Pov Raya Kanista.
Sore hari, Raya pulang ke kontrakan dengan tubuh gontai. Lelah sekali rasanya menghadapi pekerjaan yang kian menumpuk karena ujian sekolah akan diadakan sebentar lagi. Jadi Raya harus membereskan nilai-nilai PR muridnya dulu.
Baru saja dia hendak merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, Nadia datang menghambur ke arah meja rias. Sepertinya dia mau merampok parfumnya lagi.
"Hei, beli parfum sendiri napa?" Raya cemberut.
Nadia yang kini berbau sama dengan dirinya pun mendaratkan tubuhnya duduk di samping Raya. "Ya elah, minta dikit aja, Neng. Jangan cemberut gitu dong. Entar gajian gue beliin lo peralatan make up. Biar lo bisa dandan cakepan dikit."
Ya, Raya memang tergolong wanita yang susah untuk berdandan. Bahkan tak pernah mengenal peralatan make up yang aneh-aneh, cukup bedak dan lipstik saja sudah cukup membuatnya tampil menawan. Beruntung Raya dianugerahi kecantikan di atas rata-rata. Jadi tak perlu berhias terlalu tebal pun aura kecantikan alami memancar dengan sendirinya.
"Aku sudah punya alat make up tahu!"
Nadia menepuk jidatnya. "Ya ampun, bedak bayi dan lipstik gocengan itu lo sebut alat make up? Lagian bedak lo, ganti kek. Muka lo bukan pantat bayi yang cukup ditepuk-tepuk pakai begituan."
"Memangnya kenapa? Aku tetap cantik kok, kata Claytone." Raya menjulurkan lidahnya.
Nadia geleng-geleng kepala. Dalam sejarah hidupnya, baru kali ini dia menemukan teman wanita unik macam Raya. Dan spesies ini perlu dilestarikan. "Untungnya lo mempesona dari lahir, ya. Coba kalau nggak. Bisa-bisa jomlo seumur hidup."
Raya tertawa, namun tiga detik setelahnya dia murung lagi.
"Ah, aku capek tahu! Menghadapi calon adik iparku di sekolah. Tambah resek. Tiap hari ada aja kelakuannya bikin hati gedek."
"Si bocah bra itu suka gangguin lo?" Nadia sudah lama menjuluki Devan dengan sebutan si bocah bra.
Raya mengangguk lemas. "Aku heran kenapa, ya mereka satu keluarga, kakak adik punya sifat beda banget. Clay lebih ke arah kalem dan sopan. Sedangkan adiknya sudah layak jadi preman."
"Nggak aneh si. Jangankan kakak adik beda generasi macam mereka, saudara kembar pun terkadang beda sifat."
"Iya, juga sih. Tapi-"
"Husss, sudah. Lo mandi aja dulu. Gue nggak betah dengan aroma kecut di sini."
"Ish, sialan." Raya menimpuk sahabatnya dengan bantal, namun Nadya cepat sekali kaburnya.
Kring, kring.
Telepon Raya berdering. Nama Claytone muncul di layar ponselnya.
"Halo, Clay. Kamu ke mana sih? Kangen tahu! Seminggu ini kaya menghilang ditelan monyet."
Raya kesal sekali dengan pacarnya yang seolah menghindar selama seminggu ini sejak kepulangan Devandra ke Indonesia. Semua pesan dan panggilannya tak pernah mendapat respon dari pria itu.
"Maaf, Sayang. Aku sedang mengerjakan proyek baru jadi harus fokus sementara waktu di kantor."
"Ya, tapi mengabari aku 'kan nggak butuh waktu lama," ucap Raya memelas.
"Maaf, ya. Makanya aku menebus kesalahanku sekarang. Kita dinner, yuk."
"Boleh," jawab Raya sambil berseri-seri.
"Oke, satu jam lagi aku ke sana."
"Sip."
Ketika Claytone menutup teleponnya, Rani langsung bergegas mandi dan mengenakan pakaian terbaiknya. Tapi setelah melihat isi lemari, dia langsung loyo. Semua pakaiannya tak ada satu pun yang menarik. 90% adalah baju kerja, sedangkan sisanya jins dan kaos model casual. Dalam bayangan Raya, dia akan tampak cantik mengenakan gaun. Tapi apalah daya, keuangannya tak mendukung sama sekali untuk membeli gaun berharga fantastis. Akhirnya pilihannya tetap jatuh pada midi dress simple namun tampak elegan.
Tepat pukul delapan, Nadia masuk lagi ke kamarnya.
"Ray, ada yang cari lo tu di depan. Tapi bukan Claytone. Siapa ya?"
Siapa bertamu di jam malam seperti ini saat dia hendak pergi berkencan? Ah, Raya malas menemui tamu siapa pun kecuali kekasihnya. Tapi mau bagaimana lagi. Terpaksa dia pergi ke luar kamar melihat tamunya.
"Hei, Ray."
Grek.
Rasanya tubuh Raya mau ambruk saat melihat pria di sana. Dari mana si bocah resek itu tahu alamat kontrakannya?
"Kalau di sekolah aku akan memanggilmu Ibu Raya. Tapi beda lagi jika sedang ada di luar. Lebih enak panggil nama biar tambah akrab."
Raya masih melongo. Berharap situasi ini hanyalah bayangan dari dunia khayalnya saja.
"Masih menunggu kakakku? Dia ada urusan mendadak dan memintaku menggantikannya ke sini."
"Aku tidak percaya!" pekik Raya yang merasa kecewa dengan Claytone. Dia berusaha menghubungi pria itu melalui ponsel, tapi nihil. Panggilannya malah dialihkan.
"Ayolah, kita pergi sekarang. Aku sudah lapar, Ray," rengek Devan.
"Pergi saja sendiri. Aku sedang nggak mood pergi keluar."
"Oke, bagaimana kalau kita makan di warung sate depan gang saja?"
Raya tak menggubris dan memilih masuk ke kamarnya. Lalu beberapa saat, ponselnya berdering dari nomor tak diketahui.
"Halo!" jawab Raya sengit.
"Ray, aku akan tetap menunggumu di sini sampai kamu keluar. Ayolah kita makan, ya."
Bruk!
Baru saja Raya mau mengomel, tapi dari seberang saluran telepon terdengar suara dentuman seperti benda terjatuh.
"Halo, kamu masih di situ?" Merasa tak ada jawaban dari Devan, Raya bergegas pergi keluar kamar untuk memeriksa keadaan muridnya.
Tawa Raya langsung pecah melihat pria itu terjungkal dari atas motornya akibat standar motor yang patah.
"Ya Tuhan, kamu nggak apa-apa 'kan?" Raya masih menahan tawanya.
"Aku rela jatuh setiap hari asal bisa melihat tawamu, Ray," ucap Devan sembari berdiri dan membersihkan bajunya yang kotor dengan bantuan Raya.
"Ngomong apa sih kamu? Ayo, berangkat!" ajak Raya tiba-tiba.
Devan bengong. "Ke mana?"
"Astaga, cuma terjungkal gitu saja bisa membuatmu amnesia? Katanya lapar, mau makan nggak?"
Seketika awan mendung enyah dari kehidupan Devan. "Mau banget. Kali ini biar aku yang traktir."
Mereka berjalan beriringan di tengah gang sempit yang sepi. Devan tak berhenti melirik wanita cantik di sampingnya. Wajah Raya masih tetap menawan di bawah sinar rembulan.
"Memangnya kakakmu ada urusan apa hingga membatalkan janjinya denganku?" tanya Raya yang hanya tertunduk menekuri jalanan aspal.
"Aku kurang tahu. Mungkin dia terlupa ada janji dengan pacarnya yang lain," cetus Devan yang langsung mendapat lirikan tajam Raya.
"Serius? Pacar yang lain? Siapa?" Raya mencoba mencerna setiap kalimat Devan. Benarkah yang dikatakannya? Mengingat Claytone akhir-akhir ini susah sekali dihubungi. Apakah karena ada wanita lain sekarang?
Devan tersenyum. "Bercanda, Ray. Dia tadi disuruh Papa menjemput kliennya yang baru datang dari New York. Jadi Kak Clay memintaku untuk menemanimu dulu."
Ah, lega rasanya. Raya tak tahu lagi jika Clay benar-benar selingkuh darinya. Pasti hancur dunianya saat itu terjadi, mengingat Clay adalah cinta pertama. Sebelumnya dia tak pernah berani membuka hati untuk pria mana pun. Tapi Clay berbeda, dengan sifat lembutnya mampu meluluhkan hati Raya.