Saat Raya pergi, Rima langsung masuk ke dalam ruangan itu karena ia ingin melihat apakah di dalam ruangan itu ada adik-adiknya.
"Alea, Aletta ..." panggil Rima.
Rima menatap ke arah sekitar dan terus melangkahkan kakinya menuju tempat yang sunyi serta gelap. Tidak ada siapa pun di sana, kecuali dirinya. Namun, Rima dapat melihat bayangan anak kecil dari kejauhan.
"Itu pasti mereka," ucap Rima.
Rima langsung berlari menuju tempat bayangan itu berasal, ia tidak peduli seberapa besar bahaya yang mungkin dapat mengancam nyawanya. Bagi Rima, kedua adiknya adalah harta yang paling berharga karena hanya merekalah yang Rima punya.
Sesampainya di tempat itu, langkah Rima langsung terhenti karena ia terkejut melihat kedua adiknya terduduk lesu di kursi dengan tangan dan kaki yang terikat.
"Kakak ..." panggil Alea.
Alea menatap Rima dengan tatapan penuh derita, sedangkan Rima hanya bisa menangis sambil berlari menghampiri kedua adiknya.
Saat berada di hadapan adiknya, Rima langsung menghempaskan tubuhnya dan terduduk lesu di lantai.
"Maafkan Kakak. Kakak belum bisa membahagiakan kalian," ucap Rima sambil berusaha melepaskan tambang yang mengikat tubuh adiknya agar adiknya terlepas dari penderitaan yang mereka alami.
"Tidak papa, Kak. Bagi kami, Kakak adalah Kakak terbaik karena Kakak mengorbankan masa depan Kakak demi menyekolahkan kami ..." balas Alea sambil tersenyum kecil.
Alea menatap Rima, lalu meraih tangan kakaknya yang terluka karena berusaha melepas tambang yang mengikat tubuhnya dan Aletta.
"Terima kasih karena sudah menjadi Kakak yang perhatian kepada adiknya, aku dan Aletta benar-benar berutang banyak kepada Kakak ..." ucap Alea sambil berusaha menahan tangis karena dia tidak ingin membuat Rima sedih.
"Kakak tidak pernah menganggap itu sebagai utang karena menjaga kalian adalah kewajiban yang harus Kakak lakukan. Jika Kak Mondi berada di sekitar kita, dia pasti akan melakukan hal yang serupa ..." balas Rima.
Rima memeluk tubuh Alea, kemudian ia mengusap kepala adiknya dengan penuh kelembutan karena dirinya sangat menyayangi adiknya.
"Kita harus tetap bertahan sampai Kak Mondi kembali bersama kita. Suatu saat nanti, Tuhan pasti akan menyatukan keluarga kita lagi ..." ujar Rima sambil tersenyum hangat.
Rima melepaskan pelukannya, lalu menatap wajah Alea yang pucat dan sedikit terluka karena tadi dia sempat melakukan perlawanan terhadap anak buah dari rentenir itu.
"Ayo, kita pulang. Kakak akan masakan makanan kesukaan kalian," ajak Rima.
"Tapi Aletta bagaimana?" tanya Alea sambil menatap saudara kembarnya.
"Kakak akan membopong dia. Kamu tenang saja," balas Rima.
Rima berdiri tegak, lalu ia meraih tangan Aletta dan membopongnya. Sedangkan Alea berdiri di belakang Rima sambil membawa tas sekolahnya dan Aletta.
"Ayo, kita pergi. Sebelum para penjahat itu kembali lagi," ujar Alea.
"Iya," sahut Rima.
Rima menggenggam tangan Alea dan pergi dari tempat itu, mereka melangkah secara perlahan agar para penjahat itu tidak mengetahui aksi nekat yang mereka lakukan.
***
Raya masih bermain kejar-kejaran dengan para penjahat yang menculik adiknya Rima agar Rima dan kedua adiknya bisa keluar dengan selamat.
"Jangan biarkan dia lolos!" ucap pimpinan dari para penjahat itu.
"Baik, Bos!" sahut mereka.
Mereka semakin mempercepat laju larinya, sedangkan Raya berusaha untuk terus berlari walaupun kakinya sudah terasa nyeri.
"Aku harus kuat, keselamatan Rima berada di tanganku sekarang!" Raya menyemangati dirinya sendiri agar ia bisa bertahan lebih lama demi sahabat sejatinya.
"Kamu tidak akan bisa melarikan diri dari kami!" teriak para penjahat.
Raya mengabaikannya dan terus berlari tanpa menoleh sedikit pun ke arah belakang. Namun, tiba-tiba kaki Raya tersandung membuat Raya terjatuh ke aspal dan mengalami cedera ringan.
"Aduh! Sakit sekali." Raya merintih kesakitan sambil memegang pergelangan kakinya yang cedera akibat tersandung batu besar.
Raya memijat kakinya. Namun, tiba-tiba para penjahat itu berdiri di hadapannya membuat Raya tertegun seketika saat melihat wajah mereka yang cukup menyeramkan.
"Hahahaha, kau tidak akan bisa melarikan diri lagi!" ucap mereka.
Mereka tertawa puas sambil menatap rendah Raya, sedangkan Raya hanya tertunduk pasrah karena ia tidak bisa melakukan apa-apa. Kakinya mengalami cedera dan dia tidak bisa berjalan ataupun berdiri tegak.
"Ayo, kita bawa dia ke tempat tadi. Lumayan dia bisa kita jadikan sebagai budak pemuas hawa nafsu," ucap salah seorang dari penjahat itu.
"Kamu benar. Lagi pula, tubuh gadis ini juga cukup bagus ..." balas penjahat lain sambil tersenyum licik.
Mereka meraih tangan Raya dan hendak membawanya menuju tempat persembunyian mereka. Namun, tiba-tiba ada seorang pemuda berwajah tampan dan bertubuh tinggi yang menghalangi jalan mereka.
"Siapa Anda? Cepat minggir!" perintah mereka. Namun, pemuda itu malah mengabaikannya.
"Saya adalah Elric Putra Sonohara. Lepaskan teman saya atau saya akan melaporkan Anda?" ancam Elric.
"Melepaskan dia? Enak saja. Kami tidak akan melepaskan dia, sebelum dia memenuhi hasrat birahi kami!" balas para penjahat itu.
Para penjahat itu memegang gunung kembar Raya dan meraba-raba tubuhnya membuat Elric menjadi murka karena tubuh Raya adalah miliknya dan tidak ada satu pun orang yang boleh menyentuh barang berharga miliknya.
Tanpa banyak basa-basi, Elric langsung memberikan tendangan maut kepada para penjahat itu.
Elric memukul serta menginjak tangan dan kaki mereka satu-persatu, sedangkan para penjahat itu sudah tidak berdaya di hadapan Elric karena kemampuan Elric jauh lebih kuat jika dibandingkan dengan mereka.
"Kalian harus mati!" ucap Elric.
Elric mengeluarkan senjata tajamnya dan hendak membunuh para penjahat itu satu-persatu. Namun, belum sempat Elric melakukannya, Raya sudah mencegahnya karena Raya tidak ingin Elric bernasib sama, seperti Galang.
"Jangan lakukan itu. Kamu tidak boleh menjadi pembunuh hanya karena diriku," lirih Raya.
Raya memeluk Elric dari belakang, sedangkan Elric terpaku untuk beberapa saat karena dia tidak menyangka jika Raya akan berbuat manis kepadanya.
"Kenapa kamu peduli kepadaku?" tanya Elric sambil melirik Raya.
"Aku tidak ingin kamu menyesali perbuatanmu seumur hidup. Bagaimanapun membunuh orang adalah perbuatan keji," balas Raya.
Raya meraih tangan Elric dan memperkuat pelukannya, sedangkan Elric tersenyum manis saat mendengar ucapan Raya karena ia tidak menyangka jika ada orang lain yang peduli dengan masa depannya.
Selama ini, Elric selalu hidup sendiri walau dia memiliki banyak harta, tapi hidupnya tidak bahagia dan dia harus berjuang demi masa depannya.
"Terima kasih atas kepedulian kamu terhadap diriku," ucap Elric.
"Sama-sama," sahut Raya.
Raya enggan melepaskan pelukannya karena ia takut jika Elric akan melukai para penjahat itu saat ia melepaskan pelukannya, sedangkan para penjahat itu hanya bisa pasrah sambil melihat keromantisan Raya dan Elric yang membuat jomlo iri.
Raya masih memeluk Elric, sedangkan Elric menggenggam jari-jemari Raya dan sesekali tangannya mengusap kepala Raya.