Chapter 2 - BAB 2

AKU terkejut saat ayahku tiba-tiba masuk ke dalam kamar. Aku yang tadinya ingin melupakan kekacauan pikiranku karena teringat masa-masa harmonis bersama keluargaku, sekarang malah ayah masuk ke kamarku. Aku sama sekali tidak mengharapkan kehadirannya di kamarku. Dia tersenyum seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Padahal dia tahu kalau aku saat ini sangat membencinya.

Tapi tetap saja dia berusaha untuk mendekatiku. Perlahan dia melangkah mendekatiku, berdiri di samping kasur sementara aku terdiam tanpa sepatah katapun yang ku ucapkan padanya. Perlahan dia memegang bahuku dan meremasnya. Aku sedikit merasa kesakitan akibat tangannya yang besar dan kuat. Aku langsung memandang ke arahnya, lalu ayahku tersenyum.

"Apa yang selalu kamu pikirkan? Belakangan ini sepertinya kamu menjauh dari ayah." Tanya ayahku seolah-olah dia tidak tahu kenapa aku sangat marah padanya.

"Tidak, aku mau tidur." Seruku langsung berbaring dan membelakaanginya.

"Ayah sudah berusaha untuk menjadi yang terbaik, tapi mungkin kamu tidak dapat merasakan usaha yang ayah lakukan untukmu." Seru ayahku berkata, tapi aku tetap tidak mau melihatnya. Sebisa mungkin aku memejamkan mata dan tidur. Tapi ayahku tetap saja terus berbicara tanpa henti. Sedangkan aku sama sekali tidak mau mendengarkan ceritanya, seolah masuk dari telinga kanan keluar telinga kiri.

Lalu tiba-tiba di mengelus kepala ku. Aku seketika tercengang dan merasakan kehangatan yang sudah lama sekali tidak ku rasakan dari ayahku. Dia memperlakukan aku seperti anak kecil yang sedang di tidurkannya. Perasaan jengkel dan kangen bercampur menjadi satu.

Lalu muncul dalam benakku, aku tidak butuh cinta dan kasih sayang. Aku bisa hidup seorang diri tanpa siapa pun. Pasti ayahku hanya mencari simpatiku agar aku bisa memaafkannya. Tapi tentu saja tidak, batin ku menolak semua itu. Yang ku rasakan saat ini hanyalah kebencian yang mendalam.

Tanpa putus asa, ayahku terus membelai kepalaku dengan lembut. Tiba-tiba saja kepalaku terasa dingin dan basah. Sepertinya ayahku meneteskan air matanya. Aku langsung menjadi gundah dan gelisah saat ayahku menangis. Aku tahu meskipun aku tidak melihatnya. Dia juga mungkin tidak sadar kalau air mata nya menetes ke keningku. Inilah yang paling ku benci, aku langsung menjadi lembek saat hal ini terjadi.

"Tidak, aku tidak akan melihatnya." Perasaan buruk itu langsung timbul dalam benakku. Apakah aku ini kejam? Tidak sama sekali. Aku berusaha memejamkan mata kuat-kuat dan berharap langsung tertidur.

"Ayah begitu sayang padamu dan begitu juga dengan ibumu. Kamu harus tahu itu Rain. Jika ada perlakuan ibumu yang kasa dan membuat mu takut, itu adalah rasa sayang yang ditunjukkannya kepadamu. Buka berarti dia membencimu sampai kamu takut untuk bertemu dengannya." Seru Ayahku yang dari tadi berbicara sambil mengelus kepalaku.

Aku tak tahu lagi harus bagaimana menyuruh ayahku ke luar dari kamar. Aku sama sekali tidak ada keberanian untuk mengusirnya. Ya, tentu saja aku tidak berani. Di satu sisi aku merasakan kehangatan yang di tunjukkan ayahku saat ini. Di sisi lain, dia sangat menakutkan bagiku.

"Sayang?"

Sayang macam apa sebenarnya ini. Sudah lama rasa sayang itu tidak ku lihat dalam diri ayahku, begitu juga ibuku. Sekarang dia malah berbicara tentang sayang yang sudah lama tidak ku dapatkan. Mungkin bisa dibilang mereka adalah orang tua yang durhaka kepada anaknya. Aku tahu, istilah itu lebih tepat untukku sebagai anak durhaka. Tapi semua ini bukanlah kesalahanku. Aku hanya ingin hidup bahagia tanpa cinta, dan aku bisa membuktikan kalau aku bisa hidup sendiri tanpa orang lain.

"Kamu tidak seharusnya memperlakukan ayahmu seperti orang lain begini. Ayah tahu, kamu belu tidur. Tapi setidaknya kamu bisa melihat dan menatap ayah, bukannya membelakangi ayah seperti ini. Mana Rain yang dulu selalu tersenyum manis dan berteriak ayah, ayah, ayah dan minta di gosokin punggungnya saat mandi. Meminta di rapikan pakaiannya sebelum berangkat sekolah." Seru Ayahku membuat hati ku yang keras menjadi luluh.

Aku perlahan membuka mata dan tak terasa air mataku pun pecah. Aku tak bisa menahan lagi, hati ku yang keras akhirnya bisa luluh juga dengan ucapan ayahku saat aku selelu meminta dia menggosokkan punggungku ketika mandi dan merapikan pakaianku ketika hendak ke sekolah. Aku perlahan membalikkan badan dan menatap ayahku yang wajahnya membelakangiku. Aku tahu, pasti dia sangat malu sampai mengeluarkan air mata, dan tidak mau aku melihatnya menangis.

"Aku sayang ayah" Seruku memegang tangannya seraya menariknya agar melihat ke arahku.

Saat ayahku membalikkan wajahnya ke arahku, aku langsung terkejut melihat wajah ayahku begitu seram. Matanya merah seperti orang sedang marah, serta wajahnya di penuhi oleh darah.

Aku berteriak sekuat tenaga dan mendorong ayahku hingga dia terjatuh dari atas kasur ke lantai.

Seketika terbangun dari mimpi burukku, jantungku mulai berdebar kencang. Aku tidak tahu apa yang membangunkan ku, tetapi rasa takut yang melanda saat aku menoleh untuk melihat pintu kamar tidur dan melihat aula di luar kamar ku gelap melalui celah di bagian bawah pintu. Aku pun memejamkan mata, aku selalu melakukan apa yang ingin aku lakukan ketika ini terjadi, dan memikirkan film kartun lucu di otak ku mencoba menenangkan hati dan kembali tidur.

Mendengar suara aneh, mata ku terbuka dan jantung ku berdegup kencang sekali lagi. Bangun dari tempat tidur dengan tenang, aku membuka pintu dan mengintip ke segala arah sebelum berjingkat-jingkat secepatnya secara diam-diam di lorong, melalui ruang tamu, dan menuju kamar tidur orang tuaku di sisi lain rumah, bertanya-tanya apakah mereka mendengar suara itu juga.

Ketika aku mencapai aula ke kamar mereka, beberapa ketakutan dalam diri ku pergi. Lampu mereka menyala dan aku bisa mendengar gumaman datang dari dalam, memberi tahu ku bahwa mereka sudah bangun dan aku tidak sendiri. Mengambil langkah menuju pintu mereka yang terbuka satu inci, aku merasakan kehangatan basah membasahi bagian depan bawah piyama ku. Ketika aku melihat melalui celah, ibu ku berdiri di dekat ayah dengan pisau di tangannya. Lengannya dan bagian depan gaun tidurnya berlumuran darah. Aku langsung menutup mulut dengan tangan. Aku terhuyung-huyung dari pintu, lalu aku terjatuh dengan pantatku terhempas lalu kemudian berguling lepas landas dan menangis ketakutan ketika cahaya membanjiri aula. Aku mendengar ibuku meneriakkan sesuatu di belakangku.

Aku langsung berlari ke dapur, lalu mengambil telepon yang ada di meja dan pisau dari toko daging. Aku pergi ke kamar, aku sama sekali tidak mendengar apa-apa di belakang saat aku bergegas ke bagian belakang lemari dan bersembunyi, merangkak tempat aku biasa bermain ketika aku masih kecil. Dengan terengah-engah, aku menekan satu satu kosong di telepon dan hanya menunggu satu dering agar operator mengangkatnya.

"Satu satu kosong, apa keadaan daruratmu?" Seru seseorang dari telepon

Sambil mencengkeram pisau di dadaku, suaraku tercekat dan aku berbisik, "Ibuku baru saja membunuh ayahku."