Sebuah tarikan nafas panjang dengan terdengar. Segera Sander beranjak untuk membersihkan diri di kamar mandi yang tersedia di sisi lain tempat itu.
Tempat yang menyerupai kamar, dengan sebuah ranjang berukuran sedang. Sisi depan ranjang ada lemari dengan ukuran tidak besar. Lemari geser yang berisi beberapa baju Sander. Lalu di sudutnya ada sebuah kamar mandi.
Itu saja. Namun fasilitias seperti ini hanya ada di ruangan Sander. Fasilitas yang merupakan persyaratan awal ketika perusahaan ini meminta Sander untuk bergabung. Sebuah ruangan eksklusif, dengan alasan pekerjaan yang menyita waktu dan pikiran. Seringkali Sander akan berada di ruangan itu berhari-hari dan melupakan apartemen pribadinya.
Ketika dia keluar, dilihatnya Lia masih tergolek manja di ranjang tempat mereka baru saja menyelesaikan 'adegan'.
"Pergilah Lia!" perintahnya dingin.
"Sander … kenapa kamu selalu memintaku untuk pergi dengan segera. Biarkanlah aku disini beberapa saat mengembalikan energi."
"Pergi, Lia!" sekali lagi perintah dingin datang dari Sander yang telah kembali rapi dan bersiap untuk melanjutkan pekerjaan.
Lia menggerutu dan segera memakai pakaiannya. Dia keluar ruangan Sander dengan menenteng kedua sepatu hak tinggi berwarna hitam. Bagi Lia, Sander sangat menyebalkan. Meski dia tahu bahwa hubungan mereka hanya tentang hasrat namun, sikap Sander yang seolah jijik setelah dekat dengannya itu sangat mengganggu.
Dan itu memang nyata Sander rasakan. Dia menganggap semua perempuan sama. Mereka hanya tentang harta. Kalau pun ada yang menginginkan cinta, maka perlahan tapi pasti wanita itu akan 'membunuh' prianya. Membunuh hatinya, kebebasan dan hidupnya.
Begitulah yang Sander yakini sejak apa yang Arinda lakukan terhadapnya. Sekarang tidak ada lagi yang Sander percayai selain karir dan harta. Dua hal yang membuat Sander bisa diterima oleh siapa pun. Demi dua hal itu, Sander rela mengorbankan semua yang dia miliki termasuk cinta dan hati.
Sander kembali duduk di kursi kerjanya.
'Jika bukan karena Lia memakai rok di atas lutut dan berjongkok mengambil sesuatu di kolong mejanya dua jam lalu, pasti semua dokumen ini sudah selesai sekarang. Dasar Lia! Dia selalu tahu titik lemahku!' Sander mengumpat dalam hati.
Kringgg! Kringgg!! Kringggg!!!
Telepon di meja Sander berbunyi.
"Aku sedang melengkapi semua dokumen dan data yang kamu butuhkan. Kapan kau akan pergi?"
"Besok lusa. Dan cukup kamu yang tahu tentang hal ini. Jika yang lain bertanya, katakan aku sedang berlibur keluar kota."
"Ok, perlu seseorang bersamamu?"
"Hmm … sementara ini tidak. Dengan cara bagaimana aku bisa memasuki desa itu?"
"Aku sudah mengatur semuanya, sesuai dengan data dan info yang kita dapatkan. Sebaiknya kamu berhati-hati. Jika mereka tahu tujuan utamamu, aku pastikan kamu tidak akan bisa keluar dari desa itu dengan selamat."
"Sediakan uang tunai lima puluh juta. Aku rasa mesin ATM tidak tersedia di desa itu. Uang akan membuat aku aman. Semua yang berbentuk ancaman akan teredam oleh uang."
"Ah! Selalu saja itu senjatamu!"
Dalu mematikan sambungan telepon.
Sander tersenyum kecut. Entah bagaimana dengan banyaknya perbedaan antara dia dan Dalu tapi mereka bisa menjadi sahabat. Dalu seringkali menjadi peredam saat Sander sudah mulai larut dalam ambisinya. Meski kadang nasehat Dalu bagi Sander tidak berguna.
Kegiatan bersama Lia membuat Sander sedikit kehabisan energi. Dia menggosok wajah tampannya dengan kedua tangan. Wajah Eropa dengan hidung mancung dan mata kebiruan. Ia memaksa dirinya bekerja, semua dokumen itu hanya Sander yang berhak menandatangani.
Matanya berhenti pada sebuah artikel yang membuta kritikan tajam terhadap seorang Menteri. Disertai beberapa bukti yang mengejutkan. Matanya menyipit. Ah! Dia lagi!
Sander mengangkat telepon yang terhubung dengan ruang Jurnalis.
"Calista! Masuk ke ruanganku sekarang!"
Seorang gadis berambut cepak dengan celana Jeans dan kemeja putih masuk ke ruangan Sander tanpa mengetuk pintu.
"Kebiasaan! Lain kali ketuk pintu dulu. Mana tahu aku sedang telanjang di dalam ruangan!" komplain Sander pada gadis yang berdiri di hadapannya.
Tanpa diminta, Calista duduk di hadapan Sander. Menyilangkan sebelah kaki yang memakai sepatu kets keluaran terbaru.
Sander memijat kulit diantara dua matanya, melihat kelakuan Calista selalu berhasil membuatnya sedikit pening. Calista satu-satunya Jurnalis yang tidak pernah berhasil untuk Sander kelabuhi dengan ketampanan. Dia lolos menjadi Jurnalis di Media Terkini karena kemampuannya mengulik berita dengan sangat cerdas.
"Sekali lagi, berita yang kamu hadirkan ini memang luar biasa. Tapi akan ada konsekuensi dari apa yang kamu tulis ini."
"Biarkan aja, toh faktanya memang begitu!" ucap Calista ketus.
"Kamu siap dengan resiko teror seperti biasa?" tanya Sander dengan mata menyipit ke arah Calista.
"Hei, Bos. Sejak kapan Jurnalis takut dengan teror. Anda sendiri selalu meminta kami untuk menyajikan fakta. Ya sudah kita hadapi saja dengan berani."
"Ok!"
Sander lalu menandatangani surat perintah penerbitan untuk berita seorang Menteri yang dibuat Calista.
"Buat lanjutannya. Pembaca bukan sedang ingin melihat 'kembang api'. Mereka ingin melihat sampai ke 'sumbu dasar'. Bulan ini, tugasmu fokus pada berita ini saja. Berita ini akan menjadi pendongkrak Media Terkini sebagai pemilik informasi terdepan."
Sander menyodorkan setumpuk dokumen pada Calista.
"Bawa keluar semua ini!"
Tanpa bicara Calista menerima dokumen dari Sander dan berdiri untuk melangkah keluar. Belum lagi Calista mencapai pintu, Sander telah memanggilnya.
"Calis!"
Gadis tomboy itu menoleh,"Ya, Pak."
"Besok lusa aku akan pergi ke desa yang kemarin kita bahas. Misi ini rahasia. Hanya kamu dan Dalu yang tahu. Selama aku pergi, semua kuasa tanda tangan dan izin penerbitan akan aku alihkan pada kalian berdua. Tolong bantu Dalu ya."
Calista termenung sesaat dan menghadapkan tubuh ke arah Sander.
"Haruskah anda yang pergi? Tidak bisakah Jurnalis lain melakukan tugas ini?" tanya Calista sinis.
"Kita sudah menunggu lebih dari satu tahun untuk mendapatkan berita tentang desa itu. Tapi faktanya tidak satu pun yang berhasil. Lagi pula sesekali editor turun tangan tidak masalah kan?"
Calista memonyongkan bibir dan mencoba beradu pendapat dengan Sander.
"Ya nggak apa sih. Hanya saja terasa bahwa di kantor ini tdak ada Jurnalis yang bisa diandalkan. Sebagai wartawan tentu saja saya sedikit kecewa. Boleh saya ambil tantangan itu?"
"Cukup Calista! Waktu untuk para wartawan sudah habis. Sekarang aku sendiri yang akan mendapatkan faktanya. Entah kenapa, tapi instingku mengatakan ada sesuatu yang disembunyikan dari desa itu. Mata jeliku pasti bIsa menangkap semuanya."
Calista mengangguk, memang Sander selalu bisa mengendus kebenaran di balik sebuah informasi yang dia terima. Tidak jarang sebuah berita kemudian mentah begitu saja di tangan Sander jika ternyata tidak sesuai fakta