kantor.
'Everything is gonna be okay, Nau,' batin Naulida sembari mengelus lengannya.
Pikiran dan hati Naulida sedikit membaik lalu, ia memulai pekerjaannya. Naulida mengerjakan pekerjaannya yang menumpuk dan berusaha tidak mengingat kejadian semalam dan kemarin.
"Kamu pasti bisa tidak mengingat hal itu lagi, Nau. Anggap saja itu angin lalu yang tidak perlu diingat," ucap Sandria kepada diri sendiri sebanyak mungkin.
Bibir dan sepuluh jemarinya bekerja sama agar pekerjaannya selesai dan pikirannya tidak mengingat kejadian itu. Naulida menggerutu secara lirih. Suara pintu ruangan diketuk sebanyak dua kali. Ia memberikan izin untuk masuk ruangannya.
"Masuk!"
Penglihatan Naulida fokus ke arah laptop sehingga tidak memperhatikan seseorang yang masuk ke ruangannya. Sosok yang masuk ke ruangannya adalah Alexander dengan membawa dan menyerahkan sebuah dokumen yang dilapisi map berwarna biru.
"Dokumen apa ini?" tanya Naulida.
"Itu dokumen jadwal pemberangkatan angkutan untuk mengirim minyak yang telah dikelola," jawab Alexander.
Sontak, Naulida membelalakkan mata ketika mendengar suara bariton yang tidak asing dalam pendengarannya. Ia menoleh ke arah sumber suara itu.
"Alex?"
"Kamu cepat tanda tangani itu!" seru Alexander.
"Baiklah."
Naulida membuka dokumen lalu membaca dokumen itu dengan seksama. Setelah itu, ia menandatangani dokumen itu sebanyak lima kali sambil menanyakan keadaan kekasihnya itu.
"Bagaimana keadaanmu? Apakah kamu dihukum berat oleh papamu?" tanya Naulida.
"Aku tidak ingin menjawabnya," jawab Alexander dengan dingin.
"Baiklah. Kalau kamu tidak ingin menjawabnya sekarang. Aku juga tidak akan bertanya lagi setelah ini tapi, aku ingin menjelaskan kejadian semalam yang kamu lihat," ucap Naulida.
"Aku tidak ingin mendengarkannya."
Sikap Alexander terhadap dirinya berubah menjadi dingin setelah melihat kejadian semalam Nauldia bersama Satrio. Ia salah paham dengannya sehingga ingin menjelaskan kepada Alexander. Naulida meminta kepada kekasihnya itu untuk mendengarkan penjelasannya.
"Tolong, dengarkan penjelasanku dulu baru kamu marah denganku."
"Aku sibuk nanti saja kalau kamu ingin menjelaskannya," ketus Alexander.
"Baiklah. Aku akan menjelaskannya pada jam makan siang di kantin biasanya," ucap Naulida.
"Lihat saja nanti."
Naulida menyelesaikan tanda tangannya. Alexander mengambil dokumen itu lalu berbalik badan dan melangkah ke arah pintu. Alexander hendak membuka pintu ruangannya, Naulida mengeluarkan kata yang membuat langkahnya terhenti.
"Aku minta maaf."
Alexander hanya sedikit menolehkan kepalanya selama lima menit sambil berdiri dan tangan berada di gagang pintu. Lalu, ia ke luar dari ruangannya tanpa mengeluarkan satu kata pun. Sikap dingin yang pernah didapatakan olehnya dahulu sebelum menjadi kekasihnya.
"Apakah kamu sebegitu besarnya marah denganku?"
Bola matanya mengarah ke arah laptop dengan berharap tidak terjadi sesuatu pada hubungannya. Ia merasakan hal yang mengganjal dalam dirinya dan jantung masih berdegup tidak beraturan.
Naulida takut terjadi sesuatu dalam hubungannya sehingga pikirannya hampir penuh dengan Alexander dan perkataan Satrio itu. Kehadiran Alexander membuat pikiran Naulida berubah menjadi tidak fokus sehingga harus menenangkan dirinya lagi dengan memeluk diri sendiri dan mengelus badannya.
Setelah semua membaik, Naulida melanjutkan pekerjaannya dengan fokus dan teliti agar pekerjaannya tetap bagus dan berhasil dalam menjadi Manajer Pengelolaan. Ia harus bisa mengalihkan pikiran yang penuh dengan masalah ketika menghadapi dan mengerjakan pekerjaannya di kantor.
"Kamu pasti bisa, Nau. Kamu pasti bisa menyelesaikan semua permasalahanmu secara perlahan. Kamu harus fokus dengan pekerjaanmu terlebih dahulu karena kamu saat ini sedang di kantor dan masalah pribadi tidak boleh dibawa ke kantor. Jika, kamu sudah di kantor, kamu harus bisa mengubah raut wajahmu yang banyak masalah menjadi ceria dan ramah di depan banyak orang kalau kamu tidak ingin ditanya oleh banyak orang," ucap Naulida dengan pelan dan berulang kali terhadap dirinya.
Naulida sengaja melakukan hal itu agar pikirannya bisa membedakan masalah pribadi yang harus dibahas setelah jam kantor selesai. Ia melakukan itu untuk memperingati diri sendiri dan memberikan semangat terhadap dirinya.
Mata dan jemari bekerja sama dengan seirama selama beberapa jam. Ia sampai lupa dengan sarapan. Tanpa disadari olehnya, jam istirahat makan siang telah hadir. Penglihatan dan jemarinya masih fokus ke laptop sehingga ia hampir lupa dengan janjinya bertemu dengan Alexander
Naulida menoleh ke arah jam laptop dan waktu telah menunjukkan pukul setengah satu. Sontak, ia membulatkan bola mata sekilas karena terkejut bahwa waktunya istirahatnya dan teringat perkataannya yang berjanji dengan Alexander.
Naulida menutup laptop lalu mengambil dompet dan handphone. Setelah itu, ia ke luar dari ruangannya dan tidak lupa selalu mengunci ruangannya karena terdapat barang berharga di dalamnya.
Naulida bergegas ke kantin untuk makan siang dan bertemu dengan kekasihnya untuk menjelaskan kejadian semalam yang dilihat olehnya. Nualida mempercepat langkahnya agar cepat tiba di kantin.
Lima menit lamanya, ia melangkah ke kantin dan melihat Alexander telah duduk di meja yang hanya untuk dua orang. Ia sedikit berlari ke arahnya agar cepat sampai ke Alexander.
"Alex," panggil Naulida dengan tersengal-sengal.
"Aku kira kamu lupa," ucap Alexander.
"Tidak, aku tidak akan lupa. Maaf, aku datang terlambat karena fokus ke pekerjaan tadi," ucap Naulida.
"Tidak apa-apa. Kamu duduk, aku telah memesankan makanan dan minuman kesukaanmu."
Naulida mematung sedari tadi napas tersengal-sengal setelah mendengar Alexander membelikan makanan dan minuman kesukaannya. Ia tidak menyangka bisa melakukan itu di saat marah dengannnya.
"Kenapa kamu seperti itu?" tanya Alexander.
Naulida menggeleng cepat."Tidak apa-apa. Aku hanya heran saja denganmu," jawab Naulida.
"Kenapa heran?" tanya Alexander.
"Karena kamu masih memesan makanan dan minuman kesukaanku," jawab Naulida.
"Aku sengaja memesan dulu agar kamu tidak telat kembali ke ruanganmu," ungkap Alexander.
"Tidak apa-apa. Makasih."
Naulida menghirup dan membuang napas berulang kali untuk menenangkan dan mengatur pernapasan menjadi normal. Ia melakukan itu selama lima menit dan semua pesanannya datang di meja.
"Kamu ingin menjelaskan apa?" tanya Alexander dengan ketus.
"Aku ingin menjelaskan kejadian semalam yang kamu lihat, Alex," jawab Naulida.
"Kamu tidak perlu menjelaskannya itu sudah cukup jelas bagiku," ucap Alexander.
"Kenapa kamu bicara seperti itu? Kamu salah paham, Alex."
"Salah paham gimana? Aku melihatnya dengan kedua mataku dan jarak itu sangat dekat ketika aku melihatnya," ujar Alexander.
"Kamu salah."
"Salah gimana? Aku jelas melihatnya," ucap Alexander dengan intonasi penekanan.
"Dengarkan aku dulu!" geram Naulida dengan nada sedikit tinggi.
Naulida mengeluarkan nada sedikit tinggi kepada CEO dan anak dari pemilik perusahaan sehingga semua sorot mata beralih ke arahnya. Naulida melirik ke sekitarnya dengan mengangguk sekali dan tersenyum kecut.