Entah kenapa langit tiba-tiba berubah menjadi mendung. Padahal Raya sudah bersiap untuk pulang ke rumahnya setelah membereskan rumah Devan yang penuh sampah.
"Ray, sepertinya akan hujan. Kita pulang nanti malam saja, ya? Aku tak mau kamu basah kuyup akibat kehujanan. Nanti kalau terkena flu, aku juga yang cemas." Devan meletakkan lagi kunci sepeda motornya.
Oh, bisa gila Raya di sini! Dari tadi dia sudah mengalami kecanggungan yang membuat kencan pertamanya ini berjalan kaku tidak seperti biasanya saat mereka masih berstatus murni guru dan murid saja.
Raya kembali duduk di sebelah Devan yang masih sibuk bermain Play Station. Namun, tiba-tiba saja dia mematikan layarnya dan terdiam. Matanya menatap layar hitam. "Ray, katakan jujur padaku. Sebenarnya kamu bahagia tidak menjalin hubungan denganku? Aku merasa kamu seperti lain hari ini. Sungguh berbeda dari saat kita kemarin. Aku siap mendengarkan semua keluhanmu. Jadi bicaralah," terang Devan mengungkapkan ganjalan di pikirannya sejak tadi.
"Ah , itu hanya perasaanmu saja. Aku masih seperti kemarin?"
Devan membalikkan tubuhnya menatap mata Raya lekat. "Ray, bukankah kita sekarang adalah sepasang kekasih yang harus mempercayai, menghormati, dan memahami satu sama lainnya. Aku tak mau dengan berjalannya hubungan ini malah kamu jadi tertekan."
Raya buru-buru meralat perkataan Devan. "Eh, siapa yang merasa tertekan? Kamu salah paham."
"Sudah terbaca dari wajahmu itu. Kumohon, Ray. Sekali saja kita saling berbagi rasa agar aku bisa lebih mengerti tentang dirimu. Jadi bilang padaku, sebenarnya apa yang mengganggu pikiranmu?"
Raya tertunduk. "Hm, aku hanya belum terbiasa berdua denganmu ... sedekat ini."
Devan melotot. "Ha? Bukannya kita sudah sering berdua ya? Ah, jangan konyol dong, Sayang." Dia tak habis pikir kenapa bisa Raya yang dikejarya selama berbulan-bulan, masih saja malu jika didekatinya. Ah, coban apa lagi ini.
Raya mencengkeram lengan Devan. "Hey, bukan seperti itu. Dengarkan penjelasanku. Dulu hubungan kita 'kan tidak seperti ini, Dev. Dan sekarang aku lebih memakai hati. Jadi setiap melihatmu, menyentuhmu, bahkan hanya memikirkanmu saja langsung membuat jantungku berulah tak keruan. Aku ... gugup."
Devan tersenyum. Ternyata gurunya itu bisa bersikap malu-malu, tapi itulah yang Devan suka. Gemas sekali ingin mencubit pipi Raya. Tangannya sontak menarik tubuh Raya dalam pelukannya. "Ray, apakah berdekatan seperti ini membuatmu tidak nyaman? Jika iya, tolong maafkan dan izinkan aku lima menit saja untuk memelukmu seperti. Bolehkan?"
Raya mengangguk. Dia membiarkan pria itu mendekap tubuh kecilnya. Dan mereka terdiam dalam keheningan ditemani suara hujan yang turun tak ada ampun. Gadis itu menutup matanya, merasakan detak jantung Devan yang memburu. Ah, Raya benar-benar akan menyimpan memori ini dalam otaknya karena tak ingin berlalu begitu saja.
"Ray, apakah aku harus selalu meminta izinmu untuk sekedar memeluk atau menyentuhmu? Pasti akan sangat merepotkan sekali jika seperti itu karena kita pasangan kekasih sekarang," keluh Devan berharap Raya mau mempertimbangkan lagi keinginannya.
"Iya, kamu harus izin apalagi kalau mau mencium aku." Apakah ini yang dinamakan pacaran? Apa-apa harus izin? Raya sendiri juga tidak tahu kenapa ada pembicaraan seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, pacarnya kali ini adalah orang spesial. Bagaimana tidak spesial jika cowok itu adalah murid sendiri yang umurnya jauh di bawah Raya. Jadi, perlakuannya juga harus istimewa.
"Baiklah, aku tidak akan protes atau mendebat keinginanmu di hari pertama kita berkencan. Aku anggap kamu masih beradaptasi dengan hubungan kita. Jadi aku bisa menerimanya." Devan mengusap lembut rambut Raya.
Diperlakukan layaknya ratu membuat Raya semakin mencintai Devan. Hatinya meleleh berulang kali. "Terima kasih, ya."
"Eh, ngomong-ngomong bagaimana penataan ruang rumah ini? Apakah kamu menyukainya? Jika ada yang menurutmu kurang, nanti kita bisa mengubah dan menambahkannya."
Raya mengedarkan pandangannya. "Kurang sesuatu yang berwarna hijau. Bagaimana kalau kita tambahkan tanaman hias di dalam rumah dan juga di luar rumah? Hm, pasti menenangkan jika berada di ruangan yang ada tanamannya."
Devan juga merasa rumahnya begitu kosong. Ide penambahan tanaman dari Raya cocok untuk memperbaikinya. "Aku setuju. Bagaimana kalau hari Minggu lusa, kamu menemaniku untuk membeli tanaman hias. Aku kurang begitu mengerti memilih tanaman apa yang cocok untuk diletakkan di sini. Sekalian kita jalan-jalan."
Raya tersenyum. Akhirnya hari Minggunya yang dulu hanya dihabiskan dengan me time skincare-an bersama Nadia, kini ada yang mengajaknya keluar jalan-jalan. Oh, senangnya meskipun ini bukan pengalaman pertama saat pacaran. Tapi dulu Claytone jarang mengajaknya bertemu di luar.
"Iya, kita akan pergi hari Minggu nanti."
"Kita ke mana lagi ya? Maaf, Ray. Aku tak pernah pacaran sebelumnya, jadi bingung ketika memikirkan akan membawamu ke mana. Kadang aku mencari-cari tempat yang romantis dari internet tapi takutnya kurang sesuai denganmu. Ah, kebanyakan untuk anak muda."
Mia mengerucutkan bibirnya. "Memangnya aku ini sudah tua apa? Ya memang sih, umur kita terpaut jauh, tapi aku tidak tua-tua amat untuk jalan denganmu ke cafe atau tempat nongkrong lainnya."
"Ya ampun, Sayang baper banget sih. Tu 'kan kamu pasti salah paham. Kalau tongkrongan anak muda biasanya ramai, Ray. Sedangkan aku tahu suka tempat yang lebih tenang. Itu maksudnya."
"Aku tak mau mempermasalahkan tempat, Dev. Asal bisa mengobrol bersama denganmu di sana saja boleh kok. Bagaimana kalau kita menonton bioskop?"
"Ah, ide yang bagus. Ada film baru yang ingin aku tonton. Oke, hari Minggu setelah selesai membeli bunga, kita menonton bioskop."
Raya menatap kurus ke depan meliat ke arah jendela. Hujan sudah hampir reda. Itu tandanya Raya harus bersiap untuk pulang ke kontrakannya. eh, kenapa tiba-tiba dia jadi malas begini. Bahkan untuk menggeser badan saja dia enggan. Padahal tadi, dia ingin buru-buru pulang.
"Sudah malam. Aku akan mengantarmu pulang."
Raya tak bisa menyembunyikan kesedihan harus mengakhiri hari yang menyenangkan ini. Tapi mau bagaimana lagi, besok dia harus berangkat ke sekokah untuk mengajar.
"Apa nanti kamu akan tidur di sini? Ehm, sebaiknya kamu pulang dulu ke rumah ibumu. Aku tak tega jika kamu sendiri di sini."
Devan menepuk-nepuk ubun-ubun kepala Raya. "Jika kamu tidak tega, seharusnya temani aku dong. Jangan hanya bicara di mulut saja."
"Itu sih nanti. Entah kapan bisa tinggal serumah bersama. Semoga saja bisa terwujud."
Devan menarik tangan Raya merapat ke tubuhnya. Dia mendekatkan wajahnya ke Emmy. Sudah pasti bibir Devan ingin mencium bibir Raya, tapi bukankah mereka sudah sepakat untuk saling meminta izin jika melakukan hal-hal panas itu. Ah, Raya pening sekali merasakan tubuhnya panas dingin menghadapi tatapan tajam bocah itu.