Chereads / Harem Post / Chapter 23 - Kepemilikan Salim

Chapter 23 - Kepemilikan Salim

Di dalam kamarnya, Behram nyaris saja tersedak biji zaitun. Sedari tadi dia turut mendengarkan percakapan Salim dengan Arsia secara diam-diam. Sambil menikmati sarapannya, sambil dia menikmati percakapan kedua sejoli yang baru penjajakan itu namun sudah akan menikah.

Sedari tadi semuanya baik-baik saja. Meskipun tidak berjalan selancar jalan tol tetapi situasi masih aman terkendali. Behram salut kepada tuannya untuk itu mengingat bahwasannya Salim merupakan pria yang awam terhadap masalah percintaan. Tetapi, klausul yang barusan diajukan oleh Arsia benar-benar mengejutkan Behram.

Behram tidak menyalahkan Arsia untuk itu. Sejujurnya, justru tuannya Salim lah yang tidak sengaja memberikan celah bagi gadis itu. Behram pun paham mengapa tuannya mengambil langkah demikian. Dia hanya tidak menyangka bila Arsia akan menyadari kesempatannya dan menggunakannya untuk 'menyerang' sang pangeran.

'Mengapa mereka malah jadi seperti orang yang sedang main catur dan memindahkan bidaknya masing-masing?', Behram bertanya-tanya.

Tak lama, dia menggelengkan kepalanya. 'Tapi apakah Nona Arsia sepintar itu? Atau mungkin ini hanya kebetulan saja?', dia jadi sangsi sendiri.

'Ah, sepertinya ini hanya kebetulan saja. Nona Arsia walaupun bar-bar tetapi tidak seculas itu untuk merencanakan sesuatu. Ini pasti karena Nona Arsia bersikap implusif saja', nilai Behram akhirnya.

Setelah mempertanyakan Arsia, Behram kini mengkhawatirkan kondisi tuannya. Dia tidak perlu mengeceknya ke ruang makan untuk mengetahuinya. Sudah selama ini mengabdikan diri pada Salim, Behram dapat mengira-ngira bagaimana sikap Salim saat ini.

Secara umum, tuannya itu memang merupakan sosok yang sabar dan tenang. Namun ada satu hal di mana semuanya bisa saja merubah Salim secara tiba-tiba: kepemilikan.

Inilah yang telah diduga Behram sejak kemarin ketika dilihatnya Salim menggedor-gedor pintu kamar Arsia untuk meminta maaf. Dia tidak berani mengasumsikannya lebih awal tapi semakin kemari semakin jelas terlihat kalau tuannya itu sudah merasa memiliki Arsia. Dengan kata lain, dugaannya benar.

Salim bukan orang yang tamak. Tuannya itu tidak akan mengambil apa yang tidak menjadi miliknya. Sebagai kompensasi atas hal tersebut, Salim juga takkan ampun mempertahankan apa yang menjadi miliknya. Katakanlah itu kekurangan Salim dan hanya Behram serta Yıldıray yang mengetahuinya karena Salim hanya akan mengamuk di wilayah pribadinya.

'Tampaknya aku harus memberitahu Nona Arsia juga mengenai hal ini segera', pikir Behram.

'Semoga saja Yang Mulia tidak membalik mejanya', dalam kecemasannya dia lalu berdoa.

Sementara Behram sibuk mendoakan Salim, di ruang makan Salim tengah bergelut dengan amarahnya. Dengan mata yang terpejam wajahnya tertunduk menghadap meja. Kedua pergelangan tangannya dia tumpukan ke sisi meja dengan satu tangan mengepal dan satu tangan lainnya mencengkeram erat-erat garpunya.

'Arsia, aku tidak pernah meminta sesuatu yang bukan milikku', Salim mendesis dalam hati.

Ingin rasanya dia meneriakkannya kepada Arsia dan mengamuk saat itu juga. Membanting apapun yang ada di hadapannya atau membalik meja makannya sekalian. Tetapi Salim berusaha mati-matian untuk mengendalikan dirinya. Dia tidak boleh lepas kontrol di hadapan Arsia.

Salim tidak ingin terlihat lemah di depan gadisnya. Apa yang terjadi padanya saat ini adalah hasil dari residu-residu hidupnya selama 25 tahun. Sebutlah sebagai sisi gelapnya, kelemahannya.

'Apa Arsia akan menerimaku bila dia mengetahuinya?', Salim meragukan dirinya. Saat ini ketika masih sisi baiknya saja yang terlihat, Arsia pun menolaknya. Bagaimana bila gadisnya itu menemukannya dalam sosok lainnya? Karenanya Salim harus dapat mengendalikan situasi ini dengan segera.

Salim menarik nafasnya dalam-dalam. Mengisi paru-parunya dengan udara dan mengalirkannya ke seluruh tubuhnya demi memadamkan api dalam dirinya. Apinya tidak sepenuhnya hilang tetapi sudah cukup baginya untuk dapat berpikir lebih jernih dan berkomunikasi dengan gadisnya itu selanjutnya.

Otaknya pun segera mencari apa yang harus dilakukannya untuk menghadapi permintaan Arsia tersebut. Sesuatu yang tidak akan membuatnya kalah dan kehilangan namun juga tidak akan membuat Arsia melawannya.

'Apa yang harus aku lakukan padamu, Arsia?', Salim berpikir.

Sedang di hadapannya, Arsia memandang Salim dengan tidak mengerti. Maksudnya, Arsia tidak sebodoh itu sampai tidak peka terhadap perubahan mood Salim. Dia hanya tidak ada ide mengenai penyebabnya.

Mana Arsia tahu bila Salim menginginkannya? Mereka baru bertemu kemarin. Mengetahui apa yang dipikirkan oleh Salim terhadapnya akan menjadi hal absurd berikutnya yang menimpanya sejak kemarin. Untungnya dia tidak tahu. Kalau tidak, dia pasti akan mencoba kabur detik itu juga.

'Ada apa dengannya? Perasaan tidak ada yang salah dengan ucapanku', batin Arsia bingung.

Arsia lantas sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Salim. Kedua manik hitamnya bergerak memperhatikan garis wajah pria di hadapannya itu.

"Yang Mulia?" panggilnya dengan hati-hati.

Salim mendengarnya. Tetapi dia tidak menggubrisnya. Dia hanya belum mau untuk berbicara dengan gadisnya detik itu. Masih ada yang harus diselesaikannya dulu di dalam pikirannya.

Kening Arsia berkerut diacuhkan begitu. Tapi tetap saja dia tidak ada ide kalau sikap Salim yang seperti itu adalah karena klausal yang diajukannya barusan. Arsia justru mengira kalau Salim tidur atau semacamnya karena pria itu tak kunjung membuka matanya.

'Ah, apakah dia sedang terkena efek portal waktu? Sepeti jetlag?', tiba-tiba Arsia terpikirkan hal tersebut. Lalu dia panik sendiri karenanya. Pupil matanya sedikit membesar. 'Apa akan terjadi sesuatu kepadanya?', batinnya.

Tangan Arsia lalu terulur. Menyentuh tangan Salim yang terkepal untuk memastikan pria tersebut. Betapa kagetnya dia ketika tangan Salim langsung membalik tangannya dan meraihnya ke dalam genggaman pria itu. Gerakannya lembut dan tidak menyakiti. Namun tetap saja Arsia memekik saking terkejutnya sehingga secara refleks menarik tangannya.

Di hadapannya, Salim memandang Arsia dengan sorot mata yang aneh. "Kenapa kau menyentuhku?" dia bertanya dengan nada menyelidik yang menuduh. Padahal sebenarnya Salim menyukainya dan hanya ingin tahu.

Arsia yang teringat akan perjanjian mereka langsung kagok ditanyai begitu. "Jangan berpikiran macam-macam!" sungutnya. "Aku hanya ingin tahu apa terjadi sesuatu padamu karena kau tiba-tiba terdiam seperti itu."

"Apa aku membuatmu khawatir?" Salim memancing. Sebelah alisnya menjengit. Ekspresinya terlihat cool namun sebenarnya dia tengah menggoda Arsia dengan pertanyaannya.

"Mana ada! Justru kau membuatku takut," Arsia mengelak. "Aku hanya tidak ingin berurusan dengan polisi lagi bila terjadi sesuatu padamu."

Sudut bibir Salim berkedut. "Jangan khawatir. Aku hanya lelah. Aku datang dari tempat yang jauh dan tidak bisa tidur sampai pagi," katanya santai.

Arsia mengkerutkan bibirnya. "Huh! Sudah ku bilang siapa pula yang mengkhawatirkanmu?!" dia menggerutu sambil melirik sebal pada Salim.

Salim tersenyum memperhatikan tingkah Arsia itu. Terlebih bibir gadis itu yang memang sudah penuh menjadi semakin penuh karena cemberut.

'Cantik sekali', pikir Salim.

Lalu Salim menyesap kembali tehnya yang sudah mulai dingin. Wajahnya tampak tenang. Namun sebenarnya dalam hati dia menunggu dengan tidak tenang Arsia yang akan membahas kembali mengenai klausulnya.

Salim sudah menemukan apa yang akan dikatakannya kepada Arsia terkait hal tersebut. Tetapi bukan berarti dirinya akan senang bila harus mendengarnya lagi. Kalau bisa, dia ingin mereka tidak perlu membahasnya sama sekali.

'Aku harap kau amnesia saja, Arsia', batin Salim.

Tentu saja harapan Salim itu hanya kosong belaka. Klausul tersebut sangat penting bagi Arsia yang mencintai Selim sehingga mana mungkin dia akan melupakannya.

"Kau belum mengatakan apapun soal klausul yang aku ajukan?" Arsia meminta jawabannya.

Sepasang mata chartreuse Salim menatap lurus ke Arsia. "Aku tidak masalah dengan itu, Arsia," dia membuka suaranya. Susah payah dia mengeluarkan kata-kata tersebut setenang mungkin. "Tapi aku ingin kau mempertimbangkan satu hal," lanjutnya dengan nada memperingatkan.

"Di jamanku, lelaki memiliki lebih dari satu wanita bukan masalah. Di jaman sekarang, meskipun hal tersebut dipandang sebelah mata dan dianggap tidak berakhlak oleh masyarakat tetapi nyatanya mereka lebih toleran terhadap lelaki. Tekanan sosialnya tidak akan seberat perempuan yang memiliki lelaki lain setelah dia menikah," Salim berhenti berbicara untuk melihat reaksi Arsia. Matanya bergerak meneliti perubahan ekspresi dalam wajah gadisnya.

Ketika dilihatnya Arsia mengerti ke mana arah pembicaraannya dan mulai gusar karenanya, Salim menghempaskan kata-katanya, "Katakanlah aku tidak akan mencampuri urusanmu dengan lelakimu. Tetapi bagaimana kau akan membersihkan namamu dari itu?"

Terkesiap, Arsia menatapnya dengan alis yang hampir menyatu. Mereka saling memandang satu sama lain kini.

Salim mengulas senyum tipisnya.

Ya, dia mengancam Arsia.