Prof. Baavue tertawa renyah. Aku menatapnya aneh.
Prof. Baavue terdiam.
"Aku tahu pasti kau adalah orang yang tidak akan menyalahgunakan kekuatanmu sejak aku melihatmu di ruang kompetisi." Prof.Baavue setengah berbisik, "Kau bersemangat dan mau belajar. Aku sungguh tidak ingin melewatkan bakat yang seperti itu."
Aku mengernyit. Prof. Baavue melengos.
"Ayolah, aku seorang telepath. Aku membaca pikiranmu, Nak."
Aku terdiam beberapa detik.
"Prof. Baavue…" Aku setengah berbisik, "Bukankah kelebihan anda telekinesis[1]?"
Prof. Baavue tersenyum simpul. "Bukanlah Prof. Fatocia sudah pernah menjelaskan tentang kemungkinan seseorang untuk memiliki lebih dari satu kelebihan?"
Aku menelan ludah. "Itu sangat langka Prof. Baavue."
"Aku memilikinya sejak lahir." Prof. Baavue menyeruput kopinya. "Kuanggap itu sebuah keberuntungan."
Aku menatap Prof. Baavue dengan pandangan kagum sekaligus tidak percaya.
"Apa anda satu-satunya di Roxalen High?" tanyaku ingin tahu.
Prof. Baavue melayangkan pandangan ke langit-langit ruangan. "Mungkin, di Roxalen High. Aku tidak tahu dengan yang di luar sana."
Kami terdiam, kembali menikmati minuman masing-masing.
"Prof. Baavue…"
"Ya?"
"Anda menguasai barikade telepati, bukan?"
"Sebagian besar guru di Roxalen High menguasainya, Nak."
Aku menggigit bibir, teringat akan perkataan Huddwake bahwa Prof. Baavue bisa membantuku. Aku ingin sekali memintanya, tetapi perkataan Huddwake juga yang mencegahku. Kenapa ia mengatakannya? Membantuku untuk hal yang akhirnya melemahkan dirinya sendiri—bukankah itu konyol? Apa ia ingin menjebakku? Aku menatap Prof. Baavue, ia sudah menghabiskan es kopi hitamnya dan kelihatan siap untuk berpamitan.
"Prof. Baavue…" Aku mengerahkan seluruh keberanianku untuk menahannya pergi.
"Apa kau butuh sesuatu?"
"Err…" Aku tidak berani menatap matanya. "Bisakah anda melatih saya untuk menguasai barikade telepati?"
Prof. Baavue menatapku kaget.
Aku menatapnya balik dengan tatapan memohon.
Prof. Baavue menghela napas. "Kau mengingatkanku pada Sergei Ivanov."
Aku mengernyitkan dahi dengan kaget. "Sergei?"
"Bukankah kau berkencan dengannya?" Prof. Baavue menggodaku. Aku memutar bola mata—pasti ia tahu dari Roxalen Weekly. "Kalian sungguh mirip."
"Maksud anda?"
"Kemauan belajar kalian." Prof. Baavue tersenyum. "Ia juga mendatangiku tahun lalu."
Aku tertawa. "Apa Sergei belajar barikade telepati dari Anda, Sir?"
Prof. Baavue mengangguk. "Ia sungguh berbakat. Hanya dalam tiga bulan Ivanov sudah bisa menguasainya."
"Tiga bulan?" Aku mendelik. Sergei sungguh berusaha keras untuk melindungi dirinya dari Huddwake.
"Kenapa kau tak belajar darinya? Bukankah itu lebih menyenangkan?" Prof. Baavue menggodaku lagi. Aku mengerang kesal karena sedang tidak ingin bercanda.
"Ia tidak mau membuatku terlalu lelah, Sir," jawabku. "Namun, aku tetap ingin belajar. Bisakah anda membantuku?"
Prof. Baavue terlihat menimbang-nimbang.
"Kumohon?"
"Ada satu lagi kesamaan kalian," bisik Prof. Baavue. "Kalian sama-sama keras kepala."
Aku tertawa. Prof. Baavue beranjak dari kursi. Aku terus menatapnya, menunggu jawaban.
"Kau bisa mulai latihan setelah ujian semester, datanglah ke ruanganku," jawaban Prof. Baavue membuat hatiku berteriak girang. "Oh, ya. Kembalilah ke asrama jika kau sudah merasa baikan."
"Tentu. Thanks, Sir."
Begitu Prof.Baavue menghilang di balik pintu ruang kesehatan, Dara dan Clark menerobos masuk. Ya, jelas terlihat mereka mendobrak pintunya. Aku hanya meringis sambil melambaikan tangan pada mereka.
"Apa kau tak makan siang?" Clark langsung meluncurkan pertanyaan konyol begitu tiba di samping ranjangku.
"Aku bahkan menghabiskan udang goreng Sergei setelah sepiring nasi gorengku," jawabku jujur. Clark mengerang sambil menepuk dahinya.
"Kau terlihat agak sedikit kurang sehat akhir-akhir ini, Serina." Dara mengkhawatirkanku dengan gaya bahasa "agak sedikit"-nya.
"Mungkin hanya kelelahan." Aku menjawab sekenanya. Jelas tidak mungkin aku jujur pada Dara dan Clark bahwa aku begini akibat ulah Huddwake. "Terima kasih sudah menjengukku."
"Aku bahkan membawakan roti lapis telur Roxy Café favoritmu." Clark meletakkan kantung kertas di pangkuanku—terasa masih hangat. "Makanlah yang banyak, kau mengerahkan banyak energi di latihanmu untuk kompetisi."
Aku menatap Clark penuh haru, teringat bahwa ia hidup susah bersama Pamannya. "Terima kasih, Clark," kataku sambil tersenyum.
Clark mengangguk-angguk. "Tapi kau harus mempertemukanku dengan Sergei. Kau tidak lupa bahwa aku fansnya, bukan?" Kata-kata Clark membuatku tertawa.
"Serina!"
Aku menoleh ke arah suara itu. Sergei berlari tergopoh-gopoh menghampiriku. Aku melirik Clark sambil tersenyum usil. Clark mengucapkan 'Oh, Tuhan' dengan bibirnya tanpa suara, sementara Dara melengos menatapnya.
"Kau tak apa-apa?" Sergei menyentuh wajahku, sangat khawatir.
"Kau bisa menakuti Dara dan Clark," candaku. "Tenanglah, aku baik-baik saja. Sudah menghabiskan segelas coklat panas dan baru saja akan melahap roti lapis telur."
Sergei tertawa. "Maafkan aku. Aku sungguh khawatir."
"Kenalkan temanku, Sergei. Clark Luvithor." Aku memperkenalkan Clark pada Sergei. Sergei tersenyum dan mengulurkan tangan, Clark menyambut tangan Sergei dengan antusias.
"Aku sering melihat Clark duduk di meja dekat panggung live performance di Roxy Café."
"Yeah, aku penggemarmu, bersama Serina dulu."
Aku mendelik pada Clark.
"Benarkah? Aku merasa tersanjung." Sergei tersenyum manis. "Aku fans Serina sekarang."
Clark tertawa sambil menepuk pundak Sergei. Dara berdeham, sementara aku segera menggigit sandwich pemberian Clark. Sergei memperhatikanku makan—gigitan demi gigitan ia terus menatapku, membuatku hampir lupa bagaimana rasa roti lapis telur yang kumakan.
"Bisa kau menemaniku ke mini market di kota, Clark?" Dara bertanya, tetapi tangannya sudah menggamit lengan Clark—hendak menyeretnya pergi. Clark menatap Dara penuh kekecewaan, tetapi Dara memelototinya.
"Oh, baiklah..." jawab Clark lemas.
"Aku pergi dulu, Serina. Nanti aku kembali untuk menemanmu." Dara mengedipkan mata. Aku memutar bola mata, tahu bahwa ia sengaja mengajak Clark pergi untuk membiarkanku hanya berdua dengan Sergei.
"Aku akan langsung kembali ke asrama setelah ini, Dara."
"Oh, oke."
Dara dan Clark berlalu meninggalkan ruang kesehatan dengan keributan yang konyol. Sergei tidak berbicara, ia membiarkanku menghabiskan roti lapis telurku terlebih dahulu.
"Apa kau menemui Huddwake?" tanya Sergei tanpa ekspresi. Ia mengelap sudut bibirku dengan sapu tangannya. Ternyata ada sisa saus disana.
"Tidak sengaja," jawabku pendek. "Terima kasih."
"Bukankah sudah kubilang untuk menjauhinya?" mata Sergei menatapku tajam.
"Aku sudah melakukannya."
"Kau bahkan masih berbicara dengannya," desis Sergei. "Apa yang kumaksud dengan menjauhi Huddwake, itu termasuk kau tidak perlu berbicara dengannya. Kau tahu, bukan? Kata-katanya bisa menjadi jalan untuk mempengaruhimu." Nada bicara Sergei meninggi.
Aku terdiam menatap lantai.
"Apa kau lupa, Serina? Dia ingin merebutmu dariku! Kau bahkan kurang berhati-hati dengan dirimu sendiri!" kata Sergei penuh emosi. Ia menghela nafas, menyibakkan rambutnya yang menutupi keningnya. "Maafkan aku?"
"Bukankah kau bilang kau akan melindungiku?" Aku mendesis, "Apa aku salah? Bukankah kau melarangku untuk mempelajari barikade telepati? Aku sudah berusaha untuk berhati-hati, Sergei." Aku bangkit, beranjak meninggalkan ranjang.
Sergei diam, menatapku tak berkedip. Kuikat tali sepatuku dengan serampangan, kemudian kusambar tasku dan buru-buru meninggalkan ruang kesehatan. Aku sama sekali tak menoleh, tak memedulikan Sergei yang terpaku di tempat duduknya.
[1] Kelebihan untuk menggerakkan benda-benda di sekitar hanya dengan pikiran