Raya membolak-balikkan tubuhnya di sofa. Entah kenapa malam ini suara-suara di kepala memaksanya untuk bergadang. Dia menimbang-nimbang apakah besok harus hadir dalam pesta pernikahan itu atau lebih baik diam saja di rumah dengan membuat alasan yang super logis yaitu ... sakit.
Sebaiknya sakit apa, ya? Tidak mungkin dia beralasan sakit kepala 'kan? Meski memang benar adanya karena pasti besok kepala Raya akan pecah melihat pria yang dulu pernah menjadi raja dalam hatinya sekarang bersanding dengan wanita lain.
Rasanya akan jadi aneh jika dia tak hadir di pernikahan Claytone, mantan kekasih sekaligus merangkap kakak iparnya. Apa kata orang-orang di sana nanti? Pasti mereka mengira Raya tak bisa move on dari Clay hingga sulit datang sekedar mengucapkan selamat pada sang kakak ipar.
Ya, lebih baik dia hadir. Sudah cukup penderitaan yang menerpa selama ini, dia tak ingin menambah beban pikirannya. Lagi pula cukup satu jam saja, dia bisa menunjukkan sikap dan senyum palsu bahagia untuk menipu tamu undangan di sana nanti. Raya sudah membulatkan tekad untuk datang ke acara.
"Besok kita tak perlu datang ke sana. Aku sudah izin ke Mama."
Glek. Seret, Raya menelan ludahnya sendiri. Susah payah dia mengumpulkan keberanian hingga tak bisa tidur dan bocah itu seenaknya sendiri memutuskan sesuatu tanpa meminta pendapatnya.
"Kenapa?" tanya Raya dengan nada meninggi, lalu mengubah posisi duduknya.
"Ya, buat apa ke sana? Pesta pernikahan sangatlah membosankan."
Membosankan katamu! Andai saja memakan daging manusia bukanlah suatu kejahatan, malam ini juga Raya ingin menelan Devandra hidup-hidup.
"Sebaiknya besok kita pergi piknik ke gunung berdua. Sekalian bisa bersantai dan siapa tahu saja tiba-tiba di sana kepalamu kepentok sesuatu hingga membuatmu jatuh cinta padaku, suamimu sendiri!" Ada penekanan kata suami pada kalimatnya.
"Cukup, Dev. Aku akan datang ke sana ... denganmu atau sendiri."
"Kenapa?" Devan malah balik bertanya.
"Hei, itu 'kan acara pernikahan kakak kandungmu. Jadi-"
"Dan juga mantan pacar terindahmu yang tak bisa dilupakan hingga sekarang?" potongnya.
Raya menantang mata Devan. "Sudahlah, aku lelah. Sebaiknya tidur saja."
Raya bangkit dari sofa, namun tangan Devan menarik tubuh kecil itu ke atas pangkuannya. Baru saja hendak protes, seketika tangan pria yang tak kalah kekar dari tubuh kakaknya membekap mulut Raya.
"Bu Guru, kumohon izinkan aku memelukmu seperti ini. Lima menit saja."
"Tidak," sahut Raya ketus.
"Tiga menit."
"Tidak, lepaskan aku."
"Baiklah, satu menit dan aku akan melepaskanmu."
Untuk pertama kalinya Raya merasakan detak jantungnya memukul-mukul dada karena bocah resek ini. Berkali-kali dia mencoba tetap tenang dengan mengatur napas, tapi sia-sia. Ketika pelukan Devan semakin erat, semakin keras pula jantung ini berdebar. Ya Tuhan, Raya sadar!
"Sudah satu menit. Aku tidur di kamar. Gantain kamu di sofa," kata Raya mengalihkan pembicaraan. Dia tak boleh terlena dengan Devan. Ada janji yang harus mereka tepati berdua. "Ingat perjanjian kita, tidak boleh ada kontak fisik sebelum kamu lulus sekolah."
"Tapi aku sudah cukup umur, Ray. Usiaku 19 tahun, punya KTP pula. Aku siap menafkahimu secara lahir batin."
Astaga, ini anak mabuk durian kali ya? Masih bocil sudah berani bilang akan menafkahi lahir batin? Dan apa yang akan dilakukan Raya? Ya, dia pura-pura tak mendengar saja dan memilih cepat-cepat masuk ke kamar tak lupa mengunci pintu.
***
Paginya Raya dan Devandra benar-benar muncul di acara pernikahan saudara. Claytone tampil penuh pesona dengan balutan tuxedo putih, cocok bersanding bersama wanita anak seorang CEO juga. Serasi sekali.
Raya sekuat tenaga menahan tangis. Dia berusaha selalu tersenyum di depan banyak orang yang terkadang menatapnya dengan rasa iba.
"Ah, Kakakku beruntung sekali menikahi gadis kaya dan cantiknya seperti bidadari," celetuk Devan yang secara tak langsung kalimat itu menusuk hati Raya yang terdalam.
Raya masih terdiam. Sedari tadi dia menahan diri untuk tidak mencakar-cakar si mempelai wanita dan sekarang dia juga harus menggembok mulutnya agar tak berkata kasar pada bocah menyebalkan di sampingnya.
Sabar, Raya. Jangan ada pembantaian di sini. Dia cuma bocah! Berkali-kali kalimat itu diulang-ulang di benaknya hingga seperti suara kaset rusak.
"Tu lihat senyuman Kakakku. Dia tampak bahagia sekali. Mereka mesra, ya? Wanita itu sangat jenius dalam hal menggoda pria. Sedari tadi aku perhatikan dia terus saja menempel pada Kak Clay. Lelaki normal mana yang tak tergoda dengannya."
Sudah, cukup! Raya tak tahan lagi. Dia hendak melangkahkan kaki untuk segera pergi, tapi Devan menahannya.
"Mau ke mana kamu?"
"Bukan urusanmu!" Raya menepis tangan Devan dengan sengit, tapi sedetik kemudian bocah itu malah menggenggam jemari Raya dan membawanya keluar dari gedung.
"Tunggu di sini. Aku akan mengambil motor." Devan berlari menuju area parkir.
Sayup-sayup terdengar sebuah lagu yang dinyanyikan penyanyi band dari dalam gedung. Lirik lagu Armada berjudul "Harusnya Aku" membuat wanita itu bersedih. Mungkin orang-orang di sana, saat ini sedang membicarakan dirinya. Menyebalkan sekali.
Kenapa semua rencana yang telah dibangunnya sejak tiga tahun yang lalu harus musnah dalam sekedipan mata? Harusnya Raya yang menjadi pengantin Clay, harusnya dia yang mendapatkan ucapan selamat, harusnya semua kebahagiaan hari ini adalah miliknya. Tapi nyatanya dia malah di sini, di luar gedung menunggu bocah resek itu membawanya pergi.
"Ayo, Neng. Abang ojol anterin sesuai aplikasi," canda Devan diikuti tawa renyahnya.
Raya heran melihat tingkahnya. Dari mana dia mendapat jaket ojol ini? Ah, Raya malas untuk berpikir lagi. Dia ingin segera pulang saja.
Angin berhembus menerpa rambutnya yang masih tergerai. Sia-sia sudah Raya berdandan selama tiga jam lamanya untuk berhias diri. Dia berusaha tampil menawan di pesta pernikahan mantan, yang ternyata malah berakhir di sini! Lebih tepatnya, di belakang jok kursi belakang sepeda motor sport berwarna hitam metalik.
"Sudah meweknya? Mau ice cream nggak, Sayang?"
Raya tak tahu bahwa pria yang memboncengnya sedari tadi menyadari bahwa wanita itu sedang menangis. Air matanya menggenang hingga membasahi jaket ojol Devan.
"Aku tak butuh ice cream. Biarkan aku sendiri malam ini."
"Oke. Kalau begitu kita ke hotel. Sekalian honeymoon ."
Stres, batin Raya memaki. Bagaimana bisa orang yang tengah berduka karena ditinggal mantannya menikah malah diajak ke hotel untuk honeymoon? Astaga, memangnya dia wanita apa?
Ya, meskipun mereka kini sudah berstatus sebagai suami istri sah di mata hukum negara. Namun, Raya belum bisa menyerahkan hatinya begitu saja pada pria resek itu yang tiba-tiba saja hadir dan ... booom! Dia mengacaukan segalanya.
Eits, tapi bukankah hidup Raya memang sudah hancur, retak, pecah berkeping-keping setelah diputuskan secara sepihak oleh cowok bego bernama Claytone. Semua usaha, tenaga, waktu yang Raya berikan untuk mantan kekasihnya setelah 3 tahun bersama, sekarang menjadi tak berarti lagi. Bahkan untuk sekedar jadi kenangan saja, itu terlalu menyakitkan.