Chapter 11 - Sebelas

"Hei," sapaku begitu menemukan Kevin. Dia mengenakan kemeja motif kotak-kotak. Terlihat elegan. Lumayan keren, sih.

"Hei. Udah siap?"

Aku cuma mengangguk. Kevin langsung membuka pintu mobil, mempersilakanku masuk. "Kalau gitu ayo jalan sekarang," katanya.

Aku merasa gugup, baru pertama kali ini aku naik mobil dengan laki-laki. Dengan Arsyad pun tidak pernah.

"Mau ke mana ini?" tanyaku sambil melihat ke arah luar jendela. Aku masih terlalu awam untuk mencoba berkeliling Yogya.

"Tahu UGM kan?" tanya Kevin.

"Iya tahu, tapi nggak pernah ke sana."

"Ya udah kita ke sana."

Aku hanya mengangguk. Setelah memutuskan untuk pergi ke sana, suasana mobil menjadi hening. Hanya ada suara deru mesin dan suara klakson pengendara di luar yang terdengar. Tanganku menyusup ke dalam tas hendak mengambil headset, dan seketika aku meraih resleting tasku, aku mendadak tersadar kalau aku tidak sendirian di mobil. Seacuh tak acuhnya diriku, aku tetap merasa tidak nyaman jika aku membiarkan Kevin diam saja dan aku menyumpal telingaku dengan headset. Ya, ini tidak lucu. Memangnya sekarang dia jadi sopir?

"Aku punya playlist yang enak. Mau tahu?" tawarku. Sebenarnya aku sedang basa-basi, aku berharap dia terlebih dahulu tanya, soal apa lagu kesukaanku sebelum dia mengiyakan tawaranku.

Tapi Kevin langsung menjawab, "boleh."

Tidak ada pilihan lain. Aku sudah telanjur memberikannya tawaran. Aku meraih headset dan aku masukkan di telinga kiriku, sementara satunya aku berikan ke Kevin. "Nih," tawarku. Dia mengambil dan memasangnya. Aku membuka playlist iPod-ku dan sibuk mencari lagu yang kira-kira aku dan Kevin suka. Tapi, aku kan tidak tahu dia suka lagu apa. Baru juga kenal kemarin.

"Kok nggak ada suaranya?" tanyanya.

"Ya emang belum aku putar lagunya."

"Dih."

"Bingung," jawabku.

"Lah, bingung kenapa coba?""

"Bingung mau muter lagu apa, yang sama-sama kita suka gitu," jawabku sambil mencari lagu ke atas ke bawah.

"Ya ampun," Kevin tertawa. "Lagu apa aja boleh, aku suka semua jenis musik. Jadi, terserah kau saja."

"Oke, deh."

Dan setelah itu jariku berhenti di lagu Pamungkus- To The Bone—yang mengalun di telinga kami. Aku mendengar Kevin terkekeh pelan ketika musik mengalun. Aku tidak mengerti kenapa dia bereaksi seperti itu, yang jelas dia tidak mengatakan apa pun.

Aku memperhatikan jalan dan mendapati beberapa anak UGM sedang melintas. Mereka kebanyakan memakai almamaternya. Ini pemandangan yang sangat berbeda dengan pandangan umum tentang mahasiswa yang diidentikkan dengan pakaian serba casual. Dan membandingkan anggapan itu di UGM, ternyata tidak seluruhnya benar. Mereka—mahasiswa UGM—itu masih modis dengan pakaian formal. Celana chinos, sedang di bagian atas mengenakan kaos yang dibalut jas almamater. Tapi, ada satu hal yang membuat aku penasaran.

Warna apa sih, yang dipakai di almamaternya UGM?

"Aku kuliah di sini," kata Kevin sambil memperlambat laju mobilnya ketika melewati gerbang UGM. Aku langsung kaget. Tidak terduga sama sekali. Anak band yang aku anggap 'tidak begitu' memprioritaskan pendidikan, ternyata kuliah di kampus sebagus UGM! Apalagi kalau kau tahu dari informasi yang beredar di media sosial, banyak sekali mereka yang membanding-bandingkan antara UI dan UGM. Mulai dari hal-hal paling receh: perbandingan total budget outfit, misalnya.

"Keren juga, sih," komentarku sambil menggeleng tidak percaya. "Jurusan apa?"

"Coba tebak, dong," kata Kevin dengan nada yang terkesan tengil. Aku paling malas kalau sudah main tebak-tebakan seperti ini, Dia sebelas-dua belas dengan Arsyad kalau soal ini. Tapi, untuk menghindari rasa sungkan, aku tetap mencoba menebak.

"Seni musik?" Siapa tahu kalau dia mencari jurusan yang linier dengan hobi yang dia geluti sekarang.

"Bukan," jawabnya sambil tersenyum.

Oke, kali ini Kevin mendapatkan pengecualian.

"Salah, ya?" Aku masih mengira-ngira. "Kalau gitu pasti sastra..."

"Kayaknya tampangku bukan anak sastra banget deh, baca novel saja nggak pernah tamat," kata Kevin.

"Ya, nggak ada hubungannya wajah sama kau baca novel sampai tamat atau nggak," kataku.

"Iya, kan jadwal manggung padat. Jadi nggak sempet baca-baca gituan," kata Kevin mencoba berkelit.

"Yang jelas bukan anak matematika." Aku masih berupaya menebak.

"Emang mustahil banget ya, musisi kuliah di matematika?"

Aku tertawa. "Ya, nggak gitu juga. Aku justru tahu kalau matematika itu penting banget di musik. Cuma kadang beberapa musisi yang mengaku nggak paham matematika itu bukan karena musik atau matematika nggak ada hubungannya. Mungkin karena cara penyampaian pelajarannya yang salah."

"Iya, sih..." Ada jeda sebentar di percakapan kami. Mungkin dia memikirkan kata-kataku barusan. "Eh, tebak lagi dong."

Duh kenapa dia maksa banget sih. Padahal aku lagi nggak ekspresif banget sebenarnya, gerutuku sambil memperhatikan jalan. Lagu di telinga kami sekarang terputar Happier-Olivia Rodrigo. Setiap liriknya luar biasa, benar-benar mewakili perasaan pasangan kekasih. Tapi timing-nya nggak pas. Oleh karena itu, jariku tergerak untuk menekan lagu berikutnya. Tapi Kevin tahu gerak-gerikku dan menghentikan upayaku.

"Udah, lagu ini aja," katanya sambil nyengir lagi.

"Abis putus dari pacar, sampai nggak bisa move on gitu," ucapku asal.

Kevin tertawa mendengarnya. "Nggak, lah, siapa juga yang habis putus sama pacar. Orang aku masih lajang gini. Kentara kalau kau nggak pernah nonton beritaku."

"Ish, ngapain juga nyari berita soal kau. Kayak nggak ada kerjaan lain aja," Heran, ketika aku menepis dengan rasa jijik, wajahku sangat ekspresif. Giliran ketika menginjak topik yang menurutku seru, tapi wajahku kaku banget.

Lagi-lagi dia tertawa. Kali ini sampai berani mengusap rambutku. Ini membuatku merasa tidak nyaman, tapi rasa sungkan itu kembali menjadi alasan untuk aku tidak menepis tangannya. "Gimana mau putus sama pacar, sementara aku baru suka sama perempuan yang baru aku temui kemarin," katanya. Nada menggelikan itu seperti menggerayangi tengkuk leherku. Aku ingin sekali bilang padanya bahwa aku bukanlah tempat curhat yang tepat buat dia. Jika dia mengajakku jalan keluar hanya untuk dimintai pendapat mengenai perempuan yang dia maksud itu, dari awal aku pasti sudah menolak tawarannya. Terlepas gimana pengaruhnya ke hubungannya sama Arsyad.

Aku tidak punya pilihan reaksi lain selain hanya mengangguk.

"Eh omong-omong, kau belum bilang kau kuliah jurusan apa di sini. Dan satu yang jadi penasaranku, sebenarnya warna apa sih yang dipakai di almamaternya UGM itu? Dibilang cokelat kayak cream, dibilang cream, kayak... Pokoknya nggak jelas. Nggak kayak kampus lain, warna almamaternya jelas. UI misalnya, kuning. ITB, biru tua... Kalau UGM almamaternya kayak butek gitu warnanya," kataku. Tidak ada cara lain untuk menyingkirkan topik tadi selain mengalihkan pembicaraan dengan topik pembahasan yang sepadan bobotnya. Dan sedetik kemudian, aku merasa bahwa tujuanku berhasil saat dia menyergah ucapanku.

"Warna absurd. Ha ha ha..." Kevin tertawa. "Tapi beneran, kritikus seni dadakan yang coba nyari tahu apa warna jas almamaternya UGM, pasti jawabnya kalau nggak cokelat ya cream, ada yang bilang hijau malah."

"Terus kalau bukan ketiga warna itu lalu warna apa?"

"Sulit sih, sebenarnya, aku pun juga nggak tahu pasti warna apa... Tapi dulu ada dosenku yang pernah bilang kalau jas UGM itu terinspirasi sama warna karung goni."

"Karung goni?"

"Iya, karung goni yang biasa dipakai buat nyimpen beras. Nah warna itu yang dipakai buat jas atau almamater UGM."

"Terus maknanya apa coba?"