Entah ke mana Devan akan membawa Raya pergi. Tapi sepertinya mereka akan meluncur menuju ke arah Puncak Bogor. Dan hampir beberapa jam menembus jalanan yang lumayan macet, akhirnya terbayar sudah dengan pemandangan menyejukkan mata.
"Wah, aku senang kamu mengajakku ke sini. Sudah lama sekali aku tidak berjalan-jalan ke tempat ini," seru Raya yang heboh melihat pemandangan hijau terhampar di depan matanya.
"Syukurlah kalau kamu suka di sini. Aku pikir, kamu akan memarahiku karrna perjalanan kita yang cukup lama gara-gara macet tadi." Devan sedikit merenggangkan tubuhnya yang lelah.
Raya mengulas senyum manis. "Aku tak mungkin memarahimu hanya karena membawaku ke tempat indah ini karena kuyakin semua kamu lakukan hanya untuk membahagiakan aku 'kan?"
"Betul sekali," balas Devan seraya menjawil hidung mancung kekasihnya. "Ayo, kita pergi ke sana. Ah, aku ingin segera meluruskan kakiku."
"Aduh, kasihan sekali pacarku ini. Nanti aku pijit mau?" goda Raya sambil mengedipkan mata.
Devan yang tak biasa melihat tingkah manja gurunya itu menjadi gemas sekali. "Aku mau dong dipijit kaki. Sakit sekali ini, Sayang," keluhnya sembari menggandeng tangan Raya.
Mereka berlari-larian di antara kebun teh sambil bercanda diiringi tawa bahagia keduanya. Devan tak mau melewatkan kesempatan untuk mengabadikan momen tersebut dalam sebuah kamera. Dia memotret wanita cantik itu.
"Cantik sekali," gumam Devan melihat Raya iseng memetik daun teh. Mata cokelat itu selalu mengikuti gerak-gerik Raya. Seolah Raya seperti magnet yang siap menarik perhatian Devan. "Ray, kita berfoto berdua, ya. Kalau dipikir-pikir kita belum pernah foto berdua loh."
Benar juga, dari awal perkenalan sampai sekarang mereka tak pernah sekalipun mengabadikan momen pada sebuah gambar.
"Baiklah." Raya menyetujui.
Mereka berdekatan. Terasa kaku. Devan dan Raya malah terlihat malu-malu. "Mungkin sebaiknya aku merangkulmu seperti ini." Tangan Devan bertengger manis di pundak Raya. Tapi tetap saja hasilnya malah jadi canggung.
Raya tertawa. "Aku suka foto ini. Nanti kirimkan padamu, ya. Dan jangan di upload ke media sosial mana pun. Bisa berbahaya bagi kita."
"Siap, Bos. Aku paham kok. Hubungan kita akan terjaga kerahasiaannya."
"Devan, kita duduk di saung sana, yuk." Raya berlari kecil menuju sebuah saung tepat di puncak.
Devan pun jadi ikut berlari mengejarnya. "Tunggu, Sayang. Hati-hati, jangan cepat-cepat banyak batu nanti kamu kesandung!" teriaknya memperingatkan gadis di depan.
"Ayo, kita balapan naik ke puncak. Siapa yang kalah harus traktir makan, ya," tantang Raya langsung berlari meninggalkan Devan yang tampak kelelahan mengejarnya.
Raya berlari kencang. Dia mudah saja menaiki bukit kebun teh karena badannya yang mungil.
"Asyik, aku menang!" Raya melompat kegirangan, tanpa sadar di menginjak batu yang membuatnya hampir terperosok ke bawah. Beruntung ada Devan di belakangnya yang menopang tubuh kecil itu.
Mereka saling bertatapan dan merasakan gejolak masing-masing dalam dada. "Makanya hati-hati. Untungnya nggak jadi jatuh." Devan tersenyum simpul.
"Maaf, aku terlalu bahagia hingga tak sadar menginjak batu curam." Raya kembali duduk di saung dari bambu.
"Ray, aku heran deh sama kamu. Memangnya kamu jarang ke tempat wisata seperti ini? Sampai melihat kebun teh bisa membuatmu sangat bahagia?"
Raya menunduk kembali. "Aku memang jarang main ke tempat wisata karena sibuk bekerja. Jadi mana sempat berlibur. Sedangkan kamu tahu sendiri 'kan? Hari libur saja aku masih berkutat dengan pekerjaan dan tugas dari kepala sekolah."
Devan merasa wajib membahagiakan kekasihnya. "Sepertinya aku harus sering-sering mengajakmu main ke sini. Aku suka melihatmu tersenyum bebas, tanpa beban pikiran. Aku ingin senyuman selalu terkembang di wajahmu."
"Ah, terima kasih. Aku suka sekali di sini. Udaranya sejuk, di mana mata memandang cuma ada hamparan daun hijau yang tampak."
Devan melirik gadis di sampingnya. "Aku 'kan sudah janji untuk mengajakmu berlibur ke Bali. Pemandangan di sana akan lebih indah dari ini. Ada pantai, danau, taman, pura, dan masih banyak lagi lainnya. Aku yakin kamu pasti senang dan betah di Bali."
Raya mengangguk mantap. "Tentu saja mau. Aku suka dengan pantai dengan sinar matahari yang menyilaukan mata dan deburan ombak bersahutan." Kapan Raya bisa ke Bali nan jauh di sana? Sedangkan wisata di Jakarta yang dekat dengan kontrakan saja, dia jarang melihat. Mendadak Raya menjadi sedih.
"Sayang, aku tak sabar segera membawamu ke Bali. Kita akan menginap di vila Papa."
"Vila? Jadi Papamu punya vila di Bali? Kenapa Clay tak pernah cerita, ya?"
Devan mencebik. "Itu karena dia tak mau mengajakmu liburan ke sana. Pasti di Bali banyak gebetannya di sana."
Raya menyipit. "Benarkah seperti itu? Jadi menurutmu dia berselingkuh di belakangku dulu?"
Devan mengangkat bahu. "Bisa jadi seperti itu. Kamu 'kan belum melihat sifat aslinya Clay. Jadi kamu tak akan percaya dengan pernyataanku ini."
"Siapa yang bilang begitu? Aku sangat mempercayai kamu kok. Tenang saja."
Devan mengecup pipi gadisnya. "Terima kasih karena sudah mau mempercayai aku, Sayang. Aku mencintaimu." Dia menatap Adila lekat hingga membuat wanita itu salah tingkah.
"Dev, kamu kan kalah nih ceritanya. Sesuai janji uang kalah harus traktirku makan. Ayo kita ke bawah. Perutku sudah berbunyi karena lapar," ajak Raya ganti menarik jemari Devan.
Mereka pun turun ke bawah dengan berhati-hati karena takut tergelincir. Devan bersiaga melindungi Raya dengan berjalan di depannya. "Kamu mau ke restoran paling enak nggak? Di sana ada restoran menunya ikan bakar," tawar Devan sambil melihat ke sekeliling.
"Aku hanya ingin membeli cemilan saja." Raya masih menunjukkan sikap malu-malu yang sangat menggemaskan bagi Devan.
"Mana kenyang kalau hanya makan cemilan, ha? Ada-ada saja kamu ini. Aku juga baru ingat kalau siang tadi belum makan."
Raya membuka ingatannya. "Lalu yang menghabiskan bekal bento buatanku tadi siapa, ya? Apakah itu hantu? Atau tuyul?"
Devan tertawa keras. "Kemungkinan yang memakan bento bikinan kamu adalah seorang cowok ganteng nan berwibawa di sekolah. Ray, ayo kita ke restoran saja. Kasihan perutmu minta diisi."
Raya tampak berpikir. "Baiklah, aku ikuti ajakan kamu."
"Nah, begitu dong. Aku jamin kamu nggak akan kecewa dengan makanan di sana. Pokoknya lezat, porsi besar dan murah."
"Wow, sebuah kombinasi yang sangat menarik bagi anak kontrakan sepertiku."
Devan merangkul Raya dan seketika menariknya. "Ayo, kita berangkat."
Devan segera menyalakan motornya untuk menuju ke sebuah restoran dengan tema lesehan yang belum pernah mereka datangi berdua sebelumnya. Hari ini Raya merasakan kedamaian yang tak terhingga. Siapa sangka hanya berjalan-jalan di kebun teh sembari berbincang malah mendatangkan rasa bahagia yang membuncah di dada. Dan semua ini karena Devan, dialah yang menciptakan senyum untuk Raya.