Siluet pagi menempa tubuh kekar berkeringat yang sedang melintasi perkebunan warga desa Welasti. Bukan sekedar lari pagi, Sander juga ingin melihat kehidupan warga desa itu dari jarak yang lebih dekat. Sangat aneh karena sebagian besar warga desa itu adalah wanita.
Hijau perkebunan berpadu dengan udara dingin membawa kesejukan. Namun semua terasa misterius, wajah-wajah wanita tua yang berjalan menuju tempat mereka akan memeras peluh pun terlihat tidak bahagia.
"Ayo lekas Mbak! Sudah sejak tadi darahnya banyak sekali!" terdengar suara gaduh beberapa wanita yang berjalan cepat. Wajah-wajah panik ketakutan terlihat jelas di sana.
Mereka berjalan berlawanan arah dengan Sander. Satu di antara tiga wanita itu adalah gadis yang kemarin dilihatnya di rumah Ganda. Suasana pagi di desa itu tampak sepi, sejak tadi hanya beberapa kali Sander berpapasan dengan orang di jalan ini.
Sekilas gadis yang berjalan di tengah, menoleh ke arah Sander dalam beberapa detik dia memperlambat langkahnya. Mengerling sinis pada Sander dengan wajah menantang.
"Mbak Wuri! Ayo cepat, kasihan Maryani keburu kehabisan darah nanti!"
"Iya! Iya!" gadis itu pun kembali berjalan cepat mengikuti dua wanita yang sejak tadi bersamanya.
Tatapan Sander mengikuti langkah gadis itu. Sejenak dia berjalan mundur untuk melihat ke arah ketiga gadis itu. Ada heran di hatinya, kenapa gadis itu memberikan tatapan seolah sangat membencinya. Bukankah mereka bahkan tidak pernah bertegur sapa?
Sander mengangkat bahu dan kembali berlari menuju rumah yang dia tinggali. Sesampainya di depan rumah, aroma sedap menyambutnya. Aroma yang berasal dari jendela rumahnya yang terbuka. Perlahan dia membuka pintu dan tepat seperti dugaannya.
"Ratna, sedang apa kamu di sini?"
"Menyiapkan makanan untuk Tuan. Karena Tuan tidak mengizinkan saya menginap jadi terpaksa saya harus bolak balik setiap pagi dan sore."
Kata-kata Ratna menyiratkan seolah ada kewajiban yang harus dia lakukan. Sander duduk di kursi makan, aroma sedap masakan dan kepulan hangat nasi baru matang membuat perutnya mulai menggeliat.
"Mau makan sekarang, Tuan?"
"Ya, aku akan mandi nanti saja setelah makan."
Ratna dengan cekatan dan wajah ceria bergegas menyiapkan sebuah piring untuk Sander dan menyendokkan nasi. Gerakan Ratna gemulai dan menggoda. Beberapa kali gadis belia itu menundukkan tubuhnya dengan berlebihan dan sengaja.
Rok pendek jauh di atas lutut berpadu padan dengan baju tanpa lengan, berkerah sangat rendah memperlihatkan sebagian dadanya. Meski begitu, Ratna tetap tidak terlihat seksi. Tubuhnya belum tumbuh dengan sempurna, penampilan terlalu dewasa yang berlebihan justru membuatnya terlihat aneh.
Sander menggelengkan kepala dengan gerakan Ratna yang dibuat-buat.
"Ratna, duduklah!" perintah Sander dingin.
"Di kursi atau di pangkuan anda, Tuan?"
"Di kursi, duduklah dengan normal dan mari kita makan dengan cara yang biasa."
Ratna tampak tersipu dengan penolakan halus dari Sander. Wajahnya merona merah jambu. Jauh di dalam hatinya dia merasa Sander tidak tertarik dengannya.
'Benarkah yang selama ini orang-orang katakan tentang dirinya?' selintas tanya yang coba dia tepiskan justru datang bersamaan.
Sander mulai menikmati makanannya. Wajah Ratna yang semula ceria terlihat keruh. Ada sedikit rasa bersalah di hati Sander karena telah mematahkan semangat gadis kecil di hadapannya.
"Berapa usiamu, Ratna?"
"Dua puluh, Tuan."
"Ratna, aku bertanya usiamu bukan usia kakakmu."
Ratna berhenti menggerakkan sendok yang baru saja hendak menuju ke mulutnya. Tenggorokan Ratna tercekat, dia meraih air putih hangat yang menunggu di meja.
"Usiaku dua puluh tahun, Tuan."
"Hmm … kau masih sekolah?"
Ratna menggeleng perlahan. Meski makanan terus dia suapkan ke mulut namun sesungguhnya semua itu mulai tanpa rasa. Menutupi gugup yang mencengkeram hati terdalam. Pertanyaan Sander bagai mengulik apa yang selama ini Ratna pendam. Membiarkan mimpi menjadi tetap mimpi di dalam hati.
"Apa pekerjaan orang tuamu?"
"Ibuku bekerja di salah satu kebun Tuan Ganda dan ayahku … ayahku,…." Ratna memutuskan untuk berhenti meneruskan kalimatnya.
Sander tidak memaksa, mendengar Ratna memutuskan penjelasan begitu saja sebenarnya membuat dia semakin penasaran. Satu Ratna akan menjadi kaca mata bagi Sander untuk melihat desa itu seluruhnya.
'Perlahan! Kau sudah mendapat kuncinya, hanya perlu tahu cara menggunakannya.' Begitu pikir Sander.
"Tuan, anda ingin menambah makanan?" tanya Ratna setelah melirik piring kosong di depan Sander.
"Tidak, makanan desa ini memang enak. Tapi perutku sudah penuh terisi sekarang."
"Baiklah, aku akan membereskan semuanya. Lalu anda bisa memberiku tugas selanjutnya." Kali ini Ratna menggunakan suara dan gerakan yang biasa. Tidak lagi mendayu menggoda.
"Apa kau biasa melakukan ini untuk semua tamu yang datang di desa?"
"Ini adalah desa wisata, Tuan. Lokasi kami terpencil, tentu saja para tamu akan membutuhkan bantuan. Kami membantu, mereka senang dan kami mendapatkan uang."
"Tapi aku tidak pernah memberikan uang padamu. Apa aku perlu membayarmu nanti? Kau tidak membicarakan tentang itu sejak pertemuan kita kemarin."
"Aku akan mendapatkan bayaranku dari Tuan Ganda. Biasanya tamu akan memberiku tips tambahan, tapi sepertinya kali ini anda tidak akan memberiku sama seperti yang lainnya."
Suara Ratna bukan hanya kecewa, gadis itu hampir menangis saat melotarkan kata-katanya. Getar takut dan khawatir mengiring setiap kalimat yang keluar dari mulutnya.
"Aku akan memberikanmu tips nanti, kau jangan khawatir."
Ratna membalikkan tubuhnya, tersenyum riang dengan wajah sumringah. Dia mengeringkan tangannya dan bergegas mendekati Sander. Memeluk Sander dari belakang dan mulai mengecup daun telinga Sander.
"Aku tidak akan mengecewakanmu, Tuan."
Sander terkejut dengan apa yang Ratna lakukan. Segilanya Sander dalam memperlakukan wanita, kali ini Sander memilih untuk menolak Ratna. Hati terdalamnya merasakan perih karena apa yang Ratna lakukan.
Perlahan Sander melepaskan tangan Ratna yang melingkar di lehernya dari belakang. Lagi-lagi Ratna merasa kecewa dengan penolakan Sander. Tanpa kata Sander melangkah ke kamarnya dan segera kembali dengan sebuah kaos berwarna putih juga beberapa lembar uang kertas ratusan ribu.
Butiran air mata telah mulai jatuh di wajah Ratna menyebabkan beberapa goresan hitam dan bedak yang berlebihan turut luntur dalam alirannya. Dengan hati iba, Sander mengambil tangan mungil Ratna. Menyerahkan kaos putih dan juga beberapa lembar uang ratusan.
"Ambil ini, lain kali kalau kau datang kemari gunakan baju seperti ini dan celana panjang. Tidak perlu menggunakan make up dan lipstik tebal."
"Ta-tapi Tuan, Tapi … Tuan Ganda akan memarahi saya."
"Bilang saja, kau melakukan atas permintaanku."
"Lalu uang ini?"
"Itu adalah tipsmu. Kau boleh datang kapan pun termasuk mengurus makanan dan baju-bajuku juga membersihkan rumah. Tapi ingat dengan baju seperti ini ya,"
Sander menunduk untuk melihat kedua mata Ratna yang tertunduk melihat ke arah lantai. Gadis itu hanya setinggi dada Sander.
"Sekali lagi aku bertanya, berapa usiamu, Ratna?"
"Lima belas, Tuan." Ratna menjawab lirih nyaris tidak terdengar.
Sebuah bom 'meledak' di kepala Sander!