Chereads / Harem Post / Chapter 22 - Kau dengan Wanitamu, Aku dengan Lelakiku

Chapter 22 - Kau dengan Wanitamu, Aku dengan Lelakiku

Selama tiga tahun Arsia menyimpan nama Selim dalam hatinya. Hal apa yang paling lumrah baginya selain membayangkan Selim yang melamarnya? Seperti yang barusan dilakukannya tadi dengan auditorium dan segala tetek bengeknya.

Namanya Ahmet Selim, pemuda yang dicintainya itu. Pertama kali Arsia memasuki kelasnya, pemuda itulah yang ditakdirkan sebagai orang pertama yang dikenalnya dan berbicara dengannya.

Selim yang baru saja melewati pintu kelas berhasil menarik perhatiannya. Selim mengenakan kaos putih yang dirangkapnya dengan kemeja hitam kotak-kotak serta celana jeans berawarna denim terang. Rambut coklat Selim -- yang agak berkilau karena gel rambutnya -- disisir ke belakang. Mata coklat madunya tampak terang terkena sinar matahari siang yang menembus masuk melalui jendela-jendela kelas.

Sepasang mata itu kemudian bertemu pandang dengan mata hitam milik Arsia. Membuat Arsia terkesiap sekaligus malu karena ketahuan telah memandangi pemuda itu. Namun Selim justru tersenyum padanya lalu melangkah mendekatinya.

"Hai, aku Selim," dengan ramah pemuda itu menyapanya begitu mencapai sisinya. Senyum masih terkembang di wajahnya. "Boleh aku duduk di sini?" tanyanya kemudian.

"Tentu saja. Silakan," Arsia menjawab malu-malu. Menyaksikan bagaimana Selim terlihat dalam jarak sedekat itu jelas berhasil membuat kurva detak jantung Arsia mulai tergambar tak beraturan.

"Terima kasih," balas Selim.

Arsia dapat mengendus aroma bergamot yang seperti bercampur dengan apel saat Selim mengambil tempat di sebelahnya. Aroma tersebut seakan dihempaskan oleh udara ke indera penciumannya dan menstimulasi sesuatu dalam otaknya. Arsia tidak tahu apa itu. Tetapi rasanya begitu harum dan menyenangkan, menarik dirinya.

"Kau belum menyebutkan namamu?" Selim mengingatkan. Ekspresi wajahnya menunggu. Lalu dia membuat mimik seperti terkejut. "Oh, atau aku tidak boleh mengetahuinya?" guranya kemudian.

Selim meringis. Hati Arsia meleleh seketika.

"Tidak. Tentu saja boleh. Namaku Arsia," dengan gelagapan Arsia menjawabnya.

"Senang mengenalmu, Arsia. Semoga kau betah berada di sini," ucap Selim tulus.

Ya, begitulah awal perkenalan mereka dan Arsia masih dapat mengingat dengan jelas semua detailnya seakan baru saja terjadi kemarin.

Dan seperti kata Selim, Arsia dapat bertahan di sana hingga kini menginjak tahun keempatnya. Dia betah. Tetapi semuanya karena Selim. Pemuda itu lah penyemangatnya di dalam dunia perkuliahan yang tidak mudah baginya.

Selama ini Arsia hanya bergelantungan dari satu semester ke semester yang lain bak monyet yang bergelantungan pada dahan yang rapuh. Kalau tidak ada Selim, sudah dari jauh-jauh hari dia pulang kampung dengan status sebagai mahasiswi DO. Otaknya terlalu lamban namun Selim selalu bersabar membantunya.

Bagi Arsia, Selim is love, Selim is life.

Lalu sekarang, katakan bagaimana Arsia bisa menerima keberadaan pria lain dalam hidupnya?

Dari dulu Arsia selalu memimpikan bila pernikahannya akan terjadi sekali seumur hidup, di dasarkan cinta, dengan pria yang dicintainya dan mencintainya. Mungkin dia akan jujur pada Selim mengenai perasaannya dan berakhir di pelukan pemuda itu.

Namun lihatlah kini... Pernikahannya akan serupa dengan pernikahan politik karena didasarkan pada kepentingan semata. Yang paling menyedihkan, karena keterpaksaan.

Terkutuklah Yıldıray yang telah menempatkannya dalam posisi seperti ini!

Salim yang menyematkan cincin di jari manisnya dan dirinya yang histeris.

"Apa yang kau lakukan?!" Arsia berusaha untuk menarik tangannya dari genggaman Salim.

Mendapat penolakan dari Arsia, Salim hanya lebih mempererat genggamannya pada tangan gadis itu tanpa menyakitinya. Dia tetap tenang meskipun harus menghadapi suara hardikan Arsia yang sebenarnya memekakkan telinganya.

"Melamarmu," jawabnya dengan suara teduh.

Dengan khidmat Salim mendorong cincin lamarannya hingga sampai ke batas jari sang gadis. Kemudian dia menghembuskan nafas lega. Sepasang manik hijaunya memandang sejenak pada cincin ibunya yang kini terlihat sangat pas dan indah terpasang di jari Arsia. Dia merasa bahagia karena cincin itu ukurannya sesuai dengan gadisnya.

Ah, kalau bukan takdir lalu bagaimana Salim harus menyebutnya?

Setelahnya Salim melepaskan Arsia, membiarkan sang gadis untuk menarik tangannya kembali dengan kasar.

Dengan wajah penuh ketidakpercayaan, Arsia segera mengangkat tangan kirinya ke udara. Sorot matanya penuh keberatan saat dia memandang pada cincin yang baru saja disematkan oleh Salim ke jarinya tersebut. Pikirannya masih berat menerima apa yang terjadi sehingga dia membuka mulutnya dengan syok lalu menatap tajam pada Salim.

"Kau!" Arsia berseru kesal.

Masih berlutut, Salim menatap Arsia. Wajahnya dengan jelas menunjukkan rasa puasnya.

'Ya, aku, Arsia', dalam hati dia menjawab seruan Arsia barusan.

Salim lalu menyisir ke belakang beberapa anak rambutnya yang jatuh ke dahinya menggunakan tangannya. Gerakannya begitu elegan. Dia tahu bila saat ini Arsia nyata-nyata menunjukkan ketidaksukaannya. Namun Salim memutuskan untuk tidak peduli. Toh cincinnya sudah bertengger dengan manis di jari gadisnya itu.

Tanpa mengatakan apapun, Salim mengangkat tubuhnya. Dia memutari sisi meja dan kembali duduk di kursinya dengan anggun. Sedang Arsia menggerakkan matanya mengikuti pergerakan Salim tersebut.

Arsia masih tidak bisa berkata-kata. Kedua manik hitamnya tetap terpaku pada sang pangeran. Melihat bagaimana Salim melanjutkan sarapannya dengan mimik sangat menikmati sedang dirinya dibuat jengkel setengah mati.

"Makanlah, Arsia Sultan," kata Salim mempersilakan sambil mengangkat garpunya yang berisi keju. Senyumnya mengikuti kemudian. Dia memang sengaja menggoda Arsia dengan panggilannya itu.

Mendengar Salim memanggilnya dengan sebutan Arsia Sultan, Arsia seketika meradang. "Jangan memanggilku seperti itu!" tegasnya. Kemudian dia beralih pada cincicnnya. "Aku tidak mau mengenakannya!" protesnya sembari berusaha melepaskan cincin tersebut dari jarinya.

Sayangnya, cincin yang sangat pas melingkar di jarinya membuat benda itu susah untuk dikeluarkan. Wajah Arsia sampai tertekuk-tekuk demi menariknya. Demi apapun, benda itu harus lepas dari jarinya sekarang juga!

Melihat jari Arsia yang semakin memerah serta wajah gadis itu yang menahan sakit, Salim pun mengulurkan tangannya. Dia meletakkan tangannya ke atas tangan kiri Arsia untuk menghentikannya. Membuat gadis itu terkesiap dan langsung menarik tangannya.

Salim hanya tersenyum tipis atas reaksi Arsia. "Kau bisa mencoba melepaskannya dengan sabun," katanya yang seolah mengolok lambannya kinerja otak Arsia. "Tapi kau memakainya ataupun tidak, itu tidak akan merubah apapun. Kau tetap akan menikahiku, Arsia Sultan. Kau akan menjadi istriku," lanjutnya menegaskan dengan suaranya yang tenang.

Setelahnya Salim meraih gelas tehnya dan meminumnya dengan cara yang elegan. Sepasang manik chartreuse-nya tetap mengamati Arsia.

"Berhentilah menggodaku!" sungut Arsia. "Kita bahkan belum membicarakan apapun terkait pernikahan ini. Bisa-bisanya kau sudah memasang cincin ke jariku," kembali dia memprotes aksi Salim.

Salim tidak terpengaruh oleh ucapan Arsia. Dia kalem-kalem saja. Kebahagiaannya karena berhasil memasang cincin itu membuatnya merasa menang atas Arsia. Sekarang gadisnya boleh saja marah-marah seperti itu. Tetapi Salim yakin dia akan bisa meluluhkan hati Arsia secepatnya.

"Silakan saja bila ada yang ingin kau bicarakan. Tidak ada yang melarangmu untuk itu. Tetapi seperti yang ku bilang tadi, tidak akan ada yang berubah dari rencana pernikahan ini," Salim berkata santai.

"Berhentilah berbicara seolah kita akan menikah sungguhan!" sergah Arsia sembari menghentakkaan kakinya dengan kesal di bawah meja.

Salim tersenyum menanggapinya. Kemudian dia melanjutkan sarapannya kembali. Dia memang kecewa karena Arsia tidak menginginkannya tetapi melihat bagaimana gadis itu bereaksi saat ini, Salim tak dapat memikirkan hal apapun selain betapa menggemaskannya Arsia.

'Marahlah sepuasmu, Arsia Sultan. Salah siapa kau begitu polos hingga termakan jebakan Yıldıray. Kau sendiri yang membawa dirimu padaku', ucap Salim dalam hati sembari mengunyah roti yang telah dioles dengan minyak zaitun.

Arsia menghela nafas. "Aku setuju kita untuk tidak saling menyentuh satu sama lain. Aku juga setuju pernikahan ini diakhiri setelah Yıldıray ditemukan," katanya berkompromi.

"Hmm, bagus," Salim menanggapi sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia senang karena Arsia menyetujuinya, seperti yang diharapkannya.

"Tapi aku ingin menambahkan satu klausul lagi," lanjut Arsia kemudian.

Salim memandang Arsia. Sebelah alisnya terangkat saat dia bertanya, "Dan klausul itu adalah...?"

Sejenak Arsia membalas tatapan mata Salim dalam diam. Dia sudah tidak sekesal tadi. Namun ekspresi wajahnya begitu serius.

"Aku ingin kita mengurus urusan masing-masing. Aku tidak akan peduli bila kau mencari wanita lain atau bahkan menikah lagi. Karena itu, aku ingin hal sebaliknya juga berlaku darimu terhadapku."

Permintaan Arsia barusan bagaikan petir di siang bolong. Aura cerah Salim berubah menjadi gelap dalam sekejap karenanya. Mata chartreuse-nya memandang Arsia tajam.

Ada api yang terpantik dalam diri Salim sebab klausul yang diajukan oleh Arsia tersebut. Semakin lama kobaran apinya semakin membesar dan tak terkendali. Membuat Salim tanpa sadar menggenggam garpunya dengan begitu erat hingga garpu itu perlahan mulai bengkok.

"Arsiaaa...," Salim menggeram.

---

Penyematan panggilan sultan di belakang nama wanita -- seperti Arsia Sultan -- adalah untuk menunjukkan status wanita tersebut sebagai anak sultan atau istri para keturunan sultan.