Tugas terakhir Raya dari Pak Danu diselesaikan dengan super kilat. Dia tak mau ketinggalan menonton pertandingan basket di sekolah. Ya, siang ini Devan dan timnya akan bertanding dengan sekolah lain untuk memperebutkan juara liga basket antar sekolah.
Raya buru-buru datang ke arena basket. Ternyata pertandingan sudah di mulai lima belas menit yang lalu. dia melihat ada beberapa guru yang ikut mendukung anak muridnya sudah duduk si deretan bangku penonton paling depan. Raya pun akhirnya juga ikut bergabung di sana.
Devan yang menyadari kehadiran kekasihnya, jadi tambah bersemangat memenangkan pertandingan. Poin sementara sekolah mereka unggul 3 angka saja. Rasanya dia ingin, berteriak-teriak seperti para murid wanita yang memberikan semangat pada idola mereka. Tapi apalah daya, tak mungkin dia menjadi pusat perhatian di sana hanya gara-gara ingin menyoraki permainan Devan
"Wah, Bu Raya. Lihatlah murid Anda. Devan begitu berbakat di bidang olahraga basket ini. Dari tadi dia terus yang memasukkan bola," puji Bu Nurmala.
"Iya, dia memang suka dengan dunia basket, Bu. Jadi tidak heran kalau keahliannya terlihat di sini," balas Raya sembari melihat Devan yang memandanginya dari kejauhan.
"Jika sudah muncul bakat sejak dini, sepertinya akan mudah untuk mengarahkannya ke dunia kerja. Devan pasti kelak bisa menjadi seorang pemain basket profesional. Tinggal tugas Bu Raya mengarahkan saja. Iya 'kan?"
"Ah, saya belum pernah membicarakan hal ini dengannya. Tapi saya rasanya ada hal lain yang dia sukai selain basket dan sekarang sudah dia geluti."
"Wow, kalau boleh tahu apa itu?" tanya Bu Nurmala, guru BK sekolah.
"Programmer game. Dia sangat menyukai dunia game komputer. Dan saat ini sudah menjadi ladang rezeki baginya." Astaga, apa tidak masalah jika Raya menceritakan pekerjaan Devan pada orang lain? Saking bersemangatnya menunjukkan bakat sang kekasih, biar Devan tak lagi direndahkan orang karena banyak yang bilang anak-anak keluarga Sanjaya tidak bisa mandiri.
"Serius, Bu? Saya salut sama Devan, masih muda sudah bisa memikirkan masa depannya sendiri. Dia mandiri sekali ya. Tapi memang benar, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Keluarganya kan pebisnis semua, jadi mungkin sedari kecil dia sudah mendapatkan didikan seperti dari keluarganya."
"Betul, Bu Nurmala. Saya pikir juga begitu." Raya tersenyum bangga setelah menunjukkan kehebatan kekasihnya di depan orang lain.
Pertandingan masih berlangsung seru. Keunggulan nilainya masih ada di pihak Devan dan tim. Sebenarnya mereka hanya perlu bertahan hingga selesai permainan saja sudah cukup. Tapi bukan Devan namanya jika dia hanya diam dan bertahan begitu saja. Di detik-detik terakhir malah dia semakin gencar melakukan serangan, dan akhirnya berhasil memasukkan bola.
Semua murid bersorak-sorai tak terkecuali Raya. Dia pun tak sengaja ikut berjingkrak saking senangnya melihat kemenangan Devan. Namun sayangnya dia hanya bisa merayakan di bangku penonton dan melihat murid-murid mengerubungi kekasihnya. Bahkan ada pula murid wanita yang membawakan minuman dan handuk untuknya. Astaga! Harusnya itu menjadi tugasnya.
"Bu Raya." Suara panggilan seorang pria membuyarkan lamunannya. Raya menoleh ke samping. "Jadi Anda di sini sedari tadi? Oh, pasti ingin melihat calon adik ipar bertanding basket ya?"
Raya tersenyum simpul. "Betul, Pak. Saya di sini untuknya mendukung tim basket sekolah kita. Oya, selamat atas kemenangan anak didik Pak Wilson ya. Tak sia-sia mereka berlatih tanpa mengenal lelah. Semua terbayar dengan kemenangan hari ini."
"Ah, perjalanan kami menuju juara umum masih panjang, Bu. Kalau Anda tak keberatan, datanglah lagi minggu depan untuk melihat pertandingan anak didik kami." Pak Wilson tersenyum penuh arti.
Pastinya tanpa disuruh pun dia akan melihat pertandingan Devan lah. "Baik, Pak. Saya usahakan."
Devan yang melihat dari jauh Raya berbincang dengan Pak Wilson, seperti dibakar rasa cemburu. Dia buru-buru menghampiri Raya, mengabaikan para gadis yang masih sibuk mencari perhatian Devan. "Bu Raya, bagaimana penampilan saya hari ini?" tanyanya basa-basi.
Raya melempar senyum manis. "Aku bangga denganmu karena sudah bermain dengan sangat baik hingga memenangkan pertandingan ini. Selamat ya."
"Dev, setelah ini Bapak akan mentraktir kalian makan. Bagaimana kamu tertarik untuk ikut dengan kami 'kan?" Pak Wilson entah memang sebaik itu atau hanya karena ada Raya di dekatnya, dia tiba-tiba saja mau mentraktir mereka makan. "Oya, Bu Raya juga bisa bergabung dengan kami loh, makan apa saja di cafe seberang jalan."
"Maaf, Pak. Saya masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Jadi Bapak dan anak-anak saja yang berangkat. Selamat bersenang-senang ya." Raya menepuk lengan Devan pelan.
"Eh, saya sepertinya juga tidak bisa ikut, Pak. Ada janji bertemu orang. Maaf, Pak. Mungkin lain kali saja."
Raya melirik Devan dengan tatapan penuh tanya. Janji bertemu dengan orang? Siapa? Batin Raya terus-menerus mempertanyakan hal itu. "Ya sudah, saya kembali ke kantor dulu ya, Pak. Mari," pamitnya sembari sekilas melirik Devan.
Hari ini padahal Raya sudah menyelesaikan tugasnya super kilat hanya karena ingin melihat Devan memenangkan pertandingan basket dan merayakannya berdua. Tapi sepertinya bocah itu malah ada janji dengan orang lain. Dengan sedikit kecewa Raya membereskan meja kerjanya dan bersiap untuk pulang ke kontrakan. Namun satu menit kemudian teleponnya berbunyi, artinya ada pesan masuk.
'Sayang, aku tunggu di tempat biasa. Kita pergi bersama setelah ini.'
Pesan singkat ini berhasil mengembangkan senyum Raya yang tadinya layu. Ternyata Devan sudah merencanakan merayakan kemenangan hanya berdua dengannya.
'Katanya kamu ada janji bertemu dengan orang. Apakah orang itu aku?'
Terkirim. Raya mematikan komputernya sembari menunggu balasan pesan dari sang kekasih.
'Tentu itu kamu orangnya. Memangnya siapa lagi, Sayangku. Orang pertama yang ingin aku temui dan selamanya ingin aku temani pastinya adalah dirimu. Aku sudah sampai. Cepatlah datang ke sini. Jangan lama-lama!'
Apa ini? Devan sekarang berani menyuruh-nyuruh Raya seenaknya sendiri. Harga dirinya sebagai guru killer yang tak pernah diremehkan murid, seketika hancur karena bocah resek itu. Ah, tapi hatinya sudah dipenuhi dengan cinta. Mau marah pun akan percuma saja. Bukankah pasangan lain juga seperti itu. Raya harus bisa membedakan kapan waktunya berperan sebagai guru dan kapan saatnya menjadi pacar yang manja pada pasangannya.
Raya menghampiri Devan yang sudah bersiap di atas tunggangannya untuk membawa Raya.
"Memangnya kita mau ke mana?"
"Rahasia," jawabnya selalu memaksa otak Raya untuk bekerja lebih keras demi memecahkan teka-teki.
"Setidaknya berikan aku petunjuk."
Tangan Devan menarik tubuh mungil kekasihnya. Dia membantu memakaikan helm pada wanita itu. "Pokoknya kamu akan bahagia di sana." Dan lagi-lagi Devan mengulas senyum yang mematikan dan seketika membuat jantung raya berdebar tak terkendali. Ah, indah berpacaran seperti ini.