Pov Raya Kanista
"Happy anniversary, Sayang." Clay membawa satu buket mawar dan sekotak cokelat untuk Raya saat mereka sedang dinner di sebuah restoran ternama di Jakarta. "Tak terasa kita sudah menjalani suka duka selama tiga tahun ini."
"Iya, waktu cepat sekali berlalu. Terima kasih untuk tiga tahun yang menyenangkan ini. Aku bahagia bisa bersamamu." Raya tersenyum manis.
Clay bangkit dari kursinya. "Kejutannya tak berhenti sampai di sini. Masih ada lagi. Ayo, aku tunjukkan sesuatu." Tangan pria kekar itu menarik jemari Raya.
Dialah Claytone Sanjaya. Putra pertama dari keluarga pemilik perusahaan Sanjaya Group yang sekaligus putra pemilik yayasan sekolah tempat Raya bekerja sebagai guru matematika.
Awal bertemu dengannya adalah sebuah "nice accident" bagi Raya. Bagaimana tidak, saat itu hari pertamanya bekerja di sekolah dan sedang turun hujan. Dia lupa membawa payung. Mana tak ada kenalan. Mungkin segelintir guru dan murid saja yang mau menyapa dirinya. Ya, hanya sekedar basa-basi menyapa, tanpa menawarkan payung mereka. Dan seorang pria datang memberikan payungnya. Beberapa hari setelahnya barulah Raya tahu, pria itu bernama Claytone Sanjaya.
"Apa ini?"
Mereka berdiri di pinggir kolam renang yang terdapat banyak lilin dengan taburan kelopak mawar bertuliskan "will you marry me?" di tengahnya. Sungguh, ini pertama kalinya dalam hidup Raya dilamar dengan cara paling romantis. Clay selalu penuh dengan kejutan.
"Will you marry me? Aku merasakan kita sudah cocok sebagai partner hidup. Dan aku ingin melanjutkannya hingga anniversary ke-100 bersamamu. Menikahlah denganku."
Raya terharu hingga menitikkan air mata. "Iya, aku bersedia."
Clay menghambur memeluk wanita berambut panjang itu. Rasanya ingin sekali menghentikan waktu agar momen ini bisa abadi, tak tergantikan.
***
Beberapa hari setelah acara lamaran indah di sebuah restoran itu, mereka berjumpa lagi. Kali ini Clay hanya ingin bersantai di taman saja sambil berolahraga sore.
"Ray, adikku akan pulang kembali ke Jakarta. Dia mungkin memilih bersekolah di tempatmu?" ucap Clay sembari mengelap keringatnya setelah tadi joging beberapa kali mengelilingi stadion.
Raya melongo. "Ha? Serius? Bukannya Devandra sudah mau lulus dari sekolah di Singapura, ya? Kenapa nggak dilanjutkan saja sekolah di sana hingga lulus?"
"Anak tengil itu memang suka seenaknya sendiri. Tapi Ayah dan Mama selalu memanjakannya." Clay tampak jengkel selali pada saudara kandungnya. Terlihat jelas di wajah tampannya, jika dia kurang suka dengan rencana adiknya kembali bersekolah di Indonesia.
"Aku titip jaga adikku, ya. Besok hari pertamanya masuk sekolah."
Ha, titip? Raya 'kan belum pernah sekali pun bertemu apalagi akrab dengan Devan. Hanya pernah sekali berbicara di layar ponsel, itu pun saat tiba-tiba bocah itu meminta panggilan video call ke kakaknya di waktu mereka sedang pergi kencan berdua.
Tapi dasar bocah freak, dia bahkan pernah mengirimkan kado berupa setelan bra dan celana dalam berenda dengan warna merah membara kepada Raya. Ya Tuhan, adik ipar mana yang mengirimkan kado aneh semacam itu pada calon kakak ipar perempuannya?
Dan benar saja. Besoknya mereka bertemu di sekolah.
"Hei, Raya," panggil seorang pria dari belakang.
Raya menoleh ke arah suara. "Siapa, ya? Apakah aku mengenalmu?"
Bocah itu mendekatinya. "Sungguh amat tidak sopan melupakan orang yang sudah memberimu kado istimewa," protesnya.
Mulut Raya menganga. "Kado?" Dia merasa tak pernah diberikan hadiah kecuali oleh Clay dan adiknya, meskipun kado 'aneh' dari Devan itu tidak masuk hitungan sebagai pemberian seseorang.
"Apakah kamu menyukai bra dan celana dalam merah itu? Aku yakin kamu pasti sudah memakainya," balasnya menyeringai dengan lirikan mata mengarah ke daerah sensitif Raya.
"Ish, dasar cowok mesum!" Raya memukulnya dengan tas berulang kali.
"Berhenti, Raya!" cegah Pak Danu yang merupakan kepala sekolah di tempatnya bekerja.
"Anda tenang saja, Pak. Biar cowok mesum ini, saya yang tangani." Raya masih berusaha mempertahankan adegan yang dipenuhi drama kekerasan itu.
"Hentikan! Kenapa kamu memukulnya? Dia Devandra, anak Tuan Sanjaya. Pemilik yayasan sekolah ini."
"Devandra?" Raya menggigit bibirnya. Bisa-bisanya dia memukul calon adik ipar sendiri dan meneriakinya dengan sebutan cowok mesum!
"Cepat, minta maaflah," perintah Pak Danu seketika membuat wanita itu kelabakan. "Kenapa bengong saja?"
"Anu, Pak. Eee ...." Kenapa mulut Raya malah jadi kaku begini. Dan kenapa hanya kata anu yang keluar. Astaga!
"Sudah, Pak. Biarkan saja. Mungkin Bu Raya sedang syok melihat ada murid seganteng saya di sekolah ini." Devandra meneruskan langkahnya menuju ke kelas yang baru.
Raya tak pernah menyangka sifat adik dan kakak bisa bertolak belakang. Clay begitu sopan dan baik, sedangkan adiknya lebih ke arah freak dan punya rasa percaya diri tingkat dewa langit. Sungguh keluarga yang unik.
Ya, begitulah pertemuan pertama yang diwarnai insiden memalukan antar dirinya dan calon adik ipar. Sejak hari itu, kehidupan Raya sebagai guru matematika tak pernah tenang. Selalu saja Devandra hadir membuat keonaran dalam kehidupan kerjanya di sekolah.
Contohnya saja saat Raya tengah sibuk menerangkan tentang Trigonometri di depan kelas, Devan mengacungkan tangannya.
"Bu Raya, saya ingin bertanya."
Raya sedikit curiga pada Devan. Tak mungkin bocah itu mendadak tertarik dengan aneka rumus ini. "Ya, mau tanya apa?"
"Bu, bintang zodiak Anda apa?"
Tuh, kan! Memang dasar bocah resek. "Bintang kejora," jawab Raya ngasal.
Ditambah lagi peristiwa lain di kantin sekolah. Raya yang sedang asyik menikmati makan siang bersama para guru lainnya, Devan tiba-tiba datang.
"Bu Raya, ini untuk Anda. Saya lihat dari jauh, Ibu seperti tak berselera makan. Jadi aku belikan makanan pedas untukmu." Devan menyerahkan satu tas berisi makanan ringan berbumbu.
"Ya Tuhan, makanan pedas bisa membuat asam lambungku naik tau!" Raya geleng-geleng kepala menolak makanan itu.
"Wah, Devan sangat perhatian sekali pada gurunya. Mana kamu ganteng lagi," puji Bu Rani guru bahasa Inggris.
"Iya, jarang ada murid yang peduli pada wali kelasnya," timpal Pak Ferdi guru olahraga.
"Hargailah makanan ini, Bu. Devan sudah capek-capek membelikannya untukmu lho," ujar Bu Sinta semakin memperkeruh emosi di hati Raya.
Melihat Devan memiliki banyak pendukung, mau tak mau Raya harus mengalah. "Terima kasih, ya. Lain kali kamu tak perlu membelikan apa-apa. Aku sudah bawa bekal sendiri kok."
"Bu Raya, tak perlu malu-malu. Anda pasti jarang 'kan dibelikan makanan seperti ini oleh Kak Clay. Nikmati saja, Bu. Jangan terlalu banyak protes nanti cepat tua. Percuma pakai skincare." Bocah itu melangkah pergi dengan santainya setelah membongkar rahasia percintaan Raya. Clay memang tak pernah mau diajak pergi jajan bakso atau makan lalapan di pinggir jalan dengan alasan gengsi dan kurang higienis. Dia lebih suka mengajak Raya makan di restoran bintang lima. Terkadang dia kangen sekali makan di pinggir jalan sambil bercerita seperti kehidupannya dulu sebelum mengenal Claytone.