"Aku tahu," balas Sergei. Ia melepas pelukannya perlahan. "Maafkan aku membuatmu seperti ini, tapi jujur itu membuatku tenang."
"Kau tidak seharusnya minta maaf."
"Yeah, itu kata-kata yang mengingatkanku pada kenangan burukku—kata kunci yang harus terus kuucapkan agar aku bisa bertahan hidup di rumah itu." Sergei menghela nafas. "Tapi kupikir mengucapkannya padamu bukan sesuatu yang buruk. Kau membuatku tenang."
"Baguslah kalau kau merasa begitu," kataku agak malu.
Sedikit aroma chamomile dari tubuh Sergei masih tertinggal di bajuku. Kali ini aku sudah bisa berpikir jernih dan itu membuat wajahku terasa panas. Oh, Tuhan... apa yang sudah kulakukan tadi? Memeluk Sergei duluan, sungguh tidak tahu malu. Namun, bukankah Sergei bilang bahwa tindakanku itu membuatnya tenang?
Aku mendelik dalam diamku, berdebat dengan diri sendiri.
"Selain itu…" Sergei kembali angkat bicara.
"Selain itu?"
"Martinez."
"Ada apa dengan Martinez?" aku mengernyit.
"Huddwake mengimprint Martinez."
Sekali lagi realita yang disampaikan Sergei mengejutkanku, seperti petir di siang bolong.
"Imprint?" Kucoba mencerna kata-kata Sergei.
"Huddwake sama sekali tidak menyukai Martinez. Hanya karena Martinez tergila-gila padaku, ia mengimprint Martinez agar menyukainya. Dia pikir itu akan menyakiti hatiku, tapi kenyataannya aku dari awal tidak pernah tertarik pada Martinez. Aku membarikade pikiranku agar Huddwake tidak bisa membacanya."
Itukah yang membuat sikap Huddwake seakan tidak terlalu peduli pada Martinez?
"Karena reaksiku yang biasa saja, kelihatannya imprint Huddwake sedikit melemah. Dan bisa kau lihat, perasaan Martinez masih tersisa sedikit, kini sebagai fans Sergei ivanov si penyanyi kafé." Sergei tertawa kecut.
"Kelihatannya Huddwake benar-benar ingin merebut segalanya darimu," geramku.
Sergei tertawa. "Aku tidak keberatan kalau Martinez, tapi…"
"Ada lagi?" tanyaku sambil membelalakkan mata. Sergei menatapku lekat-lekat.
"Kau."
Aku tercekat, Sergei menatapku tanpa senyuman lagi.
"A… aku?" Aku tergagap tidak mengerti. "Ada apa denganku?"
"Dia ingin memilikimu." Sergei berkata dengan suaranya yang rendah.
"Apa maksudmu?" Aku masih tidak mengerti.
"Dia akan membuang Martinez dan merebutmu dariku."
Aku serasa kehilangan akal. Semua ini benar-benar membingungkan, mengejutkanku. Aku samma sekali tidak bisa menemukan benang yang menghubungkan itu semua.
"Kenapa dia harus merebutku darimu?" tanyaku bingung.
Sergei menghela nafas panjang.
"Itu karena dia jelas-jelas tahu bahwa aku menyukaimu, Serina."
Aku menatap Sergei tidak percaya. Perasaanku campur aduk—bingung, terkejut, takut. Aku tak mampu berkata-kata. Sergei menatapku lurus.
"Aku merasa tenang bersamamu, perlahan membutuhkan kehadiranmu dan mulai menginginkanmu. Tapi aku lengah dan membiarkan Huddwake mengetahui perasaanku padamu. Tanpa sadar aku telah membahayakan dirimu, Serina."
Sergei memalingkan wajah.
Aku terdiam. Dalam hatiku aku merasa takjub, orang yang selama ini kukagumi ternyata merasakan hal seperti itu padaku. Terbesit rasa bahagia, tetapi juga takut ketika mengingat Huddwake.
"Aku akan melindungimu, Serina." Sergei menggenggam tanganku lagi. Aku menatap mata birunya yang serius. "Aku ingin kau tetap bersamaku."
Aku tersenyum.
"Bukankah kau sudah selalu melindungiku?" Aku tertawa kecil, mengingat Sergei yang selalu memintaku waspada akan Huddwake. "Maaf, aku pernah meragukanmu, Sergei."
Sergei mengangkat bahu sambil tersenyum. Ia mendekatkan wajahnya padaku, kemudian mencium pipiku lembut. Aku terkejut, wajahku—terutama di pipi tempat Sergei menempelkan bibirnya—terasa panas. Sergei tersenyum melihat reaksiku.
"Kau tak akan meragukanku kali ini."
***
Aku sedang mengerjakan tugas geografi dari Prof. Sanatiah—Wriden Sanatiah, guru paling eksentrik yang pernah kutemui sepanjang hidupku. Ia sangat menyukai sup ayam, lebih dari apa pun. Bahkan, ia selalu menemukan cara untuk memadukan sup ayam dan mata pelajaran yang diajarkannya, Geografi dan Ekonomi—melalui soal-soal latihan dan permisalan-permisalan yang digunakannya saat mengajar. Aku berani sumpah kalau Prof. Sanatiah tidak pernah absen sekalipun untuk menyebutkan sup ayam di tiap pertemuan pelajarannya.
Selain sup ayam, Prof. Sanatiah adalah warga seorang warga Amerika berkulit hitam yang selalu berbicara dengan logatnya yang 'menggelitik', juga gayanya yang hampir seperti rapper. Ia selalu mengajar dengan santai, tapi murid-murid di kelasku tidak akan pernah merasa santai di jam Prof. Sanatiah. Semuanya selalu khawatir akan menjadi sasaran dadakan dari pertanyaan-pertanyaan sulit Prof. Sanatiah. Jika tidak bisa menjawab, kami hanya diberi dua pilihan—detensi atau mentraktir Prof. Sanatiah makan sup ayam sepuasnya di Roxy Café. Sekedar info, dia bisa menghabiskan sepuluh mangkuk besar sup ayam sekaligus—itu cukup menguras kantung.
Tiba-tiba Dara menghampiriku dan menghamparkan Roxalen Weekly—koran sekolah mingguan Roxalen High—hingga menutupi buku geografiku. Aku memandang Dara heran.
"Bisa kau jelaskan padaku, Serina?" Dara menatapku serius.
"Apa?" Aku melebarkan mata, tidak mengerti.
Dara mengetuk-ngetukkan jarinya ke satu halaman di Roxalen Weekly. Kuikuti kemana arah jarinya menunjuk dan mataku segera terbelalak.
"Apa-apaan ini?" desisku.
Fotoku bersama Sergei ketika pesta penyambutan murid baru dipajang besar-besar—foto ketika kami berdansa. Begitu juga foto ketika kami makan di restoran Italia—pertama kalinya Sergei mengajakku keluar. Itu sudah lama sekali, kupikir aku lolos dari Lukas Barnhook. Ternyata aku salah.
"Pasangan terpanas minggu ini?" Dara memutar bola matanya.
"Uh… aku tidak suka judulnya." Aku mengernyitkan dahi.
"Kau tidak memberitahuku, Serina? Kau jadian dengan Sergei?" Dara merengut kecewa, ia duduk di sebelahku.
Aku menghela napas.
"Dengar, Dara. Sergei memang mengatakan kalau ia menyukaiku, tapi kami belum sampai seperti itu." Aku mencoba menjelaskan. Dara mengangkat alisnya.
"Bukankah kau menyukainya?"
"Uh… ya." Aku memfokuskan mata kembali ke Roxalen Weekly. "Tapi kami belum membuat komitmen untuk itu, jadi aku tidak berani bilang bahwa Sergei adalah pacarku." Aku mengangkat bahu.
"Tapi menurutku itu sudah otomatis." Dara menepuk pundakku. "Komitmen implisit."
Aku tertawa.
Sedetik kemudian tawaku buyar.
"Mengapa mereka memasang foto Huddwake disini?"
"Inti dari beritanya adalah skandal diantara kau-Huddwake-Sergei. Versi pertama: Hudwake menyukaimu, tapi kau dan Sergei saling menyukai. Versi kedua: kau menyukai Huddwake—tapi karena ada Martinez, kau mendekati Sergei untuk melampiaskan kekalahanmu. Versi terakhir: Kau dan Huddwake saling menyukai, tapi Martinez dan Sergei bersekongkol untuk menghalangi kalian." Dara nyerocos tanpa mengambil jeda.
Aku memutar bola mata. "Mereka itu jurnalis atau novelis?"
Kututup lembaran Roxalen Weekly dengan gemas.
"Yang jelas kalian bertiga sama-sama disudutkan." Dara mengangkat bahu. "Aku bisa mengantarmu untuk menemui ketua Roxalen Weekly, Serina."
"Lukas Barnhook?"
"Yeah. Kau bisa menuntutnya atas pemuatan berita ini."
"Dan memintanya untuk meralat di edisi depan? Oh, kurasa tidak, Dara sayang. Bahkan Huddwake berengsek itu sudah merasa dirugikan oleh berita yang dibuat Barnhook dan timnya selama tiga tahun. Ia pun memilih untuk tidak menuntutnya—itu cukup menjadi contoh buatku. Lukas Barnhook orang yang keras kepala dan ia tidak peduli sebohong apapun berita yang dimuatnya. Obsesinya mengerikan dan salah arah." Aku bergidik.
"Aku hanya perlu bersikap sewajarnya dan menahan gosip di luar sana."
Aku mengatakannya dengan enteng.