Chereads / Harem Post / Chapter 21 - Lamaran Salim

Chapter 21 - Lamaran Salim

Auditorium yang tadinya ramai menjadi hening dalam sekejap. Semua tercekat. Berpuluh pasang atau bahkan seratus pasang mata kini terfokus ke depan, pada panggung.

Di sana, sepasang anak Adam tersorot di bawah cahaya. Menjadi inti dari tempat tersebut.

Sang lelaki berlutut. Wajah rupawannya menengadah dengan sepasang mata coklatnya yang berbinar penuh harap dan dambaan. Bibir tipisnya yang merah mengulas senyum paling menawan yang dimilikinya. Dia tampak begitu tampan paripurna meskipun dadanya menyembunyikan jantung yang terasa hendak meledak.

Selama ini memang jantungnya itu kerap bermasalah ketika bertemu dengan gadis idamannya. Namun kali ini situasinya begitu berbeda. Begitu khusus.

Ia sudah menyiapkan hal tersebut sejak lama dan dengan sengaja ingin melakukannya di depan semuanya. Ia ingin orang-orang itu melihat betapa seriusnya dirinya terhadap gadisnya, yang kini berdiri menunduk memandangnya.

Gadis itu sendiri tampak terkejut. Bagaimana tidak ketika lelaki yang selama ini diimpikannya tiba-tiba saja berlutut di hadapannya? Untuk sesaat ia seperti hilang kesadaran karena ledakan rasa bahagia yang menghujam dirinya. Ia memang tidak menduga bila saat seperti ini akan tiba. Namun ia jelas tahu apa yang hendak dilakukan oleh lelakinya setelah ini.

Tangan si lelaki terulur. Menyodorkan sebuah kotak bulat berwarna emas dengan hiasan batu permata di tutup kotaknya kepada si gadis. Lelaki itu lalu membukanya dengan hati-hati. Sehati-hati dirinya menjaga cinta mereka.

Sebuah cincin pun muncul di antara mereka. Intinya merupakan batu amethyst bulat yang kini tengah berpendar cantik tertimpa cahaya. Badan cincinnya dari emas putih yang diukir membentuk kuncup bunga tulip yang saling menyambung dalam posisi horizontal. Cincin itu begitu indah, menyerupai tiara para putri.

"Menikahlah denganku," pinta si lelaki.

Keheningan di auditorium pecah, riuh dipenuhi sorak-sorai penonton. Mereka berseru serentak, "Terima! Terima! Terima!"

Sepasang manik si gadis berbinar serupa refleksi air. Khayalannya berubah menjadi nyata. Tanpa didesak oleh penonton pun, dia sudah pasti akan menerima lamaran dari lelakinya itu. Kebahagiannya benar-benar tak dapat dilukiskan.

Sampai terdengar suara kaset kusut yang mereset semuanya.

Suara sorakan seketika menghilang, berubah menjadi kekosongan. Disusul oleh auditorium yang menyempit. Tidak ada lagi panggung. Tidak ada lagi kebahagiaan yang membuncah.

Yang paling mengecewakan dari semuanya, tidak ada lagi Selim. Hanya ada dirinya -- Arsia -- di bawah cahaya yang temaram di tengah kegelapan, seorang diri.

Seketika semuanya berputar di hadapannya. Berganti ke rumah yang di kini di tempatinya, di ruang makan, dengan Salim yang berlutut di hadapannya. Hanya cincin berbatu amethyst itu yang bertahan di tempatnya.

'Cincin!', Arsia berseru kaget dalam hati begitu menyadarinya.

Refleks Arsia memundurkan tubuhnya secara cepat dan tiba-tiba. Dia ingin menghindari Salim yang berada terlalu dekat dengannya saat ini. Sialnya yang terjadi justru tubuhnya kehilangan keseimbangan dan akan terjengkang ke belakang.

Tetap dalam posisi berlutut, Salim sedikit memajukan tubuhnya. Dengan sigap dia menangkap lengan Arsia. Membuat punggung gadis itu tersentak ke depan dan wajah mereka jadi dekat sekali. Nyaris tanpa jarak.

Arsia yang syok terdiam. Manik hitamnya menatap manik chartreuse milik Salim. Mereka bertahan dalam posisi seperti itu selama beberapa detik.

'Bau mint', Arsia berkata pada dirinya sendiri ketika merasakan hembusan nafas Salim menyapu kulit wajahnya.

'Eh, apa?!', Arsia menjerit dalam hati.

Begitulah akhirnya Arsia tersadar akan posisinya saat ini. Dengan terkejut dia segera menarik dirinya menjauh dari Salim.

"M-maafkan aku," katanya dengan cepat dan tergagap.

Rasa malunya luar biasa. Arsia khawatir kalau-kalau Salim jadi salah paham mengira bila dirinya menikmati kejadian barusan. Atau bahkan sengaja menciptakannya.

Apakah Salim akan berpikir bila dia sedang mencoba menggoda pria itu? Duh, pikirannya jadi ngawur kemana-mana!

'Ah, Arsia! Kenapa kau malah diam saja memandangnya tadi?!', Arsia pun merutuki dirinya sendiri. Wajahnya lalu tertunduk demi menyembunyikan rasa malunya dari Salim.

"Kau baik-baik saja?" Salim bertanya khawatir. Dia kesulitan untuk memutuskan apakah gadisnya menjadi seperti itu karena terkejut atau ketakutan atas lamarannya. Bila yang terakhir maka sial lah dia.

"Y-ya," suara Arsia lirih.

Tidak yakin, Salim lantas memiringkan kepalanya ke kanan untuk melihat wajah Arsia. Dia memutuskan untuk memastikannya sendiri.

Arsia melirik Salim dari balik bulu matanya. Melihat bagaimana mata hijau lelaki itu mencoba menelusuri wajahnya, refleks Arsia memundurkan kepalanya dan menundukkan wajahnya semakin dalam. Sikap Salim itu membuat Arsia sungguh merasa risih dan bertambah canggung.

"Ada apa?" Arsia bertanya dengan tubuhnya yang mengkerut di tempatnya. Suaranya bahkan terdengar seperti cicitan tikus.

"Memastikanmu," jawab Salim apa adanya dengan matanya yang masih menelisik wajah Arsia. Agak susah untuk melakukannya karena jelas-jelas gadis itu berusaha untuk menghindarinya. Semakin Salim intens memandangnya, semakin Arsia menyembunyikan wajahnya. Akhirnya Salim menarik dirinya setelah mendapatkan jawabannya.

"Jadi?" Salim bertanya. Dia tetap mempertahankan ekspresi wajahnya seperti sebelumnya. Meskipun dia tahu bila gadisnya itu ketakutan dan sekarang rasa kecewa tengah menjalarinya karenanya.

Kedua mata Arsia memandang Salim tidak mengerti. "Jadi?" ulangnya polos.

Salim mendesah dalam hati. Dia tidak memukul kepala Arsia ataupun membiarkan kepala gadis itu terbentur. Tetapi mengapa Arsia seperti orang yang terkena hantaman keras di kepalanya? Ingatannya hilang begitu cepat seperti ingatan ikan.

Ini jelas bukan cara melamar yang dikehendaki oleh Salim. Tetapi dia terpaksa melakukan secara apa adanya karena keterbatasan waktu mereka. Setidaknya dengan melamar Arsia meskipun dengan seadanya, dia telah menunjukkan kesungguhannya. Bukan sekedar formalitas karena kesalahan. Malangnya, dia harus melakukannya dua kali.

'Apa seharusnya aku gladi bersih dengan Behram tadi?', Salim mulai mempertanyakan keputusan yang diambilnya dengan sarkas.

Salim pun kembali menyodorkan cincinnya kepada Arsia. Kedua matanya segera menangkap Arsia yang menjadi gusar dalam duduknya. Dalam hati Salim berharap tidak akan terjadi lagi hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya Arsia yang nyaris terjengkang seperti tadi. Sekalipun dia menyadari bahwa hanya dirinya yang menghendaki pernikahan ini, tetap saja dia tidak ingin menyaksikan penegasan akan hal tersebut.

Di sisi lain, Arsia juga menyadari kalau dirinya tak memiliki pilihan lain. Namun dia juga tidak berharap Salim akan bersikap seperti ini. Di saat gadis lain akan senang bila dilamar, sebaliknya Arsia merasa mati kutu. Seperti prajurit yang terkena serangan yang tak diharapkan, begitulah situasinya saat ini.

Arsia tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Alih-alih menyerahkan tangan kirinya, Arsia malah merespon lamaran Salim dengan meringis. Tentu saja dia melakukannya bukan dengan maksud untuk mempermalukan Salim. Tetapi refleks untuk menutupi tekanan emosi dalam dirinya.

"Kenapa kau seserius ini?" ucap Arsia diikuti dengan tawa canggungnya. "Kau tidak perlu bersikap begini seolah ini adalah sungguhan," lanjutnya sambil mengibaskan tangannya.

Manik hitamnya hanya memandang Salim sekilas. Mana berani dia menatap sang pangeran lurus ke dalam mata hijaunya dalam situasi seperti ini. Malah sekarang dia membuang wajahnya meskipun senyum anehnya tetap terbingkai di wajahnya. Tidak menyadari perubahan mimik sang pangeran.

Kedua mata hijau Salim terpaku pada Arsia. Wajahnya menjadi gelap sebab mendengar ucapan gadisnya itu barusan. Dia tidak dapat membiarkan Arsia untuk berkata lebih lanjut lagi. Dia tidak ingin mendengar lagi apapun mengenai perbedaan presepsi mereka mengenai pernikahan tersebut.

Dengan sekali tarik, Salim meraih pergelangan tangan Arsia dengan paksa.

'Kau akan lihat betapa seriusnya aku, Arsia Sultan', geram Salim dalam hati sembari memasangkan cincinnya ke jari manis Arsia.