Chereads / Iblis Manis / Chapter 8 - Bab 9 Obrolan Absurb

Chapter 8 - Bab 9 Obrolan Absurb

Sampai di lokasi Arka berdecak kesal karena ternyata Restu masih berbincang dengan klien. Ia tidak bisa langsung bergabung karena tidak ingin di anggap tidak sopan atau apapun itu. Baginya, menajaga nama baik dan harga diri di hadapan klien sangat penting. Sembari menunggu ia pun memesan makanan dan minuman lebih dahulu.

"Wih galau bener sahabat gue," ejek Adrian. Tak tanggung-tanggung ia pun langsung turut memesan makanan tanpa diminta.

"Lo bener-bener temen nggak tahu diri," decak Arka kesal, tapi tidak mencegah. "Kenapa bisa gue doang yang nggak tahu kalau Daren keluar kota?" tambahnya saat pelayan sudah tidak ada.

"Lo tuh kalo ditelpon suka nggak nyambung, Ka. Sedangkan Daren nggak suka basa-basi kalo urusannya penting," sahut Adrian yang sesekali menoleh untuk melihat Restu yang masih sibuk dengan klien.

Arka mengikuti arah pandang Adrian. "Tapi gue nggak ngerasa dia hubungi gue." Ia pun mencoba mengingat kejadian selama seminggu ini. Tidak mungkin ia salah ingatan.

"Atau mungkin dia emang nggak ngabarin lo," pututs Adrian kemudian. Ia masih setia menoleh ke arah Restu.

"Kenapa?" tanya Arka yang ikut memandang ke arah sahabatnya itu.

"Dari pagi mereka udah meeting sampe sekarang belum kelar." Adrian menghela napas usai mengatakan hal itu. Sedikit rasa kasihan dan bersalah pada asisten sekaligus sahabatnya itu.

"Emang kenapa sama klien itu?" tanya Arka yang turut penasaran setelah melihat ekspresi sahabatnya itu.

"Klien ini tuh paling rewel dan sangat detail tentang apapun." Dan mengalirlah semua cerita Adrian tentang keunikan klien mereka yang satu itu sembari sesekali menatap wajah Restu yang tampak jengah tapi tidak bisa melakukan apapun. Ia mulai merasa ada yang tidak sehat dalam kerjasama mereka meskipun sangat baik jika klien memang sangat detail dengan kerjasama merekaa. Tapi, terkadang mereka juga hanya buang-buang waktu jika terus meladeni dengan pembahasan yang sama. Banyak pekerjaan Restu yang harus ditinggalkan hanya untuk klien mereka yang satu ini. Dan pembicaraan ini terhenti saat pelayan datang membawakan makanan. Adrian kembali menoleh ke arah Restu, tapi sebuah senyuman terbit saat melihat klien dan sahabatnya itu sudah berjabat tangan yang artinya pertemuan mereka selesai. Ia pun melambaikan tangan untuk mengisyaratkan keberadaan di ikuti Arka.

"Bisa mati muda gue kalo lo masih kerja sama ma mereka, Dri," dumel Restu saat sudah menghampiri kedua sahabatnya itu. Dengan tanpa permisi ia pun meneguk setengah minuman milik Arka yang jaraknya lebih dekat dengan posisinya duduk.

"Apaan deh? Itu minuman gue, Restu," gerutu Arka tapi tidak berniat mengambil kembali gelasnya.

"Haus gue, Ka," kilah Restu sembari tersenyum lebar. "Dri, besok-besok kalo harus ketemu klien itu kita berdua napa. Bosan gue harus jelasin hal yang sama beberapa kali biar dia ngerti," keluhnya kemudian kepada sang bos.

Adrian menghela napas pelan. "Iya nanti kita barengan aja. Gue kasihan lihat lo di kerjain habis-habisan kayak tadi," sahutnya menyetujui.

Suasana dilanjutkan dengan obrolan tentang hal lain. Tidak ada lagi yang membahas tentang pekerjaan. Adrian tahu jika Arka mengajak mereka bertemu pasti sudah terjadi sesuatu, jadi sebisa mungkin mereka harus tahu hal itu. Ia pun memancing Arka untuk bercerita dan mengalirkan alur kisah yang di awali lelaki itu di pembukaan hari. Adrian tahu Arka memang tidak ingin dipaksa menikah dengan Maira karena merasa kejadian di awal pertemuan mereka bukan sepenuhnya salah sahabatnya itu. Tapi, orangtuanya terus memaksa karena kejadian itu terjadi saat acara keluarga besar berlangsung. Keluarganya tidak ingin dianggap sebagai keluarga yang tidak bertanggungjawab apalagi beradab. Mereka sangat menjunjung tinggi harga diri.

"Jadi apa keputusan lo sekarang, Ka?" Restu bersuara lebih dulu. "Mengikuti perintah orangtua itu wajib kalo menurut gue," imbuhnya sebelum Arka sempat menjawab.

Arka menghela napas kemudian menatap kedua sahabatnya secara bergantian. "Kalau mau nolak gua kan harus ada alasan yang jelas," katanya. "Pacar gue nggak punya. Apalagi mau bawa perempuan yang pura-pura hamil biar batal gue nikah sama Maira," tambahnya.

"Nggak usah mikir yang aneh-aneh, Ka. Udah terima aja kenapa nikah sama Maira kan dia juga cantik," nasihat Restu yang didetujui oleh Adrian. "Lagian lo mau nyari yang modelan kayak siapa sih?" lanjutnya sembari menatap Adrian yang kali ini lebih banyak mendengarkan.

"Ya gue maunya yang seksi-lah. Masa yang modelan Maira. Udah tomboy nggak ada anggun-anggunnya," dumel Arka membuat Restu dan Adrian terkekeh pelan. "Kan lo pada ngakuin juga," sambungnya. "Menurut lo, kalo gue nikah sama dia malam pertama gue bakal aman nggak?" tanyanya kemudian membuat Restu dan Adrian kini diam.

"Maksudnya aman atau enggak?" Restu menatap heran pada Arka.

"Ya bakalan aman nggak kalau gue sentuh dia? Jangan-jangan gue ntar di kempo lagi." Tawa Adrian dan Restu membuat Arka mengumpat kesal setelah mengatakan hal itu. Ia tidak menyangka jika kedua sahabatnya itu justru akan tertawa jika sudah mendengar pemikirannya.

"Otak lo kok kotor banget sih, Ka? Ngapain lo mikir sejauh itu? Kan lo nggak mau nikah sama dia," kata Restu sembari menahan tawa agar tidak kembali menguar.

"Kan gue menganalisa. Kalau nggak aman ya gue nggak maulah nikah sama dia," bela Arka. Ia hanya mencoba untuk realistis dalam berpikir.

"Analisa lo sama sekali nggak masuk di akal," cibir Adrian yang tidak setuju dengan hal itu. "Gue rasa Maira itu manis sikapnya," tambahnya.

"Dari mana lo tahu? Tiap hari aja gue diketusin," kilah Arka tak terima sahabatnya justru memihak pada Maira.

"Dia ketus sama lo karena lo juga ketus sama dia. Jadi kalian impaslah," bela Restu yang membuat Arka berdecak kesal.

"Sayangnya gue nggak akan terpengaruh apapun sama yang lo bilang." Arka berkata sembari menatap sinis kedua sahabatnya yang tampak acuh. Ia pun mengedarkan pandang demi menghindari perbincangan yang sama. Untuk mencari topik lain ia belum ada jadi lebi baik berpura-pura melihat sesuatu lebih aman. Aman? Ah tidak. Matanya menangkap sosok yang sangat dikenali sedang duduk berdua dengan laki-laki sembari sesekali tertawa. "Lo lihat deh kesana," katanya pada kedua sahabatnya. Ingin menunjukkan apa yang baru saja tertangkap oleh indera penglihatannya.

"Itu Maira?" tanya Restu tidak percaya. Ada gadis cantik dengan rambut setengah tergerai sedang tergelak tawa bersama seorang laki-laki. Ini tempat umum memang, tapi rasanya sungguh mustahil.

"Bagus. Pamit kuliah tahunya mojok disini," kata Arka yang terdengar sangat ketus ditelinga Adrian dan Restu yang kini saling pandang.

"Samperin aja, Ka," usul Restu membuat Adrian melotot tajam padanya.

"Kalo mereka ribut lo gue gantung disini," bisik Adrian agar tidak terdengar oleh Arka yang masih tak mengalihkan pandangan. "Dia lagi cemburu apa gimana sih?" tanyanya kemudian.

"Mana gue tahu," ketus Restu yang kesal karena ancaman bosnya itu.

"Lo nggak mau nyamperin, Ka?" Restu benar-benar ingin di hajar. Bahkan Adrian sudah menggulung lengan kemejanya sebatas siku untuk mempermudah gerakan tangannya jika hal itu memang harus dilakukan.

"Nyamperin siapa?" tanya Arka yang sudah mengalihkan pandangan pada gelas minumnya yang ternyata sudah kosong. Ia menatap tajam Restu yang hanya menanggapinya dengan cengiran halus. "Dasar kere, lo," makinya membuat Restu kali ini terkekeh pelan.

"Gue haus nemenin ngobrol tapi lo-nya nggak peka," cela Restu yang akhirnya membuat Arka menghela napas pelan.

"Di gaji berapa sih lo sama Adrian? Pindah aja ke kantor gue gajinya 2 kali lipat lebih gede," ejek Arka membuat Restu dan Adrian mengumpat pelan karena tidak terima. Sedangkan dia sendiri sudah tidak peduli.