Devan menyalakan motornya untuk menuju ke sebuah restoran dengan nuansa hijau alami karena berada di tengah area persawahan, benar-benar menyejukkan mata. Setelah melewati persawahan, barulah Devan memesan makanan sedangkan Raya memilih tempat duduk paling ujung sendiri.
Di bawah mereka duduk ada sebuah kolam ikan koi yang cantik-cantik. "Keren tempatnya, ya. Kamu pasti sering ke sini mengajak teman wanita," goda Raya sembari mengerling jail.
"Aku memang sering datang ke sini mengajak wanita, tapi itu Mama. Selain Mama dan keluarga tak pernah membawa teman sekolah atau siapa pun ke tempat ini. Baru kamu yang pertama," aku Devan mencoba jujur yang malah membuat Raya tersipu.
"Lalu bagaimana dengan Cindy? Bukankah keluarga kalian sangat dekat sekali?" celetuk Raya, niatnya hanya iseng bertanya tapi malah berujung kekesalan Devan.
"Ah, aku malas jika kamu membicarakan orang lain yang tak ada sangkut pautnya dengan hubungan kita. Atau jangan-jangan kamu masih memikirkan Clay dan Cindy, yah?" Devan melipat tangannya di dada.
"Loh, kok jadi marah. Aku cuma tanya saja loh, Sayang. Ah, nggak asyik jika kamu terlalu sensitif seperti itu." Raya ikutan ngambek.
"Ya, habisnya kamu sih. Ngomongin Cindy di depan aku. Padahal 'kan kamu tahu sendiri, Cindy dan Claytone berpacaran sekarang."
Pacaran? Serius? Jadi benar alasan utama Clay memutuskan Raya adalah karena adanya Cindy di antara hubungan mereka berdua. Tapi bagi Raya, kabar seperti itu tak lagi berpengaruh.
"Sayang, maaf ya jangan marah. Nanti tingkat kegantengan kamu jadi menurun loh. Senyum dong," bujuk Raya.
Devan tersenyum manis. "Mari kita lupakan saja. Lihatlah ikan-ikan itu cantik, ya?" tanyanya mencoba mengalihkan perhatian.
"Iya, imut dan lucu sekali si koi." Raya melemparkan daun di atas kolam.
Sementara itu, Devan yang hanya bisa terpaku melihat kecantikan kekasihnya. "Iya, cantik sekali," pujinya yang tentu saja ditujukan kepada Raya.
Raya yang merasakan dirinya sedang dipuji, lalu seketika menoleh pada Devan. "Ha?"
"Eh, yang cantik ikan itu. Bagus, yah. Ray, bagaimana kalau rumahku diberi kolam ikan seperti ini? Aku jamin kamu pasti akan menyukainya. Berani taruhan."
Raya berubah semringah. "Wah, aku sangat setuju dengan idemu. Pokoknya aku suka jika rumahmu ada kolam ikan."
"Tenang, aku pasti aku buatkan khusus untukmu, Ray."
Seorang waiters mulai menghidangkan makanan untuk mereka. Ada ikan bakar, ada lalapan, ada sate ayam, dan kentang goreng untuk mereka.
"Gila, makanannya banyak sekali, Dev. Kita tak akan sanggup menghabiskannya sendirian," protes Adila melihat banyak makanan yang mubazir. "Tapi jika tidak habis, bisa kita bungkus saja 'kan?" Jiwa anak kos meronta-ronta ketika melihat banyak makanan terhidang di meja.
"Iya, nanti aku bungkusin buat kamu dan kak Nadia juga. Biar kalian tidak rebutan makanan," kata Devan dengan santai sembari menyuapkan sate dalam mulutnya.
"Asyik! Kamu memang paling tahu problematik kehidupanku di kontrakan yang sering dirampok Nadia. Akhirnya hari ini dia bisa makan enak." Raya tak sungkan lagi pada pacarnya. Biar saja jika ini terlalu merepotkan Devan. "Tapi kamu bawa uang lebih 'kan, Dev? Tidak kurang?" Raya wajib waspada. Siapa tahu tiba-tiba ada adegan uang kurang atau bahkan luap bawa dompet.
"Hei, tenang saja. Aku selalu bawa uang banyak kok. Jangan cemas jika kurang bayar, kita bisa cuci piring bareng kan." Devan tertawa melihat wajah panik Raya.
Mau bagaimana lagi, semua terlanjur sudah di pesan. Yang bisa dilakukan sekarang hanya menikmatinya. "Hmm, enak sekali ikan bakarnya." Raya sungguh terlihat bahagia hanya karena ikan bakar.
"Ray, kalau orang lain melihat cara makanmu yang lahap begini. Mereka pasti teriris hatinya karena karena membayangkan sudah berapa lama wanita ini belum makan hidangan lezat dan mewah." Lagi-lagi Devan tertawa dan gemas melihat wajah cemberut kekasihnya.
"Enak saja, setiap aku makan menu yang lezat dan sehat meskipun mengirit."
"Ayo, kalau begitu cepat habiskan semuanya. Ingat, jangan ada sisa. Ray, aku mau mengajakmu lagi ke sini kapan-kapan, boleh?" tanya Devan.
"Boleh," jawab Raya singkat saja karena mulutnya masih penuh dengan makanan.
Sore itu mereka menghabiskan waktu berdua. Malamnya Devan mengantarkan Raya pulang ke kontrakan. Ternyata di sana sepi, Raya merasa sedikit lega. Biasanya jam-jam malam tak pernah sesepi ini. Pasti ada saja orang pacaran yang menghiasi sudut ruangan.
"Dev, mampir dulu, yuk. Mumpung sepi. Kita bisa bebas mengobrol," ajak Raya yang langsung disetujui oleh Devan.
Baru mau duduk di ruang tamu depan, mereka langsung diberondong pertanyaan oleh Nadia. "Hai, kalian benar-benar sudah jadian? Ya ampun, cocok sekali. Dev, apa sih yang bikin gurumu ini tampak menarik di matamu?"
"Iya, sekarang Raya adalah guru sekaligus kekasihku, Kak. Yang bikin menarik dari Raya, ya? Apanya ya?" Devan tampak berpikir keras.
"Ish, sebegitu susahnya menemukan hal menarik dariku? Duh, melas amat." Raya mencebik.
"Bukan begitu, Sayang. Sangking banyaknya yang menarik darimu, sampai aku bingung memilih mana. Tapi semua yang ada padamu adalah daya tarik tersendiri bagiku," gombalan Devan sukses membuat Nadia tertawa.
"Ray, pacarmu ini tampaknya punya rayuan skill dewa Amor. Fasih banget ngegombalnya," cetus Nadia.
"Sudah-sudah, jangan ganggu kami. Ini aku bawakan makanan. Devan yang membelikan untuk kita. Tolong bagi ke teman yang lain juga." Raya menyodorkan keresek putih yang sedari tadi dia bawa.
Nadia seketika berbinar menerima oleh-oleh adik ipar. "Wah, Devan saranghae. Aku padamu pokoknya. Semoga kalian langgeng ya. Biar sogokan buat kita lancar terus," ucapnya penuh harap.
"Oh, sogokan buat kakak mah lancar pastinya. Tenang saja." Devan mengacungkan jempol.
"Aku paling demen yang beginian. Aku cabut dulu yah. Selamat menikmati malam berdua. Bye." Nadia berlari kecil masuk ke dalam rumah.
"Terima kasih ya kamu sudah membagi kebahagiaan dengan teman-temanku di sini." Raya terdiam sejenak, melihat malam yang kian larut. "Dev, ini sudah malam. Kamu nggak pulang sekarang? Nanti Tante Wina panik mencari kamu."
Devan melirik arlojinya. "Baru juga jam tujuh. Tunggu sampai setengah delapan. Aku sudah mengirim pesan ke Mama untuk minta izin beres-beres rumah baru. Jadi bisa pulang malam."
"Hm, tu 'kan bohong sama orang tua." Raya manyun.
"Terus kalau tidak bohong, haruskah aku bilang ke mereka bahwa tadi kita kencan berdua dan makan di restoran tempat kami biasa pergi?"
"Eh, iya." Raya menggaruk-garuk kepalanya.
Raya dibuat dilema. Satu sisi dia ingin jujur dan membuka hubungannya bersama Devan ke publik, tapi semua itu penuh dengan risiko yang harus ditanggung. Pastinya dia bisa kehilangan pekerjaan sebagai seorang guru. Dan bagi Raya itulah kerugian yang paling fatal. Dia masih ingin mengabdikan hidupnya untuk mendidik anak-anak. Jadi lebih baik jika hubungannya dengan Devan tetap dirahasiakan.