Chereads / Roxalen High School / Chapter 25 - Huddwake Berbahaya

Chapter 25 - Huddwake Berbahaya

"Sedang apa kau di Birmingham?" Ed bertanya lagi.

Sedang apa? Harusnya aku yang menanyakan itu padanya.

"Kau makin cantik. Andai kau normal, aku pasti mau jalan denganmu."

Aku menggenggam tasku erat-erat, kesal.

"Dia terlihat normal, Ed." Tobias menimpali, menatapku dari atas sampai bawah dengan pandangan yang membuatku risih.

"Kau jangan macam-macam dengannya, Tobias. Dia seperti mutan-mutan di film fiksi superhero."

Bibirku bergetar menahan amarah. Aku bisa merasakan badanku memanas, gelombang energiku menggelegak. Aku takut terjadi sesuatu. Ini tempat umum, aku tidak boleh terjebak dengan kekuatanku sendiri.

"Mundurlah, Ed. Kurasa ia mulai merubah wujudnya menjadi mutan." Tobias tergelak.

"Kalian mundurlah," seseorang berkata di belakangku, ia menyentuh pundakku.

Aku menoleh, rupanya bukan Sergei.

"Tenanglah." Huddwake berbisik kepadaku.

Aku berusaha berbicara, tapi aku hanya tergagap—suaraku tidak keluar. Aku hanya mengangguk kaku. Huddwake menarikku mundur ke balik punggungnya.

"Oh, apa kau mengenal Serina?" Ed mendekati Huddwake. "Kami tidak mengganggunya. Kami teman lama, kau jangan salah paham."

"Aku tidak melihat kalian seperti teman." Huddwake menatap mata Ed yang sejajar dengan hidungnya. "Kalian bisa pergi sekarang."

"Ada yang sok jagoan disini. Apa kau cowoknya?" Ed meradang. Ia menggulung lengan bajunya, bersiap memukul Huddwake. "Apa kau mutan juga seperti dia?!"

"Diamlah, kau berisik."

Mendadak mata Ed membelalak, perlahan tatapannya menjadi kosong. Huddwake pasti sedang merasuki pikirannya. Tobias kebingungan melihat Ed yang tiba-tiba diam menuruti Huddwake. Ia mengutuk kami berdua, kemudian membawa Ed pergi bersama kawannya.

Huddwake berbalik menatapku. "Kau tak apa-apa?"

Aku belum bisa menjawab Huddwake. Kedatangan Ed seperti mengembalikan kenangan burukku—membiarkan gelombang energi yang begitu panas menjalar di seluruh tubuhku. Kemarahan masih menjadi kontrol utama kekuatanku. Aku menatap Huddwake, kemudian mundur selangkah. Aku takut akan menyakitinya lagi seperti ketika pertama kali kami bertemu.

"Lihat aku, Serina," perintah Huddwake. Ia mengangkat wajahku, memaksaku untuk menatap mata abu-abunya.

Apa yang akan dia lakukan? Aku mencengkeram tangan Huddwake, berusaha melepaskannya. Aku tidak ingin dia menyentuhku saat ini, takut terjadi sesuatu lagi. Tiba-tiba Huddwake mengaduh, aku pun refleks mengendurkan cengkeramanku. Huddwake menatapku dalam-dalam hingga aku bisa melihat alisnya yang membentuk garis tajam, juga tulang dahi dan hidungnya yang sangat berkarakter. Benakku seperti terseret ke dalam pupil matanya yang gelap. Rasa dingin mulai mengalir ke dalam tubuhku, meredamkan gelombang energiku yang panas. Kepalaku terasa ringan dan aku merasa sedikit mengantuk.

"Ada apa ini?"

Suara Sergei sontak menyadarkanku. Aku mengerjapkan mata, kemudian menatap ke sekeliling. Sergei membawa dua kotak pop corn berukuran sedang di kedua tangannya, menatap linglung padaku dan Huddwake. Aku kebingungan mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskannya pada Sergei.

"Apa yang kau lakukan padanya?" Sergei menyingkirkan tangan Huddwake dariku dengan kasar.

"Tidak ada." Huddwake mengusap tangannya.

Aku tersentak melihat pergelangan tangannya membiru, tepat dimana aku mencengkeramnya tadi. Aku menelan ludah. Huddwake memergokiku sedang menatap pergelangan tangannya, kemudian dimasukkannya kedua tangannya ke saku cardigan abu-abu gelap yang dikenakannya. Aku terus menatap—merasa bersalah, tetapi Huddwake tak menggubrisku.

Aku sudah menyakiti Huddwake lagi.

"Tidak ada?" Sergei bertanya sengit. "Sama sekali tidak terlihat seperti tidak ada yang kau lakukan." Ia tersenyum kecut.

"Sergei…" aku berusaha menyela.

"Aku tahu gelombang energi Serina keluar tadi. Kau yang memicunya, bukan??"

"Sergei!" Aku setengah berteriak. Sergei menoleh padaku dengan tatapan kaget. "Bukan Huddwake, ia hanya berusaha membantuku."

Sergei menatap lurus dan tajam pada Huddwake, sementara Huddwake memalingkan pandangan ke arah lain. Sergei berdecak kesal.

"Sammy..."

Aku menoleh ke arah suara itu. Martinez menghampiri Huddwake. Suara ketukan sepatu hak tingginya bahkan masih bisa terdengar di tengah keramaian.

"Sergei??" Martinez setengah berteriak kegirangan, tetapi senyumnya segera memudar ketika mendapati diriku di sebelah Sergei. "Oh, kau sedang bersamanya, Sergei?" Martinez bertanya dengan nada tidak yakin. Matanya menatapku, plus dahinya berkerut.

"Daripada itu, lebih baik kau urusi saja cowokmu." Sergei berkata dengan nada datar yang menusuk. Martinez terlihat terkejut mendengar jawaban Sergei. Ia mundur selangkah, kemudian Huddwake merangkul bahunya.

"Ayo, pergi. Jangan membuang waktu," kata Huddwake dingin sambil melirik Sergei.

Huddwake mengalihkan mata padaku sejenak sebelum ia pergi bersama Martinez. Hatiku terasa ngilu ketika menatap Huddwake. Aku dikuasai perasaan bersalah. Aku membencinya, tetapi ia selalu membantuku. Namun, ketika aku ingin menghilangkan rasa benci itu, dia selalu melakukan hal-hal yang menumbuhkan kembali kebencianku padanya. Aku sama sekali tidak mengerti Huddwake.

"Serina?" Sergei menyadarkanku sekali lagi. "Kau berkeringat."

"Oh, maaf."

Aku segera membuka tas kecilku, mencari tisu. Sungguh konyol, aku berkeringat di cuaca dingin seperti ini, sementara yang kulakukan hanya berdiri menunggu Sergei. Setidaknya seharusnya begitu jika Ed dan Tobias tidak datang.

"Ayo, kita masuk."

Aku hanya mengangguk, kemudian mengikuti Sergei. Sampai kami menemukan kursi kami, suasana hening. Kami hanya terdiam, pikiranku sendiri masih agak melayang-layang setelah Huddwake merasukinya tadi—mengendalikan diriku agar kembali tenang.

"Kau tak ingin bercerita padaku?" Sergei meletakkan satu kotak pop corn ke pangkuanku.

Aku terdiam. Oh, kalau bukan karena agar tidak terjadi kesalahpahaman antara Sergei dan Huddwake, aku sungguh enggan menceritakan kembali kejadian tadi.

"Kau tidak punya alasan lagi untuk marah pada Huddwake, bukan?" tanyaku pada Sergei setelah menceritakan semua detail kejadian tadi. "Ia melakukannya untuk membantuku."

Sergei menatapku tajam. Aku tidak mengerti kenapa ia seperti belum bisa meredakan kejengkelannya walaupun sudah mendengarkan ceritaku.

"Baiklah, ia membantumu. Namun, kau harus tetap waspada, Serina." Sergei merendahkan suaranya. "Kau tidak bisa tahu apa yang dilakukannya pada pikiranmu, bahkan alam bawah sadarmu."

Aku mengernyit, menatap Sergei.

"Ada apa denganmu, Sergei?" aku menggelengkan kepala tidak percaya. "Kukira kalian teman baik. Dia hanya membantuku, kenapa kau berpikir sampai seperti itu?"

Sergei menatapku begitu dalam dengan mata birunya. Aku bisa merasakan kekecewaan di matanya. Aku tahu kata-kataku menyakitinya, tetapi aku merasa harus mengucapkannya agar mendapatkan kejelasan—mengapa Sergei mengatakan kepadaku bahwa Huddwake berbahaya.

Sergei mendesah berat.

"Karena dia pernah melakukannya padaku."

Aku tertegun menatap Sergei.

"Dia menguasaiku hingga ke alam bawah sadarku. Membuka semua rahasiaku, mengingatkanku pada semua kenangan buruk, dan membangkitkan traumaku," suara Sergei bergetar. Tangannya meremas kotak pop corn hingga sedikit isinya tumpah. "Apakah seorang teman melakukan itu?"

Aku terdiam, perasaanku campur aduk melihat Sergei yang begitu pedih.

Ia tersenyum kecut. "Kami tidak berteman, Serina."

Jantungku berdegup keras.

"Kami hanya menutupi permusuhan kami."

***

Aku mendapati kantong kehitaman di bawah mataku ketika bangun tidur pagi ini. Semalam Sergei mengantarku pulang pukul setengah sebelas malam, tetapi aku tidak bisa tidur hingga jam tiga pagi. Kini aku terbangun sebelum pukul enam pagi. Aku mengerang kesal sambil mengacak-acak selimut karena tidak bisa tidur lagi.

Semalam setelah Sergei mengungkapkan rahasianya, aku tidak berani berbicara sepatah kata pun padanya. Begitu juga dengan Sergei. Satu-satunya yang ia katakan setelah itu hanyalah 'selamat tidur'—ketika mengantarku kembali ke asrama. Dalam hati aku merasa sedikit menyesal karena menanyakan hal itu kepada Sergei kemarin. Aku khawatir setelah ini hubungan kami akan memburuk.

Selain itu, aku juga bingung harus bersikap bagaimana di antara Sergei dan Huddwake. Aku benar-benar belum bisa menentukan sikap pada Huddwake. Aku tidak menyangka ia pernah menyakiti Sergei.

Mungkin lebih baik jika aku menjauhi Huddwake.