"Serius?" Dara membelalakkan mata. Tangannya memegang lembaran foto polaroid yang baru saja kucetak kemarin. "Huddwake kelihatan ganteng sekali di foto ini."
Aku tertawa mendengus. Dara terus menatap foto yang kuambil bertiga dengan Huddwake dan Sergei kemarin, untuk kenang-kenangan hari terakhir orientasi siswa. Mungkin setelah ini aku akan sibuk dengan sekolah dan jarang berhubungan dengan mereka.
"Sepertinya kamu masih mengantuk," ujarku sambil mengunyah waffle dengan madu dan selai stroberi, menu sarapan hari ini. "Kau tidak sarapan, Dara?"
"Aku tidak suka waffle." Dara mengernyit. "Aku makan kukis coklat. Kusimpan di kulkas, ambil saja kalau kau mau."
"Terima kasih. Mungkin nanti malam, Dara."
"Apa kau tak khawatir gendut? Kau selalu makan apa saja dengan enak."
"Pencernaan dan pembakaran lemakku bagus. Lagipula gendut sedikit tidak masalah."
"Itu akan jadi masalah ketika kau sedang menyukai seseorang, Serina. Katakan padaku, apa tidak masalah jika kau kelihatan seperti balon ikat di depan Sergei Ivanov?"
Aku menelan ludah. "Kenapa harus Sergei?" desisku.
Dara tertawa terkikik. "Kau mudah ditebak, sayang."
Aku memutar bola mata. "Oh, mengesankan. Ayo kita berangkat," ajakku, sekaligus mengalihkan topik pembicaraan. "Kau belum selesai, Martha?" Aku menoleh pada Martha yang masih sibuk berdandan di depan kaca riasnya.
"Kalian duluan saja. Qizra akan menjemputku di depan pintu asrama nanti." Martha mengedip-ngedipkan mata untuk menyesuaikan lensa kontak yang baru saja dipakainya.
"Oke." Aku mengangguk kemudian menggamit lengan Dara, menyeretnya keluar kamar.
Kelas sudah hampir penuh ketika kami tiba. Hanya tersisa deretan bangku terdepan. Dara melolong kecewa. "Kita harus berangkat lebih pagi besok."
"Apa pelajaran di jam pertama?" tanyaku sambil membuka meja, menata buku di dalamnya, kemudian menggantungkan tasku di sisi meja.
"Sejarah," jawab Dara. Ia merapikan roknya sebelum duduk.
"Semoga aku tidak mengantuk." Aku membelalakkan mata.
Dara tertawa sambil mencubit lenganku. "Ayolah, ini kelas perdana."
Tepat ketika aku mengaduh kesakitan, mataku menangkap sesosok pria di ambang pintu kelas. Rasanya seperti aku pernah melihtanya di suatu tempat. Aku mencoba mengingat.
"Serina!" Dara berbisik. "Dia orang yang memergoki kita di arena kompetisi kemarin!"
Aku mendelik seketika. "Oh, Tuhan. Kukira dia karyawan biasa."
Laki-laki itu menenteng tas laptop di tangan kiri dan menggenggam segelas kopi hitam, lebih tepatnya es kopi hitam, di tangan kanannya. Aku penasaran, orang macam apa yang minum es kopi hitam di pagi hari yang hujan berangin seperti ini.
"Prof. Harris Baavue, guru sejarah kalian selama satu tahun ke depan." Laki-laki itu meletakkan tangan kanannya di dada untuk memperkenalkan diri.
"Oh, kita akan belajar sejarah selama dua semester." Dara berbisik, menggodaku.
Aku hanya menaikkan bibirku sedikit.
Prof. Baavue menyeruput kopinya perlahan. "Kopi espresso, aku tak bisa hidup tanpa ini."
Oh, ternyata dia pecandu kafein. Tak bisa hidup tanpa kopi? Yang benar saja, yang ada hanya slogan "death by caffeine", mati karena kafein. Dan kupikir karena para penikmat kopi membanggakan slogan itu, berarti mereka rela mati demi kopi. Aku merasa konyol dengan hal itu. Yang jelas, aku bukan pecandu kafein.
"Kalian juga bisa menikmati makanan dan minuman favorit kalian di jam pelajaranku. Dengan syarat, tetap fokus dan simpan sampah kalian sendiri lalu buang di tempat sampah seusai pelajaranku," lanjut Prof. Baavue panjang.
Snooteisko dan gengnya bersorak riang. Selama dua hari ini aku mengenal mereka sebagai gerombolan yang tidak serius dan konyol di kelasku, berlawanan dengan geng Ruud Maya. Snooteisko bersama dengan Fay Peaystant dari Ceko, Kruns Bauuma dari Zimbabwe, dan Keith Whellingham cowok Australia, masih negara persemakmuran Inggris.
Kalau mereka sedang bersama (mereka hampir selalu bersama. Gosipnya Bauuma, Peaystant, dan Whellingham sekamar) mereka terlihat seperti angka 1010 yang sangat ribut. Angka satu mewakili yang kurus, angka nol mewakili yang gendut. Snooteisko dan Peaystant nol. Bauuma dan Whellingham satu. Kuberi nama geng cowok konyol.
Sementara geng Ruud Maya, termasuk Yuana Hadjiib. Sisanya Saint Maura, cewek keturunan bangsawan Prancis, rambutnya sungguh pirang mengkilat terawat. Badannya sangat montok berisi, memenuhi kriteria kecantikan wanita Perancis pada zaman Michaelangelo melukis Monalisa yang tak punya alis.
Ashya Arumbhi, cewek India berkulit hitam manis yang sedang hobi membahas masalah reproduksi. Bukan dari segi ilmiah, terbukti dari buku yang sedang dibawanya adalah Kamasutra (dia menarik perhataian para cowok dengan hobi uniknya itu).
Kemudian Lea O'Hickler, cewek tomboy asal Amerika. Dandanannya sangat cowok, bahkan ia terlihat tampan sampai sempat menipu para senior (hingga menjerit karena mereka menganggap Hickler sebagai anak baru tertampan). Adelia Revana, cewek sebangsa Sergei. Badannya yang kurus kecil tak mampu menutupi hasrat belajarnya yang sangat tinggi. Bahkan sebelum Prof. Baavue datang, dia sudah membaca setengah buku sejarahnya. Kuberi nama geng cewek pintar.
Err, aku punya satu klasifikasi lagi yang anggotanya cukup banyak, geng cewek centil. Dipimpin oleh Raina Snikahf, cewek cantik yang sedang mengalami klimaks pubertas. Jerawatnya banyak, tetapi ia tetap terlihat cantik. Martha juga bergabung dalam geng ini.
Flynn Anastasia, yang kuakui paling cantik di geng ini. Dia seperti seorang lady dan sangat pendiam. Ia hanya ikut-ikutan geng ini karena ia sekamar dengan Snikahf dan Risa Kohori, cewek Jepang yang potongan rambutnya hanya sepanjang satu senti. Martha bilang dia mirip simpanse dengan potongan rambut seperti itu. Geng ini khusus membahas fesyen, cowok, dan gosip.
Sebenarnya geng cowok konyol punya lawan geng cowok serius. Tapi eksistensi geng ini agak kurang terasa, karena Weah Dursiedow yang berasal dari Afrika Selatan dan Muhammad Rifai cowok bermata sayu dari Indonesia, keduanya sangat kalem dan tipe pembelajar dalam diam.
"Dan sepertinya…" Prof.Baavue membuyarkan lamunanku. "Kita pernah bertemu, Miss…" Prof. Baavue mendekat ke bangkuku sambil menyilangkan tangan.
Aku menelan ludah. "Gray, Sir. Serina Gray," jawabku.
"Ah, ya. Dan?" Prof. Baavue menelengkan kepalanya pada Dara.
"Dara Fiwtriny," suara Dara merendah.
"Jadi Gray dan Fiwrtiny, kalian sudah merasakan nuansa di dalamnya bukan? Itu kesalahanku, aku lupa mematikan simulatornya. Seharusnya itu hanya dinyalakan saat kompetisi." Prof. Baavue mengusap rambut. "Aku hanya dalam jadwal pengecekan kemarin, mengantikan teknisi yang sedang demam parah," tambahnya.
Aku dan Dara sama-sama terdiam.
"Jangan hanya melihatnya. Kuharap kalian berdua ambil bagian dalam kompetisi tahun ini." Prof. Baavue kembali ke mejanya untuk menyeruput es kopi.
Dara mendelik seketika.
"Saya tidak suka konflik, kompetisi, dan pertarungan, Sir," aku Dara. "Mungkin Anda bisa berharap Serina bergabung. Dia bahkan sangat berminat."
Aku melirik tajam pada Dara, bermaksud memberinya isyarat agar diam.
Dara hanya ber-ups ria.
Prof. Baavue tersenyum simpul. "Aku akan meminta Prof. Fatocia untuk mengawasimu di pelajaran Pemeliharaan Kekuatan Khusus." Beliau mencatat sesuatu di notesnya.
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Hanya berpikir, enaknya apa yang harus kulakukan pada Dara setelah ini. Hatiku mencelos membayangkan diriku berpartisipasi dalam kompetisi tahunan, menghadapi orang-orang luar biasa dengan kekuatanku yang sangat payah.
Dara berbisik memanggilku, kemudian mengacungkan jempol.
Oh, Tuhan. Aku ingin sekali menggigitnya.