Penampilannya saat ini tampak rapi sekali. Dia memakai sebuah Hoodie yang tampak kebesaran di tubuhnya berwarna putih, panjangnya mencapai paha dia, sehingga dia hanya perlu memakai hotpants untuk celana nya. Wanita itu mengambil sebuah topi dan juga kacamata untuk memperlengkap penampilannya. Sepatu telah terpasang di kakinya, sepatu sneakers dengan warna serupa seperti baju yang dikenakannya saat ini.
Setelah merasa puas dengan penampilannya itu, Karina meraih tas yang sudah diisi oleh barang-barang yang dianggap penting oleh dirinya. Wanita itu melangkah keluar dari kamarnya, dia mengambil kunci mobil yang ada di atas meja nakas dekat tangga dan menuju ke kamar Joy.
Dilihatnya anak itu tampak tengah duduk sambil melihat ke arah jendela. Anak itu hanya melamun saja. Tak seperti yang dikatakan olehnya sebelum itu bahwa saat ini banyak tugas sekolah yang harus diselesaikan.
Huh, Karina sangat yakin sekali kalau anak itu pasti berbohong sebelumnya. Jelas, Karina sangat tahu sekali kalau Joy selalu saja menyembunyikan kesedihan yang dirasakan itu kepada orang lain.
Anaknya cukup pendiam, membuat Karina cukup sulit untuk berinteraksi dengannya.
"Joy," panggil Karina. Wanita itu melangkahkan kakinya dengan pelan ke arah Joy yang kini sudah menengok ke arahnya. "Kau bosan?" tanya Karina, kini dia sudah berada tepat di samping putrinya itu.
"Tidak juga."
"Sudah lama bukan kau tak bermain dengan keponakannya Tante Maureen, apakah kau ingin ikut Ibu menemuinya?"
"Kartika? Yeah, I want to play with her."
"Ya sudah, sekarang kau bersiap-siap. Ibu akan menunggumu di luar nanti." Tangan Karina terangkat, mengelus dengan pelan puncak kepala anaknya itu. Lalu setelahnya, dia pun langsung pergi meninggalkan tempat tersebut. Menuju ke garasinya, wanita itu langsung mengeluarkan mobilnya dan memarkirkannya di luar.
Dari kaca spion, dia melihat Joy yang tengah mengunci pintu rumah lalu pintu gerbang. Setelah semuanya selesai, anak itu langsung masuk ke dalam mobil.
"Kau sudah siap?"
"Yeah!"
***
"Katanya kau sibuk hari ini bersama dengan keluarga Cemara mu itu." Tawa pelan yang diperlihatkan oleh Maureen saat itu berhasil membuat Karina merasakan geram di hatinya. Wanita itu mengambil sebuah bantal sofa dan tanpa aba-aba, dia pun langsung melemparkan bantal tersebut tepat di wajah Maureen yang masih tertawa itu.
Sontak Maureen berteriak. Wanita yang tadinya tampak bahagia itu, kini justru langsung menerbitkan wajah penuh emosinya saat itu juga. "Apa yang kau lakukan, aku hanya mengatakan dengan apa adanya saja!" ujar wanita itu.
Karina berdecak pelan. "Diamlah, jangan membuatku menjadi semakin kesal."
Melihat kekesalan itu, hanya dalam waktu beberapa saat Maureen langsung mengerti dengan keadaan sang sahabat. "Oh, aku mengerti. Pasti suamimu itu sedang bekerja saat ini bukan? Dia kembali membatalkan janji yang telah kalian buat. Makanya kau datang ke sini."
Tak ada jawaban sedikitpun dari Karina, yang membuat Maureen merasa sangat yakin kalau apa yang baru saja dikatakannya itu benar. Wanita itu tertawa dengan pelan. "Aku sudah bilang bukan, jangan percaya kata-kata busuknya itu," ujar Maureen.
"Diamlah, aku sedang kesal dan jangan ganggu aku." Karina mengambil sebuah toples yang berisikan sebuah keripik.
"Kesal? Ck, aku tahu cara agar kau tak kesal lagi." Wanita itu semakin mendekatkan posisi nya dengan Karina. Melihat wanita itu dengan dalamnya dan semakin memperdekat wajahnya. "Kau ingat ucapanku kemarin? Kau setuju bukan?"
"Begitu banyak ocehan tak berguna yang kau katakan kemarin dan tak ada satupun yang aku ingat saat ini," balas Karina.
Maureen memutarkan bola matanya, merasa sangat kesal sekali setelah mendengar jawaban itu. "ke club. Kau harus merasakan bagaimana tempat itu sekali saja. Lagian juga, aku yakin kalau malam ini Arsen tak akan pulang, jari dia tak curiga dengan mu dong."
"Club? Aku tak ingin jika Arsen sampai pulang dan tahu aku tak ada di rumah. Lagian juga, aku harus memikirkan Joy. Gak mungkin juga aku membiarkannya di rumah sendirian sementara aku senang-senang di tempat penuh dosa itu."
"Kau bisa menitipkan Joy sebentar, terus Arsen? Kau katakan saja kapan waktu untuk dia libur, biar aku yang atur jadwalnya."
"Mengapa kau begitu ambisius sekali mengajak ku ke tempat itu?" tanya Karina langsung.
"Kau pikir aku sama sekali tak pusing melihatmu terus mengeluh tentang rumah tangga? Ayolah Karina, sekali saja kau harus merasakan bagaimana indahnya dunia malam itu, agar kau tak selalu terjebak di dunia mu yang menderita itu."
Karina menghembuskan napasnya dengan kasar. Memang benar apa yang dikatakan oleh Maureen tadi. Dia membutuhkan waktu satu hari saja agar bisa merasakan ketenangan di dalam hidupnya ini.
Namun, sepertinya dia harus memikirkan masalah ini lebih lama lagi. Dia hanya tak ingin jika sampai sesuatu yang buruk nanti justru terjadi dan menjadi masalah yang besar.
Sudah cukup saat ini dirinya menghadapi masalah yang besar.
"Bagaimana?"
"Aku akan memikirkannya."
Sontak Maureen tersenyum dengan sangat lebar. Terlihat sekali bagaimana wanita itu yang sangat bahagia saat ini. Meski belum terlalu pasti, setidaknya ada sedikit kemajuan dari Karina yang mulai tertarik dengan dunia nya.
"Kau katakan saja padaku kapan waktu suami mu itu tak ada di rumah. Masalah baju dan lainnya, akan aku siapkan, oke!"
"Yah, tenang saja." Karina sedikit menundukkan tubuhnya, wanita itu mengambil sebuah botol minuman soda dan membukanya. Meneguk minuman tersebut, sampai membuat tenggorokannya kini sudah terasa sangat nikmat.
Setelah menghabiskan setengah botol minuman soda itu, dia kembali menaruh tempatnya ke atas meja. Kepalanya menengok ke belakang, melihat ke arah dua gadis kecil yang kini tampak asik bermain.
Senyuman kecil tercipta di wajahnya itu. Yah, setidaknya dia tak menyesal ke sini karena Joy yang tadinya tampak berada di dalam suasana hati buruk, kini justru terlihat senang karena memiliki teman bermain seumurannya.
"Aku melihat dalam keluargamu, hanya kau yang berjuang mempertahankan hubungan itu."
"Mau bagaimana lagi, Arsen benar-benar sudah berubah. Huh, berbincang dengannya dalam waktu satu jam saja sudah membuatku merasa sangat bersyukur," balas Karina.
"Kau benar-benar yakin kalau dia berselingkuh? Bisa saja dia benar-benar bekerja, seperti apa yang dikatakannya."
Karina menggelengkan kepalanya dengan pelan. Terlihat jelas sekali keraguan yang ada di wajah wanita itu saat ini. Sungguh, rasanya dia sangat tak tahu sekali akan menjawab apa pertanyaan tersebut.
"Entahlah, aku tak tahu. Selama ini, perselingkuhan dia masih dugaan saja, belum ada bukti yang kuat untuk aku." Karina berucap.
Sekali lagi dia menghembuskan napasnya dengan kasar dan menutup matanya.
Yah, sudah seharusnya dia melupakan dulu masalah ini.