Liora tidak pernah berpikir akan hidup di dalam rumah besar bak kerajaan bersama para pelayan. Ditambah memiliki suami yang masih terasa asing dalam hidupnya.
Meskipun pernikahan tidak terkesan memaksa, tapi permohonan itu membuat Liora merasa beban. Selain bebannya bertambah menjadi istri, ia juga tidak ingin memiliki hutang nyawa dengan Liam.
Tap.
"Nyonya Liora, apakah ada sesuatu yang bisa saya bantu?"
Xavier Wyman, asisten pribadi Liam di dalam rumah. Liora tersenyum, ia memang ingin bertemu dengannya. Jadi, Liora meminta tolong kepada Diomira.
"Bagaimana aku bisa memanggilmu?" Dengan sopan ia bertanya.
Liora sangat tahu bahwa pria di depannya itu lebih tua darinya. Jadi, ia harus bersikap sopan kepada orang yang lebih tua tanpa memandang derajat.
"Saya asisten pribadi tuan Liam. Xavier Wyman."
"Paman Xavier?"
Liora tersenyum seolah itu bisa di setujui sebagai panggilan untuknya. Membuat Xavier tersenyum merekah, ia merasa bahagia.
"Selama ini tidak pernah ada yang memanggil saya 'Paman'." Xavier sedikit terkikik.
Merubah raut wajah gadis itu yang mengkerut. "Paman tidak suka? Atau mungkin sangat tidak cocok?"
"Bukan begitu Nyonya. Anda bisa memanggil semau Nyonya saja," tunduknya lagi.
"Jangan panggil aku seperti itu, Paman. Panggil saja dengan namaku."
Xavier mendongak. "Tapi ..."
"Hanya ketika kita berdua saja. Jadi, Liam tidak akan marah mendengarnya."
"Baiklah, Nona."
"Begitu juga tidak masalah."
"Jadi, apa yang membawa Nona Liora memanggil saya?"
"Paman, apakah aku boleh keluar rumah?"
Xavier terdiam, ia menatap taman luar lewat jendela besar di belakang Liora.
"Sebaiknya jangan, Nona. Orang yang berada di dalam rumah tidak di perbolehkan keluar kecuali mendapat izin dari Tuan Liam."
"Apakah aku harus meminta izin kepadanya?"
"Nona, jika tidak ada kepentingan di luar sebaiknya tidak perlu."
Rumah besar itu sangat dijaga, banyak sekali para penjaga di luar. Liora merasa heran dan bertanya-tanya mengenai tempat tersebut. Bagaimana bisa orang di dalam rumah terkunci dari luar?
"Tapi, kenapa paman? Apakah ada yang salah jika bermain di luar?"
"Tuan Liam adalah orang yang sangat penting. Banyak sekali musuh yang mengintai, jika pihak keluarga dan pelayan tidak dijaga dengan ketat. Sesuatu yang buruk bisa terjadi lewat serangan secara tiba-tiba."
Ternyata, suaminya adalah orang yang sangat penting. Sepenting itukah sampai memiliki penjagaan rumah yang begitu serius.
"Di rumah ini banyak aturan yang harus di patuhi, Nona."
Liora menghela nafas. "Aku tahu, Dia adalah orang yang sangat teratur dan juga mencintai kesempurnaan."
Tentu saja, ketika Liora menatap bola mata biru Liam menyiratkan tampan yang begitu dalam. Wajah pria itu terlihat campuran dua negara.
Pria yang sangat menawan dan berperawakan tinggi dengan gagah. Sosok tegas memang terlihat, tetapi tidak menghilangkan wajah dinginnya.
"Nona, jika Anda ingin keluar rumah tidak bisa sendirian. Harus ada beberapa pengawal menjaga."
Terdengar rumit, seumur hidupnya Liora tidak pernah dijaga pengawal. Ia suka bepergian sendiri, mencari macam-macam makanan, bermain di taman, dan menghabiskan sore bersama senja.
Namun, mungkin sekarang sudah tidak bisa. Liora benar-benar terkurung di dalam kerajaan suaminya itu.
"Baiklah, aku mengerti." Menunduk dengan sedikit kecewa.
"Apakah Nona membutuhkan sesuatu dari luar? Saya bisa memberitahu pengawal untuk mencarinya."
Liora menggeleng pelan. "Tidak Paman, mungkin lain kali saja. Terimakasih."
"Sudah seharusnya, Nona." Xavier menunduk.
•••
Menghabiskan hari di rumah sedikit membosankan, Liora tidak suka jika diam saja. Membaca buku di perpustakaan rumah juga membuatnya mengantuk. Ia membutuhkan sesuatu yang seru.
Merentangkan kedua tangan kala kantuknya semakin menyerang. Buku tergeletak di meja, Liora segera keluar ruang perpustakaan rumah itu. Kemudian berjalan menuju dapur untuk mengambil minum.
Melihat jam pukul 4 sore, selama itu ia diam di perpustakaan sejak siang tadi.
"Bibi, jam berapa dia akan pulang?"
"Biasanya, Tuan Liam pulang sangat malam bahkan bisa dini hari," jelasnya.
"Selama itu?" Diomira mengangguk.
Liam terlalu lama bekerja, jika begitu mungkin akan sulit untuk mengenal lebih jauh suaminya. Awalnya Liora memang tidak suka, tetapi tetap saja mereka sudah menikah.
Kehadiran dan persiapan untuk suami adalah kewajiban bagi seorang istri. Meskipun umur mereka terpaut jauh, tetapi Liora mencoba mengerti.
Gadis itu meletakkan gelas di meja setelah menegak segelas air. Rasa hausnya terbayar dengan sempurna, tenggorokannya kering sebab terlalu lama membaca dengan suara.
Tidak lama kehadiran Xavier memberikan kabar bahwa Liam akan pulang lebih awal. Tanpa sadar Liora tersenyum senang, berharap bisa bertemu lebih lama.
"Bibi, apa yang harus di lakukan jika dia pulang lebih awal?" tanyanya.
Diomira yang tengah mengiris wortel berhenti, ia tersenyum lembut.
"Harus segera menyiapkan makanan. Karena Tuan Liam akan makan setelah pulang kerja."
Liora berlari mendekat. "Kalau begitu, aku saja yang menyiapkannya."
"Tidak perlu, Nona. Ada pelayan yang sudah menyiapkan segalanya."
Liora menggeleng. "Bibi, aku saja memotong wortel." Ia meraih wortel dalam genggam Diomira dengan pelan.
"Tapi, Nona ... hati-hati."
"Aku bisa memotong wortel dengan rapi."
"Apakah kau bisa memasak?"
Liora mengangguk semangat sembari fokus memotong wortel. "Aku bisa memasak, Bi. Ibu ... akh!"
Tanpa sadar jari telunjuk teriris pisau, membuat Diomira terkejut setengah mati.
"Nona Liora!"
Segera Diomira membawa tangan gadis itu ke wastafel untuk dibasuh.
"Astaga! Perih."
Meringis kala satu jari dibasuh air mengalir.
"Saya sudah bilang untuk hati-hati."
"Maaf Bi, aku tidak sengaja." Raut wajahnya terlihat menyesal.
Liora meniup jarinya yang masih ada sedikit darah sembari menahan sakit. Diomira menghampiri dengan plester luka, membalut jari telunjuk gadis itu.
"Sudah, sekarang biar saya saja yang melakukannya." Liora menggeleng.
"Tapi, aku ingin membuatkan makanan untuknya, Bi."
Diomira tersenyum simpul. "Nona bisa melihat saya memasak sekarang, karena ini makanan kesukaan Tuan Liam. Besok, Nona mungkin bisa mencoba memasak untuknya."
Liora langsung sumringah. "Dia suka makanan apa, Bi?"
"Sop daging sapi wortel. Tuan Liam sangat suka wortel, dia juga suka jus wortel, dan olahan apapun yang berbahan wortel."
Gadis itu mengangguk-angguk paham. Ternyata, suaminya pecinta wortel.
"Tuan Liam juga suka daging sapi daripada ayam. Lebih suka makanan berkuah daripada yang tidak."
Satu lagi, diam-diam Liam orang yang sangat banyak aturan. Apa dia akan cerewet jika tidak sesuai yang di inginkan?
"Bibi, apakah disini banyak sekali aturan?"
Diomira mengangguk seraya mengaduk sop di panci kecil tepat di atas kompor.
"Penghuni rumah bangun di pagi hari tidak lebih dari pukul 7 pagi. Rumah harus selalu rapi, tidak boleh ada yang berantakan sedikit saja. Makanan harus sudah siap sebelum Tuan Liam datang untuk sarapan. Pelayan juga siap sedia jika mendapatkan perintah dan tidak boleh ada yang menolak perintahnya. Seluruh pelayan tidak boleh tidur sebelum Tuan Liam tidur."
"Jadi, tadi aku bangun terlambat sekali."
Diomira tersenyum. "Tidak masalah, Nona. Pengantin baru sangat wajar."
Tanpa sadar Liora ikut terkekeh.
"Besok, aku harus bangun lebih pagi."
"Nona adalah istri majikan. Jadi, tidak masalah jika bangun siang."
Diomira kemudian meletakkan mangkok berisi sop daging wortel yang baru matang di atas meja makan. Sejak tadi, Liora selalu mengekori kepala pelayan itu seraya bertanya banyak hal. Hingga berhenti lagi di depan kompor.
"Bibi, apakah dia punya teman?"
Mengingat Liam tidak banyak bicara dan suka berekspresi dingin. Terlihat orang yang sangat serius ditambah banyak aturan dalam hidupnya.
Ia jadi penasaran tentang pertemanan Liam, hingga detik kemudian suara seorang pria terdengar.
Tok. Tok.
"Bibi, buatkan aku teh hangat."
Liora hampir jantungan rasanya.