Pulang ke sekolah, Devan dan Raya pulang bersama setelah tadi sempat ada drama tengkar hanya perkara menentukan akan pergi ke mana. Inginnya Raya jalan-jalan ke taman dan jajan bareng saja, tapi Devan ngotot mengajaknya ke suatu tempat.
"Memangnya kita mau ke mana, Dev?" tanya Raya yang hanya pasrah saja duduk manis di belakang Devan.
"Nanti kamu juga tahu sendiri."
Sungguh pintar sekali bocah ini membuat gurunya penasaran. Devan dengan usilnya mengerem mendadak, dengan niatan agar Raya mempererat pelukannya. "Aduh, ada apa ini? Kenapa berhenti mendadak?" pekik wanita di belakangnya.
"Ada kucing tiba-tiba menyeberang sembarangan." Dan berhasil, setelah tangan Raya yang mungil itu benar-benar seperti mencengkeram tubuh Devan barulah dia melanjutkan perjalanan. Memang Devan seresek itu, namun selalu bisa membuatnya kangen.
Dua puluh menit berlalu, Devan menghentikan motornya di sebuah rumah tak begitu besar tapi terlihat mewah dan nyaman. "Rumah siapa ini?" tanya Raya saat Devan membuka pintu gerbang yang masih terkunci.
"Rumah kitalah, Sayang. Ayo, masuk. Jangan bengong di situ." Devan memasukkan motornya di garasi. Dan dia mempersilakan Raya masuk ke dalam. "Selamat datang di rumah kita?"
Raya melongo. "Kita? Maksudnya?" Dia sungguh tak mengerti apa yang dimaksud Devan. Jangan-jangan dia sudah membeli rumah ini. "Kamu membeli rumah ini, Dev?"
"Iya, aku mengambil sebagian dari deposito selama 4 tahun kerja jadi programmer dan hasil nge-game sendiri di rumah. Aku membelikannya untuk kita nanti ketika sudah menikah. Memang tak sebesar rumah kedua orang tuaku. Tapi dijamin di sini fasilitas lengkap agar kita nyaman tinggal di dalamnya."
Gila! Serius? Anak baru kemarin sore sudah bisa membeli rumah sendiri. Raya saja menabung bertahun-tahun hanya bisa dibelikan sepeda motor, itu saja dapat yang bekas.
Mata Raya mengamati setiap sudut rumah yang memang belum terisi penuh, tapi cukup lengkap. Dia mendongak ke atas. "Terus lantai atas dibuat ruangan apa?"
Tangan Syahda menarik jemari Raya melewati tangga menuju ruangan atas dan ternyata Devan sudah memindahkan barang-barang yang pernah Raya lihat sebelumnya di kamarnya dulu. Ruangan gym bergabung dengan tempat menonton televisi.
"Sebagian aku sudah memindahkan barangku dari rumah Mama ke sini. Sebentar lagi rumah ini siap ditempati."
"Tunggu dulu kamu serius mau pindah ke sini? Jadi kamu tinggal sendirian? Nggak takut gitu."
Devan tersenyum. "Takut? Kenapa harus takut? Aku sudah terbiasa hidup sendirian dulu. Sekolah di Singapura harus menyewa kamar juga meskipun ada rumah saudara. Tapi aku kurang nyaman. Lagi pula aku cuma takut akan satu hal ... takut kehilangan kamu."
"Ish, bisa aja. Aku enggak menyangka kamu mempersiapkan masa depan mulai dari sekarang. Sampai rumah pun sudah dibeli. Keren." Raya tak bisa membayangkan berapa besar uang yang Devan hasilkan dari pekerjaannya dalam sebulan. Wah, pasti besar sekali ya.
Kruk...
Suara perut Devan yang tampak kelaparan pun berbunyi. "Kamu lapar, ya. Kita pesan makanan saja di aplikasi."
"Setuju. Tolong pesankan ayam geprek. Siang ini ingin makan yang pedas-pedas. Ya ampun, lapar sekali. Sepertinya ada roti tawar di lemari es."
Mereka kembali ke dapur yang digabung dengan ruang makan. Devan memeriksa isi lemari esnya dan ternyata kosong. Hanya ada air mineral saja. "Eh, tidak ada isinya. Perasaan aku kemarin mengisinya dengan roti dan ice cream. Tapi ke mana."
Hm, jangan-jangan ngehalu ni anak. "Susahlah kita pesan makan sekarang. Aku juga sudah lapar. Jangan sampai karena kelaparan, kita jadi saling memakan satu sama lain." Raya tertawa.
"Aku malah ingin kamu memakanku." Devan mengerlingkan mata manja sekali. "Nonton film yuk, Sayang."
"Hayuk."
"Fifty Shades saja, ya. Lagi pengen film uang romance."
Glek. Raya menelan ludahnya dengan kasar. Dia bukan penggemar film sih. Tapi setahunya Fifty Shades of Grey penuh adegan hot. Ya masak nontonnya yang begituan di tempat sepi begini. Duh, yang ada nanti mereka malah canggung.
"Kita nonton film Warkop DKI saja, kita hari ini butuh banyak ketawa buat buang stres."
Devan merengut. Aku ingin film yang romantis, Sayang. Kenapa malah jadi Warkop DKI dah?" Devan tetap ngotot memutar film. Ah, terpaksa lagi-lagi Raya ikut kemauannya.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Tidak ada pembicaraan apa pun. Semua larut dalam cerita di depan layar kaca. Dan tibalah adegan yang paling dihindari Raya, kini terpampang jelas di pelupuk mata mereka.
Duh, mana layarnya gede banget lagi. Astaga! Tiap adegan tersorot dengan jelasnya. Jantung Raya berdetak menggila ketika Devan melirik ke arahnya.
Tangan bocah itu awalnya hanya mengusap rambut Raya lama-lama beralih ke pipi dan mengusap bibir dengan lembut. Dia tahu sentuhan itu akan mengarah ke mana.
Wajah Devan semakin mendekati Raya. Wanita sampai bisa merasakan hangatnya hembusan napas pria di depannya ini. Tapi Raya belum siap, hubungan ini masih terlalu dangkal untuk menjurus ke sentuhan fisik. Ya Tuhan, tolong aku, batin Raya memohon.
Ting. Ting. Suara bel dari arah bawah sungguh mengagetkan keduanya.
"Nah, itu pasti pesanan makanan kita sudah datang. Aku akan mengambilnya." Raya setengah berlari ke bawah menyambut Abang kurir yang telah menyelamatkannya dari ciuman maut Devan. Tak lupa dia memberikan tips yang lumayan hingga membuat Abang kurir terpesona sesaat oleh Raya.
Devan ternyata sudah di dapur. Dia mengambilkan piring dan sendok. Dan Raya meletakkan makanan untuk mereka di atas meja.
Mereka pun akhirnya makan berdua. Dengan mengobrol tentang kegiatan di sekolah. "Dev, kenapa kamu jarang ikut latihan basket lagi? Padahal aku ingin melihatnya." Salah satu pose terseksi seorang Devan adalah waktu dia bermain basket. Oh, seksi sekali!
"Aku sibuk kerja, Ray. Pekerjaanku menumpuk di rumah. Jadi mana mungkin meninggalkan kerjaan. Ditambah lagi kita 'kan mau pergi ke Bali. Aku harus kerja keras sampai akhir masuk sekolah. Pokoknya aku mau menyenangkan pacarku yang cantik ini."
Raya menggelendot manja ke arah Devan membuat bocah itu merinding ingin rasanya memakan Raya hidup.
"Rencana berapa hari kita di sana? Oya memangnya kamu sudah bilang keluargamu kalau kita akan ke Bali. Tapi menurutku izin jangan bilang perginya sama siapa. Takutnya mereka malah melarang kita."
"Bisa syok jantung jika Mamaku tahu kita pergi liburan bersama. Kita akan merahasiakan hubungan ini sampai aku selesai sekolah. Aku janji akan menikahimu setelah itu."
"Nak, kuliah dulu yang benar. Biar nanti cepat dapat kerjanya begitu."
"Ray, kalau aku kuliah dulu terus nikahin kamu, pasti bakal lama. Bukankah targetmu menikah umur 27 tahun? Jadi pas dong. Itu saat aku selesai sekolah.
"Ah, terserah apa katamu deh. Yang penting kamu senang."