Chereads / Cinta Arrogant Sang Editor / Chapter 2 - 2. Ambisi

Chapter 2 - 2. Ambisi

Hampir saja Dalu menabrak wanita cantik bertubuh seksi yang penuh dengan raut amarah keluar dari café miliknya. Wajahnya nampak berurai air mata dan kekesalan.

Dalu mengikuti dengan pandangan hingga gadis itu menghilang di balik pintu kaca. Lalu dia berjalan menghampiri sahabatnya.

"Suatu hari kau akan jatuh pada permainanmu," ujar Dalu dengan nada berhati-hati. Bukan kali pertama dia memberikan peringatan seperti ini.

Sander melirik tajam pada Dalu dari balik gelas yang sedang bertengger di mulutnya. Sayup-sayup alunan musik jazz memberi warna di siang Jakarta yang sangat terik. Namun dengan hebat Dalu memberikan sentuhan temaram di bagian dalam café ini. Kapan pun orang datang, mereka akan merasaka nuansa seperti malam hari.

Sementara bagian luar yang tidak terlihat dari tempat Sander duduk, adalah area bebas rokok. Ruangan terbuka dengan meja dan kursi kayu, kental dengan sentuhan etnik. Duduk di sana akan terasa seperti sedang di tengah perkebunan. Design yang kontras namun sangat indah di café milik Dalu.

"Kamu sedang menyumpahiku?" Sander menyahut seadanya.

"Ha … ha … ha …! Tentu saja tidak. Aku hanya memperingatkanmu. Lihat saja mereka yang kau lempar dengan kekecewaan. Mungkin saja kan suatu hari, satu dari mereka akhirnya berusaha menjatuhkanmu."

"Dalu, jangan bicara seperti orang bodoh. Dengan cara apa mereka akan menjatuhkanku? Mereka bahkan sudah terbuang sebelum masuk ke perusahaan ini."

Nada arogan Sander membuat Dalu hanya bisa tersenyum kecut.

"Setidaknya janganlah kau memanfaatkan mereka."

"Hey! Tuan sok tau, aku tidak memanfaatkan mereka. Mereka yang menerima tawaranku."

"Iya sih, betul. Tawaran yang lebih mirip iming-iming. Ha … ha … ha …!"

Sander tersenyum kecut, kembali menyecap kopinya yang mulai dingin. Café milik Dalu yang terletak di under ground gedung Media Terkini adalah sebuah ide bagus. Selain lahan bisnis baru untuk Dalu, juga menjadi tempat aman bagi Sander untuk bertemu orang-orang tertentu. Beberapa diantaranya adalah gadis calon jurnalis yang berakhir kecewa.

"Sebetulnya, aku serius dengan tawaranku. Jika mereka memang berpotensi untuk menjadi Jurnalis, aku akan meloloskan mereka."

"Sayangnya standarmu terlalu tinggi!"

"Hmm … ya betul. Tapi standar tinggi itu yang membuat karirku melejit, berlimpah materi dan perusahaan ini menjadi yang terbaik di antara perusahaan media lain di Indonesia."

Dalu mengangguk, setuju! Dengan sifatnya yang selalu menuntut kesempurnaan, Sander membuat setiap berita menjadi bukan sekedar berita.

"Dan aku rasa mata jeli editor sepertimu sudah tahu sejak goresan pertama seorang Jurnalis. Apakah dia akan diterima atau tidak, betulkan?" ujar Dalu mengejar jawaban pasti dari Sander.

Sander tersenyum misterius,"kau tahulah keahlianku."

"Kamu menawarkan peluang untuk mengambil sebuah peluang. Aku benar kan?"

"Jangan terlalu serius Bro! Kerjaanku menuntut waktu yang sangat banyak, pikiran dan totalitas. Sesekali aku ingin bersenang-senang its ok lah!"

Dalu menggosok kepala bagian belakangnya, dia tidak akan pernah menang beradu argumen dengan Sander. Meski kadang kala Dalu merasa kasihan pada gadis-gadis muda itu. Mereka berharap menjadi jurnalis hebat dengan bimbingan seorang editor senior seperti Sander.

Nyatanya banyak dari mereka yang hanya jatuh di tempat tidur Sander lalu dibuang seperti benda tidak berharga. Dengan dalih persetujuan, Sander merasa sah saja menikmati permainannya.

"Punya pacar akan jadi pilihan yang baik untukmu," ujar Dalu dingin.

"Kalau aku bisa mendapatkan apa yang aku mau tanpa komitmen, kenapa harus repot."

Sander mulai gerah dengan berbagai nasehat dari Dalu. Seperti biasa, Dalu adalah sahabat yang sangat mengerti dirinya namun dalam hal pribadi pandangan mereka sangat berbeda. Hidup Dalu cenderung sesuai jalur. Dia memiliki kekasih yang sebentar lagi akan segera menjadi istrinya.

Sementara Sander, setelah tiga tahun lalu. Luka sayatan itu seolah masih terasa. Luka dan rasa sakit itu akan menjadi simbol sebuah pengkhianatan. Seorang wanita yang berani mengkhianati cinta Sander. Dan bahkan merendahkan pencapaiannya sebagai editor terkaya di Indonesia.

Membuatnya berjanji, bahwa tidak ada wanita yang layak untuk dicintai!

Sander meneguk tetes terakhir kopinya dan berdiri,

"Kita kembali ke ruangan. Aku ingin membicarakan denganmu rencana kepergianku untuk mendapatkan berita itu!"

Nada instruksi dingin terdengar jelas di suara Sander. Sebagai pimpinan, ketegasan dan kebijakan Sander tidak perlu diragukan.

Beberapa menit kemudian mereka sudah duduk di ruang meeting besar yang modern dengan berbagai perlengkapan canggih. Monitor seukuran papan tulis kelas, digital OHP, bluetooth digital printer serta peralatan modern lainnya.

Meja kaca panjang dengan dua puluh empat kursi di sisi kanan dan kirinya. Juga dua kursi besar di setiap kepala meja. Sander duduk di sana untuk mendapatkan informasi tentang berita yang selama satu tahun terakhir berusaha mereka pecahkan.

"Mulailah!" perintahnya pada Dalu.

"Baik, Pak. Seperti yang pernah saya katakan pada anda bahwa desa itu terletak di pedalaman Jawa Barat. Tidak ada akses jalan raya atau kendaraan roda empat ke sana. Penghuninya kurang lebih lima ratus kepala keluarga."

"Berhenti!" Sander terdiam untuk mulai menganalisa. Dia merasa penjelasan Dalu terdengar memiliki kejanggalan.

Dalu menghentikan semua penjelasannya. Meski dia adalah sahabat Sander namun dalam pertemuan resmi, Dalu akan bersikap sebagai bawahan. Dia adalah asisten kepercayaan Sander. Hubungan profesional tetap mereka perlihatkan di depan karyawan lain.

"Dengan lima ratus kepala keluarga tapi mereka tidak memiliki akses jalan? Apakah menurutmu ini tidak aneh? Jika rata-rata setiap kepala keluarga memiliki empat anggota, itu artinya desa itu memiliki dua ribu jiwa." Analisa mendasar yang begitu dalam, langsung saja Sander kemukakan.

Semua orang mengangguk setuju, memang terdengar aneh!

"Memang aneh, Pak! Dan lebih aneh lagi karena dari seluruh penduduk yang ada di desa itu, jumlah pria sangat sedikit. Ada berita simpang siur tentang banyaknya wanita yang kehilangan bayi di desa itu," Dalu menanggapi.

Sander mengerutkan kening dalam. Semua orang menahan nafas dengan reaksi Sander. Ketika seorang Sander Brandt mulai serius, maka hampir bisa dipastikan keputusan yang dibuatnya akan di luar dugaan.

"Katakan, bagaimana penduduk di sana mendapatkan semua kebutuhan mereka jika memang seperti itu kondisinya?"

"Dari informasi yang didapat. Kepala desa itu memiliki tiga buah mobil jeep. Sesekali mereka yang memiliki uang bisa keluar dari desa itu dan melakukan transaksi dengan desa lain terdekat. Namun ada sebuah berita yang menurut saya agak janggal."

Dalu terlihat ragu untuk menyampaikan.

"Katakan!" Sander mulai tidak sabar.

"Beberapa pria asing datang ke desa itu, untuk tinggal beberapa malam di rumah yang telah di tentukan oleh kepala desa dan setelahnya mereka akan pergi. Tidak ada yang tahu apa kepentingan pria-pria itu. Mereka datang dengan mobil jemputan dari kepala desa dan pergi dengan cara yang sama."

"Terdengar semakin aneh. Di desa yang tidak jauh dari Jakarta ada tempat dengan hal-hal seperti ini. Jika kita berhasil memecahkan misteri dari desa ini, maka beritanya akan menjadi laris manis di pasaran. Kita akan jadi yang pertama!"

Semua orang bergidik melihat mata Sander yang berkilatan penuh ambisi.