"O... oke," kataku setengah hilang akal.
Aku tidak percaya artis Roxalen High mengajakku nonton film. Sedari tadi aku berjalan bersama Sergei saja sudah banyak mata-mata yang melirik. Jika itu cewek, tatapan mereka menakutkan. Jika cowok, tatapan mereka membuatku tak nyaman.
"Walaupun agak beresiko?"
"Huh?"
"Penggemarmu akan memprotesku."
"Aku bisa jalan dengan siapa saja yang kumau, bukan?" Sergei meyakinkanku. "Lagipula aku yang mengajakmu. Aku yang bertanggung jawab."
Aku menatap Sergei sambil menahan tawa. "Tanggung jawab?"
"Tidak akan terjadi apapun padamu. Siswa Roxalen High tidak punya cukup waktu untuk mengganggumu." Sergei menyisipkan jari-jarinya, menyisir rambutnya. "Tapi setidaknya kau hanya perlu sedikit menahan tatapan mereka. Bisakah?"
"Tidak," jawabku bercanda.
"Haruskah aku menutup matamu?" Sergei menanggapi serius.
"Kau konyol." Kuputar bola mata.
"Aku bercanda." Sergei mendorong bahuku hingga aku agak oleng. "Kau mau masakan Itali?"
Aku hanya mengangguk dan Sergei segera menyeretku masuk ke dalam restoran masakan Italia yang ia maksud. Sergei menarikkan kursi untukku. Aku terbengong menatapnya.
"Kau harus terbiasa, Serina. Itu tata krama seorang pria sejati." Sergei memasang tampang serius yang konyol. "Duduklah, aku akan memesan makanannya."
"Aku mau lasagna."
Sergei tertawa. "Sepertinya kau sudah sangat lapar." Sergei mengayunkan tangan untuk memanggil pelayan. "Kau membuatku jadi ingin makan lasagna juga."
"Aku akan bertanggung jawab," jawabku bercanda.
Sergei merapatkan duduknya ke meja setelah selesai mendaftarkan pesanan pada pelayan. Kami duduk berhadap-hadapan di sisi jendela, mendapat bonus pemandangan kota Birmingham di malam hari.
"Hujan."
Refleks aku memandang kaca jendela yang mulai terkena titik-titik cipratan air hujan. "Aku tidak bawa payung."
"Semoga hujannya reda setelah kita selesai makan."
Sergei mengalihkan pandangan pada grup live performance di salah satu sudut restoran. Ia menatap hampir tak berkedip. Aku menatap Sergei yang ada di hadapanku. Tulang rahangnya terlihat tajam membentuk karakter wajahnya. Rambutnya yang coklat kemerahan dibiarkan panjang menutupi sebagian dahi, melewati pelipis. Bibirnya yang tipis mendendangkan lagu yang sedang dibawakan grup live performance restoran. Matanya yang biru jernih tiba-tiba menatapku.
Aku mengerjap. Apa yang kupikirkan barusan? Aku tadi sedang mengagumi Sergei. Kenapa aku melakukannya? Seminggu yang lalu aku mengagumi suaranya, sekarang aku mengagumi dirinya. Aku merasa ini agak konyol.
Sergei tersenyum. "Maaf, ini lagu kesukaanku."
"Kenapa minta maaf?" aku bertanya keheranan.
Sergei terkesiap, senyumnya memudar. Aku kaget melihat perubahan ekspresinya yang tiba-tiba.
"Sergei? Kau tak apa-apa?"
Aku bisa melihat Sergei menelan ludahnya.
"Tak apa. Hanya teringat sesuatu." Senyum Sergei melemah. "Boleh aku meminta sesuatu padamu, Serina?"
Aku merapatkan kursiku ke meja. "Apa itu?"
Sergei menyorongkan badannya ke depan, menatapku lekat-lekat.
"Jika kau sedang bersamaku, tolong jangan biarkan aku minta maaf kalau aku tidak benar-benar bersalah." Sinar mata Sergei kembali menajam. "Jangan biarkan aku mengucapkannya."
Aku terdiam memandang Sergei. "Ya..," ucapku tanpa sadar. "Jika aku sedang bersamamu."
"Terima kasih." Sergei kembali lagi seperti sedia kala.
Aku masih menatap lurus Sergei, memikirkan permintaan anehnya barusan dan ekspresi yang ia buat tadi. Apakah ia teringat akan suatu kenangan buruk?
"Serina," panggil Sergei.
Aku terkesiap. "Ya?"
"Suatu hari aku akan memberitahumu." Sergei sedikit menyentuh tanganku dengan jemarinya. Aku bisa merasakan darahku berdesir. Aku terpaku, bahkan untuk mengedipkan mata saja terasa sulit.
"Pesanan anda."
Seorang pelayan tiba di meja kami. Aku buru-buru menarik tangan ke bawah meja. Mataku mengawasi Sergei diam-diam, ia terlihat tenang. Aku merasa konyol, sedikit saja yang dilakukan Sergei rasanya bisa mengacaukan pikiranku. Hatiku mencelos sendirian.
"Dua lasagna, lime lychee fusion, dan blue lagoon," si pelayan memastikan semua pesanan telah diletakkan di atas meja kami.
"Terima kasih." Sergei mengucapkan dalam bahasa Italia.
Aku menaikkan satu alisku. "Wow, sekarang kau bahkan berbahasa Italia?"
"Hanya sedikit kosakata harian." Sergei tertawa sambil mengedikkan bahu. Ia menyedot blue lagoon yang sebiru matanya.
"Apa aku perlu belajar bahasa Rusia?" tanyaku sambil menyendok lasagna yang masih hangat, asapnya mengepul menghangatkan pipiku yang dingin.
"Aku merasa tersanjung kalau kau mau belajar demi aku." Sergei menyuap lasagnanya.
Aku menggigit bibir. Oh, sepertinya aku sudah salah bicara lagi.
"Tidak banyak yang mau belajar bahasa kami." Sergei menuliskan sesuatu dalam bahasa Rusia di kaca yang berembun dengan jari telunjuknya.
"Apa yang kau tulis?"
"Ini namamu jika ditulis dalam huruf Rusia." Sergei berkata dengan mulut penuh. "Bisa menghafalnya?"
Aku mengeluarkan kameraku dari tas kemudian memotretnya.
Sergei tertawa mendengus. "Sungguh jenius."
Ia merebut kamera polaroidku kemudian beranjak dari kursinya. Dalam sekejap bahkan sebelum aku sempat memprotes Sergei sudah menekan tombol kamera, mengambil foto kami berdua.
"Suatu saat kau akan bangga dengan foto ini ketika aku sudah menjadi penyanyi top dunia." Sergei menyerahkan kameraku kembali.
Aku menyengir. "Apa kau akan mengunggah videomu ke YouTube?"
"Oke jika aku tahu nasibku akan jadi seperti Bieber," canda Sergei.
Aku menggeleng-gelengkan kepala ambil terus mengunyah lasagna. Harapan Sergei terkabul, hujan mulai reda. Sergei makan dengan sangat cepat. Ia bahkan harus menungguku selama sekitar sepuluh menit sampai aku selesai makan, karena itu ia membandingkan kecepatan makanku dengan ulat yang sedang makan daun. Sergei yang membayar semua makan malam kami, walaupun aku sudah bersikeras sampai sempat meletakkan uang bagianku di kasir, ternyata akhirnya Sergei berhasil mengembalikan uangku.
"Baiklah, terima kasih. Ini sudah kedua kalinya kau mentraktirku, setelah smoothie kemarin," kataku merasa tidak enak. "Lain kali aku yang mentraktirmu, oke?"
"Nanti saja setelah kau lulus, bekerjalah dengan keras. Kumpulkan banyak uang lalu belikan aku sebuah lambhorgini untuk mengganti semua hutangmu," cerocos Sergei.
Aku mendelik. Ia tertawa.
Gedung bioskop tidak begitu jauh dari restoran tempat kami makan tadi, hanya berjarak satu blok. Antriannya sedikit panjang karena ini malam Minggu. Aku dan Sergei mematung di depan jadwal film yang diputar malam ini.
"Kau ingin nonton apa?" Sergei menoleh padaku.
"Bukankah kau yang mengajakku kesini karena kau ingin nonton?"
Sergei menyengir sambil menggaruk-garuk kepala. "Err… bagaimana kalau Love to Death?" usul Sergei setelah agak lama merenung. "Horor."
"Oh, aku suka horor," aku menyambut baik usulan Sergei.
"Kau tunggu disini, oke? Aku yang akan membeli tiketnya."
Sergei sudah melenggang pergi sebelum aku sempat berkata-kata. Aku hanya memutar bola mata, kemudian menyandarkan tubuh ke dinding. Kusebarkan pandangan ke sekeliling, menatap orang-orang yang berlalu lalang. Baru kali ini aku berbaur dengan banyak orang tanpa ada rasa terbebani. Aku tidak khawatir lagi, aku tidak sendirian di dunia ini. Kunikmati rasa lega di hati dengan menghirup napas dalam-dalam. Rasanya sangat damai dan menyenangkan.
"Serina?"
Mendadak napasku tercekat.
"Kau Serina, bukan?" Seorang cowok berambut spiky mendekatiku. "Aku Ed, kita satu kelas waktu SD. Kau pasti mengingatku bukan?"
Ed? Tentu saja aku ingat. Dia adalah awal dari kehidupan sekolahku yang menyedihkan. Aku menatap Ed nanar. Dia bersama Tobias dan seorang lagi yang tak kukenal. Tubuhku yang tadinya rileks kini menegang.