Sementara itu di saat Arsia dan Behram sedang berbicara, ada seseorang yang tiba-tiba saja cegukan. Orang itu siapa lagi kalau bukan Salim, sosok yang tengah dibicarakan oleh keduanya. Karena cegukannya, dadanya jadi naik turun, matanya berair, dan ujung hidungnya memerah. Itu membuat penampilannya jadi terlihat sangat menggemaskan.
Sedari tadi Salim duduk di meja makan. Dia dengan sengaja memilih sisi kursi yang dapat membuatnya dengan leluasa mengintai kamar Arsia. Ya, dialah yang mengirim Behram ke sana secepatnya saat dilihatnya Arsia berada di kamar. Membetulkan jendela hanya alibinya saja.
Sejak semalam melihat Arsia tidur, Salim merasa masalah ini harus dituntaskan segera. Semalam sampai subuh dia bahkan tidak bisa terlelap. Rasa kantuknya hilang digantikan dengan rasa tidak sabarnya. Rasa-rasanya dia tidak bisa menungg barang satu detik pun.
Dan saat ini sepasang mata hijau chartreus-nya menatap pada pintu yang sedikit terbuka itu, menunggu kapan Behram akan keluar dari sana. Kelima jemarinya sedari tadi mengetuk-ngetuk meja makan, menunjukkan kegelisahannya.
Di hadapannya, sarapannya tak disentuhnya sama sekali sejak disiapkan 15 menit yang lalu. Lagipula bagaimana dia akan menyantapnya? Pikirannya hanya tertuju pada hasil 'lobi' Behram dengan Arsia. Ditambah sekarang dia cegukan. Salim akhirnya hanya mengambil segelas air hangat dan menghabiskannya dalam sekali teguk demi meredakan cegukannya itu.
'Kenapa mereka belum keluar juga? Apa yang mereka lakukan di sana?', Salim bertanya-tanya.
Dia lantas menuang kembali air hangat ke dalam gelasnya. Sambil meneguknya sambil matanya melihat kembali ke arah kamar Arsia. Salim menyadari bila waktu baru saja berlalu beberapa detik tapi menunggu Behram untuk menyelesaikan tugasnya serasa waktu telah berlalu berjam-jam.
'Apa aku masuk saja?', pikirnya.
Salim kembali mengetuk-ketukkan jemarinya ke atas meja. Dia mempertimbangkan keinginannya itu. Seperti yang kerap terjadi, keinginan yang membuncah lama-kelamaan berubah menjadi dorongan yang tak bisa ditahan. Lalu begitulah Salim akhirnya meninggalkan kursinya dan melangkah ke kamar Arsia.
Awalnya dia hanya berniat untuk memastikan apa yang terjadi di sana tanpa perlu masuk. Kalau dia masuk, dia yakin Arsia takkan bicara. Jadi dia hendak menunggu di depan pintu saja. Sayangnya baru saja dia sampai di depan pintu, terdengar pergerakan dari dalam yang dikenanya sebagai langkah kaki Behram. Salim pun secepat kilat kembali ke ruang makan.
Salim kembali duduk di tempatnya semula. Dilihatnya Behram yang baru saja keluar dari kamar Arsia. Wajah pelayannya itu datar-datar saja seperti biasanya. Tipe wajah yang sulit untuk dideteksi apakah pemiliknya membawa kabar baik atau buruk.
Salim lalu memindahkan tatapannya pada Arsia yang mengekor di belakang Behram. Gadis itu berjalan sembari menundukkan kepalanya, tampak tebawa oleh pikirannya sendiri. Ketika Arsia mengangkat kepalanya, pandangan mereka pun bersirobok tanpa dapat dihindari. Salim tidak berusaha untuk menghindar namun Arsia dengan segera membuang mukanya. Gadis itu pun langsung berbalik arah dan masuk kembali ke kamarnya tanpa mengatakan apapun.
'Ada apa dengannya?', Salim penasaran melihat keanehan sikap Arsia itu.
Behram yang menyadari kepergian Arsia menghentikan langkahnya. Dia menatap pada Arsia yang memasuki kamarnya lalu pada Salim yang sepasang matanya tak lepas dari gadis itu. Keningnya sedikit berkerut menyaksikan keanehan kedua insan tersebut, terlebih Arsia yang sangat jelas terlihat menghindari Salim.
'Apa jangan-jangan Yang Mulia...', Behram tiba-tiba teringat perkataan Arsia tadi -- penyebab gadis itu menolak menikah dengan Salim.
'Ah, tidak mungkin', Behram lalu menepis pikirannya tersebut. Dia tidak sampai hati memikirkan kemungkinan bila tuannya itu telah menyentuh Arsia atau semacamnya. Meskipun semalam dia merasa janggal karena Salim tak kunjung keluar dari kamarnya saat mengambil baju gantinya.
'Yang Mulia Salim seorang pria yang terhormat. Kalaupun beliau menginginkan Nona Arsia sudah pasti akan melalui cara yang terhormat juga', Behram meyakinkan dirinya.
"Behram, ikut denganku!" Salim memanggil.
"Baik, Yang Mulia," jawab Behram dengan menganggukkan kepalanya. Dia lalu mengikuti Salim ke kamarnya.
"Bagaimana? Apa yang dia katakan padamu?" tanya Salim tidak sabar begitu Behram menutup pintu kamarnya.
"Nona Arsia menyukai lelaki lain, Yang Mulia," Behram memberikan informasi yang paling dramatis terlebih dahulu. Sebenarnya Behram merasa tidak perlu untuk memberitahukannya karena sudah pasti tuannya takkan senang mendengarnya. Tetapi dia tidak ingin menyembunyikan detail apapun dari Salim.
"Hah! Sudah kuduga! Jadi karena itu dia merencanakan semua ini?" respon Salim, berbicara dengan dirinya sendiri. Ingatannya kemarin saat mendengar suara lelaki itu membuatnya kesal seketika.
Salim lantas menatap pada Behram. Bertanya, "Siapa orangnya?"
"Nona Arsia tidak mengatakannya, Yang Mulia," jawab Behram apa adanya.
"Dia menyembunyikannya? Begitukah?" balas Salim. Saat ini dia bertanya seolah yang di hadapannya adalah Arsia dan bukan Behram.
Sikap Salim tersebut tentu saja tidak luput dari perhatian Behram. Membuatnya merasa asing karena sebelumnya Salim tidak pernah bersikap seperti ini.
Behram sendiri bukannya tidak ada ide mengenai perubahan sikap dan sifat tuannya tersebut. Dia hanya tidak ingin langsung menyimpulkan.
'Bukankah mereka baru bertemu kemarin? Sebenarnya apa yang ada dalam benak Yang Mulia?', batin Behram.
"Maaf, Yang Mulia... Nona Arsia bilang untuk tidak membicarakan sesuatu yang tidak akan terjadi."
"Baguslah. Jadi dia paham," Salim mengangguk-anggukkan kepalanya dengan posisi berpikir. "Lalu apakah kau berhasil membuatnya menolakmu?" tanyanya kemudian.
Behram terdiam sejenak. Dia ingat ucapan Arsia dan itu membuatnya agak ragu untuk memberikan jawabannya. "Itu... Sepertinya hanya Anda yang dapat melakukannya, Yang Mulia."
"Maksudmu?"
Behram memandang Salim. Dia lalu mendekat ke Salim. Meskipun tidak ada orang lain selain mereka di sana, tetap saja Behram merasa harus memberitahukan hal tersebut secara rahasia. Dia pun berbisik, "Nona Arsia takut pada Anda, Yang Mulia. Sebabnya karena Anda masih muda dan bergairah."
Tentu saja Salim terkejut bukan main mendengarnya. Dia secara spontan langsung menjauhkan dirinya dari Behram. Sepasang mata chartreuse-nya mengamati Behram, memastikan keseriusan ucapan pria itu barusan.
"Kau yakin dia berkata begitu?" Salim memastikan.
Behram mengangguk. "Sangat yakin, Yang Mulia."
"Jadi karena itulah dia memilihmu? Dia takut aku akan menyentuhnya. Begitukah?" Salim menyimpulkan.
"Anda yang lebih mengetahuinya, Yang Mulia. Saya tidak berhak menyimpulkan," ucap Behram dengan wajah menunduk hormat. Behram tidak ingin melewati batasannya. Bagaimanapun tuannya dan Arsia akan menikah. Bagaimana bisa dia merasa memiliki hak untuk menyimpulkan sesuatu yang berkaitan dengan calon urusan ranjang keduanya?
Salim terdiam. Dia tenggelam dalam pikirannya sendiri. Arsia benar-benar membuatnya mati kutu. Jika Salim mengiginkan gadis itu untuk menikah dengannya itu artinya dia harus bisa meyakinkan Arsia bila dirinya takkan menyentuh Arsia.
'Apa aku bisa?', Salim bertanya pada dirinya.
Bukannya tanpa alasan dia mempertanyakan dirinya sendiri. Kejadian semalam di kamarnya dan pagi tadi lah yang membuatnya begitu. Dia serius saat mengatakan pada Arsia bahwa dirinya adalah pria normal.
Dia bereaksi saat melihat Arsia tertidur di peraduannya.
Dia bereaksi saat gadis itu menjatuhkan benda keramatnya di dekat 'barang berbahaya'-nya.
'Sepertinya akan sulit', pikirnya, masih bimbang menentukan langkah apa yang harus dilakukannya.
"Yang Mulia, bolehkah saya bertanya sesuatu pada Anda?" Behram bertanya. Menyela Salim dengan pikirannya.
"Tanyalah," Salim memberikan izin.
"Maaf jika pertanyaan saya ini lancang, Yang Mulia. Tapi apakah Anda akan menganggap pernikahan dengan Nona Arsia sebagai pernikahan sungguhan?"
Salim memandang Behram. Dia paham ke mana arah pembicaraan pelayannya itu.
"Aku serius dengan pernikahan ini, Behram. Aku menginginkannya," tegasnya.