Darah mengalir deras di antara dua kaki Maryani membuat para wanita yang ada di sana bergidik ngeri. Bukan proses kelahiran biasa, pendarahan hebat Maryani alami karena kehamilannya bermasalah.
"Cepat! Bilang Pak Ganda, kita perlu mobil untuk membawa Maryani ke rumah sakit!" Wuri berteriak entah pada siapa. Karena setelahnya semua mata yang ada di sana hanya saling menatap tanpa bergeming. Menghadap Ganda adalah hal yang dihindari setiap orang di desa Welasti.
"Cepat!!!" Sekali lagi Wuri berteriak pada siapa pun yang ada di sana.
Seorang ibu tua berusia lima puluh tahun bergerak meninggalkan rumah Maryani menuju rumah Ganda. Langkahnya tergesa, mengejar waktu untuk menyelamatkan nyawa seseorang.
"Pak Ganda! Pak Ganda! Pak Ganda!" belum lagi memasuki halaman rumah Ganda pun suaranya sudah nyaring terdengar.
Mengalihkan perhatian Sander yang sedang berbincang dengan Ratna. Keduanya beranjak ke jendela rumah, kali ini Sander membuka sedikit saja hanya sekedar bisa melihat dan mendengar apa yang terjadi di luar sana.
"Apa sih! Kamu ini teriak-teriak nggak karuan?!!!" Ganda mundul dari dalam rumah sambil menghardik wanita itu.
"Maryani perlu dibawa ke rumah sakit, Pak! Dia mengalami pendarahan hebat. Ayo Pak! Cepat keluarkan mobil dan bawa Maryani ke rumah sakit!"
"Kamu berani nyuruh saya?!" Ganda terlihat marah dengan apa yang wanita itu katakan.
Satu bentakan yang cukup untuk membuat wanita di hadapannya diam.
"Bukan begitu Pak … tapi kata Mbak Wuri, Maryani mungkin tidak selamat kalau,…."
"Halah! Wuri! Wuri lagi! Kapan gadis itu akan berhenti membuat repot desa ini! Kalau bukan karena kita membutuhkan dia, rasanya sudah ingin kemusnahkan saja wanita itu!" Ganda menggeram marah dengan mata melotot tajam.
"Darmin! Siapkan mobil, bawa Maryani ke puskesmas tepi desa!"
"Baik Bos!"
Pria bernama Darmin yang berdiri di belakang Ganda pun bergegas masuk dan kembali lagi, langsung menuju salah satu dari tiga mobil jeep yang terparkir di halaman rumah Ganda.Tidak seperti biasa semua mobil itu masih ada. Biasanya sejak pagi buta mobil-mobil itu sudah akan mulai beroperasi keluar masuk desa.
Sementara wanita tua itu tergopoh keluar dari halaman rumah Ganda. Kembali ke arah jalan dia datang
Sander menutup daun jendela dan kembali duduk di meja makan. Pikirannya mulai merangkai satu per satu yang dilihatnya. Ratna duduk di hadapan Sander dengan wajah pucat pasi.
"Kau kenapa?"
"Ti-ti-tidak Tuan. Aku hanya takut."
"Apa yang kau takutkan? Apa aku menakutkan?"
"Bukan anda, tapi … wanita bernama Maryani yang mereka bicarakan itu adalah sahabatku."
"Apa yang terjadi dengannya? Wanita itu mengalami pendarahan hebat, begitu bukan tadi aku mendengar wanita tua itu bicara?"
"Dia sedang melahirkan. Aku rasa Bidan Wuri sedang membantunya."
"Kau tenang saja, suami Maryani pasti melakukan yang terbaik untuk anak dan istrinya."
"Suami?" Ratna melotot dengan pandangan bingung, sedih dan takut ke arah Sander.
Menerima pandangan mata yang aneh, Sander pun mendadak kelu. Seolah dia telah salah melontarkan kata.
"Tentu saja suami. Semua wanita yang hamil pasti punya suami kan? Kenapa kau menatap seolah aku bersalah?"
Ratna menggeleng, air matanya berjatuhan. Bahu gadis itu terguncang. Sander mendekat padanya, duduk di samping Ratna.
"Kenapa Ratna? Kenapa kau sangat ketakutan? Kau ingin pulang?"
Alih-alih menjawab Ratna justru masuk ke dalam pelukan Sander. Menenggelamkan wajah di dada Sander dan meneruskan tangisnya. Bingung dengan sikap Ratna, Sander hanya bisa memeluk gadis yang ada di hadapannya.
Aroma perpaduan kayu dan kopi dari parfum Sander membuat Ratna merasa masuk ke dunia lain yang belum pernah dia temui. Dia memeluk Sander makin erat. Tangisnya hampir hilang, tertinggal beberapa isakan. Namun Ratna tidak juga melepaskan pelukannya atas Sander. Ratna bahkan mulai mengecup manja leher Sander.
Menyadari gerakan gadis itu, Sander perlahan menarik diri.
"Ratna, maukah malam ini kau tinggal di sini bersamaku?" tanya Sander.
Wajah gadis di hadapannya merona bahagia. Ratna mengangguk dengan segera. Kali ini dia merasa menemukan pria yang berbeda. Sander tersenyum puas, ini adalah malam ketiga dia berada di desa ini. Artinya dia hanya punya empat malam lagi untuk menemukan kepingan pertama dari berita yang ingin dia tulis.
Sementara di rumah Maryani tangis pecah. Bayi yang dilahirkan gadis muda itu sehat dan selamat tapi sebelum Jeep dari rumah Ganda datang, Maryani sudah lebih dulu menghembuskan nafas terakhirnya.
Ibu dan adik-adik Maryani menangis di samping jenazahnya. Pengawal Ganda yang datang kemudian, masuk ke dalam rumah dengan raut wajah marah.
"Wuri! Ini karena saran bodohmu itu! Sekarang Pak Ganda tidak akan mengampunimu!"
"Ini karena kebodohan kalian! Hentikan semua ini, kalian berharap uang datang dengan mengorbankan hidup banyak orang! Kau dan Ganda yang bodoh!" Gadis bernama Wuri itu berteriak dengan berani pada pengawal Ganda.
Membuat semua orang yang ada di sana menahan nafas. Tidak ada yag meragukan keberanian Wuri, namun jika Darmin melepaskan tinju makan Wuri pasti terluka parah. Wuri menimang bayi Maryani di pelukannya. Sambil wajahnya terarah pada Darmin dengan mata melotot.
Rumah sederhana Maryani mulai ramai oleh kedatangan warga. Untuk mempersiapkan prosesi penguburan. Mereka menyaksikan Darmin dan Wuri tengah berhadapan dalam kondisi marah satu sama lain.
"Sudahlah Mang Darmin, Mbak Wuri, tidak baik ribut-ribut di depan jenazah." Seorang ibu paruh baya mencoba menengahi mereka.
Wuri mulai melemaskan wajahnya, dia melihat ke arah bayi yang ada di pelukannya. Menghampiri Ibu Maryani yang masih menangis bersama dua anaknya yang lain. Dua adik Maryani yang berusia lima dan sepuluh tahun.
"Ibu, apakah Ibu akan merawat bayi ini atau,…."
Ibu Maryani menggeleng bahkan sebelum Wuri menyelesaikan kalimatnya. Tangannya bergetar meraih bayi yang ada di pelukan Wuri. Mengusap pipinya dan mencium keningnya penuh kasih sayang. Bayi mungkil itu kembali diserahkan pada Wuri.
Anggukan ibu Maryani memberi kode pada Wuri untuk bergegas. Bayi itu butuh pertolongan dengan segera. Ketidakberadaan ibunya akan membuat bayi itu terancam kelaparan. Wuri melihat bayi itu dan sekali lagi menoleh pada jenazah Maryani yang telah tertutup kain.
Seperih sembilu menusuk di hati Wuri. Andai bisa dia ingin membuat semuanya tidak terjadi. Membawa kembali nyawa Maryani yang telah mati. Melihat bening wajah polos tanpa dosa bayi yang ingin dicintai. Dua butir air mata yang berusaha turun segera Wuri seka. Dia mengangkat peralatan kerja dan tasnya. Sembari memeluk erat bayi Maryani bersamanya.
"Antar aku ke tempat biasa. Bayi ini harus segera di selamatkan!" perintah Wuri pada Darmin.
Dengan wajah kesal, Darmin mengikuti Wuri berjalan ke arah luar. Keduanya masuk ke dalam mobil jeep dan mulai melaju meninggalkan rumah Maryani menuju jalan keluar desa.