Chereads / Roxalen High School / Chapter 30 - Masa Lalu Sergei

Chapter 30 - Masa Lalu Sergei

"Serina?" Sergei menyadarkanku dari lamunan. Ia menatapku khawatir.

"Eh, yah?" aku tergagap. "Maaf aku melamun."

"Memikirkan sesuatu?"

"Yeah..."

"Kau tahu?" Sergei menyandarkan punggung di bangku taman. "Kadang aku menginginkan kekuatan seperti Huddwake agar aku bisa tahu apa yang sedang kau pikirkan."

Aku tertawa. "Oh, ayolah. Apa yang ada di pikiranku sama sekali tidak penting bagimu, Sergei."

Sergei terdiam. Aku menatapnya karena ia tidak menyahut.

"Aku selalu penasaran." Sergei menghela nafas. "Kau terlihat punya banyak hal yang dipikirkan."

Aku terdiam, mengalihkan mata dari pandangan Sergei.

"Uh..."

"Huh?" Sergei menyorongkan telinga, mendesakku agar aku mengatakan padanya. Ah, aku benci merasa bagai orang yang kalah perang seperti ini tiap berhadapan dengan Sergei.

Aku melengos.

"Boleh aku bertanya sesuatu?"

Sergei diam sejenak baru kemudian mengangguk, membuatku tahu bahwa ia masih harus menimbang-nimbang untuk menyanggupi permintaanku.

"Oh, sumpah. Pertanyaan ini sudah lama menggangguku, tapi aku ragu untuk menanyakannya padamu," aku mengomel sendirian.

Sergei tertawa. "Kau meragukanku?"

"Bukan kau, tapi pertanyaannya. Aku takut itu akan mengganggumu."

"Cobalah."

Aku menggigit bibir, Sergei benar-benar menunggu pertanyaanku.

"Kenapa Huddwake melakukan hal itu padamu?"

Akhirnya terucap juga. Seketika dadaku terasa ringan karena ganjalan besar itu sudah kulempar ke luar. Kuberanikan diri menatap Sergei yang duduk di sebelahku. Matanya menerawang menatap langit yang kekuningan—senja mulai datang. Rambut Sergei yang coklat kemerahan terlihat indah diterpa cahaya senja. Angin musim gugur yang semakin dingin membelai rambutnya.

"Mungkin karena aku mendapatkan apa yang ia inginkan."

Satu hembusan angin yang kencang menyibakkan rambutku, tetapi aku sudah terpancang pada mata Sergei. Dengan lembut Sergei menyingkirkan selembar daun kering yang tersangkut di rambutku.

"Apa maksudmu?" Kugelengkan kepala, tidak mengerti.

"Awalnya kami berteman baik." Sergei berkata sambil tersenyum kecut. "Namun, semuanya berubah sejak aku mengalahkan Huddwake di kompetisi."

Jantungku berdetak keras.

"Jadi kekalahan Huddwake di tahun terakhirnya…"

Aku teringat Huddwake pernah membicarakan sebab kekalahannya, tapi ia tidak memberitahu bahwa lawannya di final kompetisi terakhir adalah Sergei—junior bimbingannya sendiri.

"Huddwake mendapatkan banyak tekanan karena kekalahannya, mungkin karena itulah ia melampiaskan kemarahannya padaku."

Aku menelan ludah. "Huddwake pernah bilang padaku bahwa ia kalah karena musuhnya memanfaatkan kelemahannya."

Sergei menatapku terkejut, kemudian ia menghela nafas. "Yeah, bukankah itu tabu untuk dilakukan pada teman baikmu?"

Aku ganti menatap Sergei.

"Karena itulah aku tak ingin berhadapan denganmu di kompetisi, Serina. Sama halnya aku tidak ingin berhadapan dengan Huddwake tahun lalu." Sergei tersenyum getir. "Aku tidak memanfaatkan kelemahannya, itu terdengar buruk."

Aku lega mendengar jawaban Sergei.

"Apa kau tahu? Level kemampuan telepati Huddwake tinggi, ia bisa melakukan imprint dan cuci otak."

Persis seperti dugaanku.

"Namun, semua orang berkekuatan spesial sebenarnya bisa menangkal kekuatan telepath. Dengan memblok energi mereka, seperti membuat barikade agar mereka tidak bisa menembus pikiran kita. Itulah yang kulakukan untuk menghadapi Huddwake."

Aku ternganga. Prof. Fatocia pernah menjelaskan pada kami soal itu dan sepengetahuan beliau hanya para guru yang sudah berpengalaman yang mampu melakukannya.

"Kau bisa melakukannya, Sergei? Itu membutuhkan level kemampuan yang cukup tinggi."

Sergei mengangguk sambil tersenyum. "Tapi tolong rahasiakan ini, oke?"

"Oke." Aku tersenyum geli melihat wajah malu Sergei.

"Itu membutuhkan energi besar, Serina. Aku belum begitu hebat dalam menggunakannya." Sergei merendah. "Karena itulah Huddwake bisa melakukannya padaku. Itu diluar kompetisi, saat aku sedang lengah."

Sergei membuka mulut, kemudian menutupnya lagi—seperti ingin mengatakan sesuatu yang berat—perlu pertimbangan. Aku hanya menatapnya, menunggu untuk mendengarkan apa yang akan ia katakan.

"Ia membongkar ingatanku yang sudah susah payah kukubur dalam-dalam," suara Sergei sedikit bergetar. "Aku punya masa lalu yang buruk karena keanehanku ini, Serina. Tidak seorang pun menerimaku, bahkan Ayah dan Ibu—juga kakakku. Orangtuaku mengizinkan tinggal di rumah, tapi sekali pun mereka tidak pernah menganggapku sebagai anak mereka."

Ekspresi Sergei berubah. Ada ketakutan, seperti ketika ia memintaku untuk melarangnya mengatakan 'maaf'. Aku menyentuh tangan Sergei yang gemetaran, mencoba menenangkannya. Tangan yang besar—tangan lelaki—tapi terlihat ringkih karena aku bisa merasakan ketakutannya. Perlahan tangan Sergei menggenggam tanganku, seperti mencari perlindungan.

"Mereka menyuruhku mengais sampah untuk makan, kalau beruntung aku mendapat sisa makanan kakakku. Ibu sering menyuruhku tidur di kamar mandi hingga aku menggigil kedinginan. Ayah sering memukuliku. Aku tidak sekolah, tidak bermain, hanya mendengar suara radio dari kamar kakak—itulah hiburanku. Namun, kalau aku mulai bernyanyi, kakak akan memukuliku dan menyumpal mulutku dengan apa saja yang ditemukannya.

"Penyiksaan yang terus menerus kuterima perlahan menjadi seperti percobaan pembunuhan, badanku tak kuat lagi menanggung siksaan yang bertubi-tubi. Akhirnya, aku memutuskan untuk melarikan diri dari rumah saat aku harusnya duduk di kelas 1 SMP. Beberapa hari setelah melarikan diri, aku merasa takut dan entah kenapa aku memutuskan untuk kembali ke rumah itu. Aku terus mengutuk diriku—jiwaku seperti masih terpenjara di rumah itu walaupun aku sudah berhasil melarikan diri darinya. Aku seperti dihantui, dikejar-kejar oleh keluargaku.

"Namun, ketika aku sampai, aku tidak mendapati keluargaku. Rumahku terbakar tepat di malam aku melarikan diri. Saat itu juga muncul teror baru bagiku: aku mulai dicari-cari sebagai tersangka pelaku pembakaran yang menewaskan seluruh anggota keluargaku. Aku mulai menjalani kehidupan jalanan. Aku menggunakan kekuatanku untuk mengubah-ubah wujudku sehingga aku selalu lolos dari pencarian polisi. Aku hidup tak punya arah. Menjadi gelandangan, mulai mencuri untuk bisa bertahan hidup."

Sergei menggenggam tanganku semakin erat, aku bisa merasakan kepedihannya. Aku merasa begitu beruntung. Sementara Sergei dan Clark, mereka mereka menanggung beban hidup yang sangat berat karena kekuatan mereka. Sergei menunduk, hatiku benar-benar sakit menatapnya. Sama sekali tidak ada senyum yang biasanya. Aku memberanikan diri untuk mengulurkan tangan, mengangkat wajah Sergei. Mata birunya menatapku pedih, menusuk perasaanku.

Aku tidak ingin melihat Sergei seperti ini.

Aku merengkuh bahu Sergei, memeluknya. Aku tidak berpikir apa yang sedang kulakukan, hanya ingin mengakhiri kesedihan Sergei. Aroma chamomile dari tubuh Sergei menyelimutiku. Sergei yang selalu dikagumi orang, kini terlihat begitu menyedihkan di hadapanku—tak berdaya. Sergei melepaskan tangannya yang menggenggam tanganku, kemudian merengkuhku. Ia membenamkan wajahnya di bahuku.

"Aku bukan orang yang baik, Serina," bisik Sergei lemah. " Hidupku seburuk itu…"

"Tidak. Tidak, Sergei," aku menyelanya, suaraku ikut bergetar. "Kau disini sekarang. Itu hanya masa lalumu, Sergei. Kau tidak boleh terperangkap di dalamnya. Kau berhak mendapatkan kebahagiaan dan kebaikan. Kau harus melupakan masa lalu dan menjadi orang yang lebih baik lagi disini." Kucengkeram baju Sergei dengan jemari, memberikan penekanan terhadap perkataanku.

Angin berembus lagi, menyisir rambut Sergei, membelai pipiku lembut.

Aku terkesiap, ada rasa hangat yang menyentuh bahuku.

Sergei menangis dalam diamnya.

"Maafkan aku, Sergei. Aku membuatmu mengingat kenangan burukmu."

"Bukankah aku pernah bilang bahwa aku akan menceritakannya padamu suatu saat?" Sergei menyentuh rambutku, ia masih belum mengangkat wajahnya. "Itu bukan salahmu, Serina. Dan…"

"Dan?"

"Biarkan aku seperti ini sebentar lagi."

"Tapi berjanjilah ketika kau mengangkat wajahmu, kau akan tersenyum lagi."

Tubuh Sergei berguncang sedikit karena ia tertawa. "Aku hanya menceritakan ini padamu, Serina."

"Kau bisa memercayaiku," sahutku pelan.