Chereads / Harem Post / Chapter 17 - Muda dan Bergairah

Chapter 17 - Muda dan Bergairah

Masih dengan mata yang berat Arsia terbangun. Dia sedikit meremas selimutnya sambil membalikkan tubuhnya menjadi terlentang. Sebelah tangannya mengucek matanya. Dia lalu merentangkan tubuhnya dan menguap lebar.

Arsia sadar bila dia berada di kamar Salim saat ini. Dan dia tidak ambil pusing dengan itu. Tepatnya, tidak peduli. Semalam Salim menghancurkan jendela kamarnya sehingga Arsia tidak bisa tidur di sana. Bukankah hal yang paling wajar bagi Salim untuk memberikan ganti rugi berupa kamarnya? Arsia bahkan tidak menolak ketika Salim menawarkannya. Bahkan kalau pria itu tidak melakukannya, Arsia yang akan memintanya.

Arsia menjauhi kasurnya. Dia melangkah ke kamar mandi di kamar tersebut. Di rumah itu hanya kamar Salim lah yang memiliki kamar mandi dalam, omong-omong.

Sebelum setuju untuk menyewa rumah itu, Arsia tentu saja sudah melihatnya. Tapi karena Yıldıray berkata ada barang-baranganya di sana yang sengaja ditinggalkannya, Arsia pun enggan untuk menjadikannya sebagai tempat tidurnya. Baru semalam lah Arsia mengetahui bila barang-barang yang ada di sana sebenarnya merupakan milik Salim.

'Dasar penipu!', Arsia mengatai Yıldıray.

Arsia lalu menjawab panggilan alamnya di kamar mandi Salim. Setelahnya Arsia mencuci tangan dan mukanya kemudian mengelapnya menggunakan handuk kecil yang terlipat rapi di atas rak. Dia harap Salim takkan protes atas apapun yang dilakukannya di sana.

Arsia masih ada malu. Jadi dia tidak akan keluar dengan muka kuda nil dari kamar tersebut.

Dari kamar mandi, Arsia melintasi kamar tidur Salim dan bergerak ke arah pintu. Saat itu barulah dia sadar kalau pintunya tidak terkunci. Semalam Arsia segera terlelap. Jiwa raganya yang terlalu lelah bertemu dengan kasur Salim yang begitu empuk membuatnya lupa untuk mengunci pintunya.

'Dasar payah! Bagaimana kalau semalam pria itu masuk saat kau tidur?', Arsia menggerutu pada dirinya sendiri.

Dengan perasaan sebal Arsia keluar dari kamar Salim. Dia melintas dapur dan terus berjalan ke kamarnya. Arsia hendak mengambil baju gantinya dari sana. Dia ingin cepat-cepat mandi karena badannya terasa gatal sebab stres yang dialaminya kemarin.

Mendekati kamarnya, Arsia melewati sofa tempat Salim berbaring. Pria itu masih terlelap di sana rupanya, dengan selimut saten berwarna merah yang menutupi tubuhnya dari dada ke bawah. Dari bentuknya, dapat dilihat bila selimut Salim harganya pasti fantastis.

'Sultan tetap Sultan', Arsia mencibir. Dia pun berlalu ke kamarnya dan mulai mengumpulkan handuk sampai pakaian dalamnya.

Saat keluar dari kamarnya, awalnya Arsia tidak memperdulikan keberadaan Salim. Dia mengabaikannya seperti tadi saat akan memasuki kamarnya. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Dia jadi penasaran untuk menengok pria tersebut. Pelan-pelan Arsia pun memundurkan langkahnya dan berdiri memandang Salim dari balik punggung sofa.

'Dia bisa tidur di sofa juga rupanya', batin Arsia melihat bagaimana nyenyaknya Salim terlelap. Sebentar, timbul rasa kasihannya pada pria itu. Tapi ketika kejadian semalam kembali terlintas dalam pikirannya, Arsia jadi sewot sendiri.

"Cih, salah sendiri! Siapa suruh menjebol jendela," Arsia bergumam.

Pria yang dari tadi diperhatikannya itu tiba-tiba membuka matanya. Membuat Arsia terkejut setengah mati dan membeku.

'Mampus, ketahuan!', ratapnya dalam hati.

"Ada apa? Apa kau menyesali pilihanmu sekarang?" tanya Salim yang masih berbaring dengan sepasang mata hijaunya melekat pada Arsia.

Bahkan saat baru bangun tidur pun Salim terlihat sangat tampan. Itu membuat Arsia jadi semakin deg-degan setelah kaget karena tertangkap tangan memandangi pria itu.

"S-siapa yang menyesal!" elak Arsia dengan tergagap.

"Lalu mengapa kau memandangiku saat aku sedang tidur?" skak Salim.

Wajah Arsia memerah. "Perasaanmu saja!" balasnya ketus menahan malu.

Arsia lalu membalikkan tubuhnya. Dia harus segera berlalu dari sana sebelum situasi bertambah memalukan untuknya. Sialnya, saat itu dia malah menjatuhkan salah satu barang bawaannya ke atas perut Salim.

Arsia terkejut. Nafasnya tertahan saat mendapati benda apa yang terjatuh itu.

Diliriknya Salim. Kedua mata pria itu terpejam. Tapi tidak mungkin Salim tidak melihat bahwa salah satu dalaman Arsialah yang terjatuh di atas tubuhnya.

'Arsia, bagaimana kau bisa menjatuhkan benda kramat itu. Dasar bodoh!', rutuknya pada dirinya sendiri.

Sekarang Arsia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Selama sepersekian detik otaknya berhenti bekerja saking memalukannya kondisinya sekarang.

"Cepat ambil benda itu. Aku pria normal dan baru saja bangun tidur," suruh Salim dengan matanya yang tetap tertutup demi menghindari melihat benda yang merupakan privasi Arsia itu.

Seketika Arsia tersadarkan. Buru-buru dia mengambil barang keramatnya dan melarikan diri dari TKP.

"Pria normal dia bilang... Memang ada apa dengan pria normal yang habis bangun tidur?" cerocosnya polos sambil menuju ke kamar mandi.

Arsia bergidik sendiri setelahnya.

***

Setelah sarapan Behram melakukan tugasnya untuk membenarkan jendela kamar Arsia. Dia meletakkan kotak perkakas tukangnya dan mulai melepaskan kardus yang menutupi jendela. Kemudian Behram mencopot satu per satu engsel jendela yang telah jebol tersebut.

Dari samping Arsia memperhatikan pria itu. "Kau tahu tentang pertukangan, Tuan Behram," pujinya.

Behram menoleh sekilas ke arah Arsia lalu melanjutkan pekerjaannya. "Sebelum masuk istana saya seorang tukang, Nona," katanya menanggapi.

'Nona? Sejak kapan dia sesopan itu? Bukankah dari kemarin dia ingin mengulekku?', Arsia merasa janggal.

Arsia tersenyum masam karenanya. "Panggil Arsia saja."

Behram tak menanggapi. Bagaimana dia bisa memanggil Arsia dengan namanya bila gadis itu adalah milik tuannya?

'Wanita benar-benar fitnah dunia', keluh Behram.

Tak butuh waktu lama bagi Behram untuk menuntaskan pekerjaannya. Jendela yang baru telah terpasang. Dia lalu membungkuk untuk meletakkan kembali perkakasnya ke dalam kotaknya. Setelahnya dengan mimik serius dia menatap Arsia yang sedari tadi menemaninya. Behram harus menjalankan tugas dari Salim.

"Bolehkah saya menanyakan sesuatu, Nona?" tanyanya.

"Tentu saja."

"Saya mendengar dari Yang Mulia jika Anda memilih untuk menikah dengan saya? Bolehkah saya tahu alasannya, Nona?" Behram masuk pada topiknya.

Arsia salah tingkah mendengarnya. Tampaknya dia tidak menyangka bila akan mendapatkan pertanyaan seperti itu.

Menikah dengan pria tua memang sudah hal biasa jaman sekarang. Ada banyak gadis muda yang memilih untuk menikahi pria yang lebih pantas jadi kakeknya. Tapi dalam keadaan normalnya, Arsia bukan termasuk salah satunya. Tentu saja dia ingin menikah dengan lelaki yang sepantaran atau beberapa tahun lebih tua darinya, bukan yang berbeda generasi dan hampir beda dunia seperti ini.

Tipe lelakinya dia simpan untuk nanti kalau dia sudah siap menikah. Sayangnya Salim datang dan memporak-porandakan rencana hidupnya. Maka dari itulah bukankah sangat alami baginya untuk tidak ingin bersama Salim?

Selain itu, ada alasan kuat lainnya. Bahkan lebih kuat daripada asalan sebelumnya yang membuatnya terusik sebagai seorang perempuan. Apalagi bila teringat Salim yang seperti akan menerkamnya pagi tadi. Hanya mengingatnya saja Arsia merasa seperti sedang mengalaminya lagi. Dia pun bergidik ngeri.

"Emm, itu... karena Anda terlihat bersahaja, Tuan Behram," Arsia berbohong.

Behram mencermatinya. Karenanya dengan canggung Arsia buru-buru menambahkan, "Aku menyukai pria dewasa."

Behram melayangkan pandangan tidak percaya. "Saya pria tua, Nona. Bukan pria dewasa lagi," sangkalnya.

Arsia meringis. "Bukankah semakin tua semakin matang, Tuan?" balasnya asal.

Itulah tujuannya memlih Behram. Normalnya, sesuatu yang semakin matang tentunya akan membusuk, bukan?

"Apakah Anda sedang merecanakan sesuatu, Nona?" tembak Behram curiga.

"Ee, sesuatu apa?" Arsia mengelak cepat.

"Mengambil warisan setelah saya meninggal, misalnya?" tebak Behram.

'Huh, sepertinya dia terlalu banyak menonton sinetron', Arsia melengos dalam hati.

"Kalau harta tujuanku tidakkah seharusnya aku memilih tuanmu itu?" Arsia membalik pertanyaan Behram. "Dia bahkan bilang bisa membeli Istanbul kapan saja dia mau," tambahnya sarkas.

Sejenak Behram memikirkan jawaban Arsia yang memang masuk akal itu. Namun instingnya tetap berkata bila ada sesuatu yang disembunyikan oleh Arsia. Behram lalu mendaftar alasan apa saja yang menyebabkan seorang gadis muda seperti Arsia lebih memilih untuk menikahi bangkotan seperti dirinya, yang secara jelas takkan mampu melaksanakan tugasnya sebagai suami.

'Oh, jangan-jangan...', mata Behram sedikit melebar karena prasangka yang muncul di pikirannya.

"Apakah Anda memiliki pria lain?" tembak Behram lagi.

Seketika wajah Arsia berubah terkejut, yang membuat Behram merasa tebakannya benar.

"Itu..." Arsia ragu sejenak. "Aku tidak bisa menikah dengan orang lain, Tuan Behram," akunya.

"Tapi Anda menyimpan rasa untuk pria itu?" kejar Behram.

Arsia menghela nafas. "Sudahlah. Jangan membicarakan sesuatu yang takkan terjadi!" dia mengelak.

Kini Behram tahu secuil informasi lain mengenai Arsia yang dapat disampaikan ke tuannya. Namun itu tidak cukup untuk menjawab pertanyaannya mengenai alasan Arsia memilihnya. Untuk membuat Arsia menolaknya, Behram harus mengetahui alasan gadis itu memilihnya, bukan?

Behram lantas memikirkan hal lain yang dapat memancing reaksi Arsia.

"Saya tidak setampan Yang Mulia Salim, Nona. Bahkan saat muda sekalipun," kata Behram kemudian.

"Lalu kenapa dengan itu, Tuan?"

"Bukankah lebih baik tidur bersama pria tampan, Nona?"

Behram tahu itu pertanyaan yang sangat berani nan kurang ajar. Tetapi dia harus memancing Arsia.

Usahanya berhasil tentu saja. Dilihatnya Arsia menjadi gelisah. Gadis itu terdiam sejenak.

Begitulah Behram akhirnya mendapatkan jawabannya. Ucapan Arsia selanjutnya hanya menegaskan kebenarannya.

"Justru karena itu aku takut, Tuan Behram. Dia muda dan bergairah."