Almaira sedang membersihkan ruang tengah setelah selesai menyiapkan sarapan. Pagi ini ia sengaja bangun lebih pagi karena harus kuliah. Witari tetap mendukung Maira, bahkan ibu paruh baya yang masih terlihat cantik itu tidak mengijinkan Maira bekerja jika harus kuliah. Tapi Maira merasa itu tidak akan adil untuk karyawan yang lain. Jadi ia akan membantu sebisanya hingga jam berangkatnya datang.
"Kamu pulang jam berapa hari ini Mai?" tanya Witari yang baru saja keluar dari kamar.
"Jam 5 Nyonya," jawabnya mantap.
"Nanti biar saya sekalian jemput kamu. Soalnya saya ada arisan di deket situ," kata Witari membuat Maira diam. Meresapi ucapan majikannya barusan.
"Ndak usah Nyonya. Saya ndak mau merepotkan," jawab Maira segera karena merasa tidak enak.
"Nggak apa-apa kan sekalian saya selesai. Lagian Arka nggak akan mau jemput kamu juga," jawab Witari meyakinkan. Ia tidak sadar jika sudah membuat Maira kebingungan.
"Kok Den Arka Nya?" tanya Maira akhirnya. Gadis itu sampai menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengepel.
"Iya. Kamu sekarang jadi tanggung jawab Arka setelah dia cium kamu tempo hari," jelas Witari membuat Maira semakin tidak mengerti.
"Nya, kemarin itu ndak sengaja. Den Arka kan didorong sama Den Daren," Maira mencoba menjelaskan sekali lagi tentang eadaan yang sebenarnya. Ia merasa tidak perlu ada pertanggung jawaban apapun. Pasalnya ia pun ingin bekerja di rumah ini dengan tenang tanpa ada gangguan dari Arka atau siapapun. Dan masalah kemarin sebaiknya dilupakan saja walaupun susah. Maira tidak suci lagi, itu dalam aturan agamanya karena mereka tidak memiliki hubungan apapun tapi melakukan kontak fisik.
"Tidak bisa Maira. Sanksi agama kita sudah jelas. Kalian terlibat zina kalau Arka tidak menikahi kamu." Kali ini Witari sedikit emosi. Bagaimana bisa Maira mengabaikan ilmu agamanya? Gadis ini memang aneh.
"Tapi, Nya," Maira masih ingin membantah.
"Sudah jangan tapi-tapi. Saya pastikan Arka akan menikahi kamu," kali ini Dharma membantu istrinya yang sepertinya aan kewalahan jika menghadapi Maira sendirian. Ia bukan tidak paham mengapa Maira menolak pertanggung jawaban Arka, ia hapal betul dengan kelakukan putranya itu tentu saja.
Maira tidak akan berani membantah. Dharma memang punya aura sehebat itu jika dihadapan orang lain, tapi tidak berlaku bagi istrinya. Ia pun pamit untuk membersihkan diri dan bersiap. Selesainya langsung bergabung ke meja makan bersama ART yang lain. Ia memang diijinkan gabung bersama keluarga Pangestu, tapi semua terasa aneh jadi ia memutuskan untuk kembali ke tempat asalnya. Sedang lahap makan Maira sudah dipanggil oleh Bi Ratih agar cepat menemui Arka di meja makan. Ia berdecak kesal tapi tetap beranjak. Tidak mungkin melawan wanita yang sudah ia anggap sebagai ibu itu.
"Yang sopan ya sama Den Arka. Apapun yang dibilang iyakan saja," pesan Bi Ratih yang selalu menari cantik diingatan Maira.
Ia menghela napas pelan kemudian masuk ke dapur dimana majikannya biasa menyantap makanan bersama. "Saya, Den Arka," kata Maira saat meliihat tatapan tajam Arka.
"Ngapain lo masih dibelakang? Gue udah kesiangan," sinis Arka. Ia tidak suka saat diberitahu harus berangkat bersama Maira.
"Memangnya mau kemana, Den?" Maira terlihat bingung kemudian menatap bergantian. Ia butuh jawaban.
"Tadi pagi saya sudah bilang sama kamu," Dharma bersuara lebih dulu. Ia menatap Arka yang sekarang sedang menatap tidak suka pada Maira.
Maira menghela napas. Ia mengikuti Arka yang sudah lebih dulu keluar rumah tanpa pamit. Ia mengikuti gerakan kepala Arka yang menyuruhnya segera masuk ke dalam mobil. Sama tak bersuaranya.
Sepanjang perjalanan Arka diam. Dia tidak terima jika harus satu mobil dengan Maira, jadi sebisa mungkin ia harus membuat Maira turun dengan inisiatif sendiri dari mobilnya. Dengan sedikit pertimbangan Arka meninjak pedal gas lebih dalam hingga menambah kecepatan. Ia melirik pada Maira yang sepertinya takut. Entah takut mobil terlalu kencang atau takut memprotes. Arka tidak peduli, yang dilakukannya sekarangadalah cara terhalus yang dia punya.
"Den Arka! Menepi." Kan Arka sudah bersorak dalam hati.
"Kenapa?" Arka pura-pura ketus.
"Saya belum mau mati. Jadi Aden berangkat sendiri aja. Kalaupun mati Aden kan nggak akan ada yang menangisi," kata Maira kemudian keluar dari mobil Arka. Ia tidak peduli dengan amukan lelaki sinting di sebelahnya itu. Yang terpenting ia akan selamat dari malaikat maut yang mungkin sekarang sedang mengincar mobil Arka.
Di dalam mobil, Arka terbahak mendengar Maira yang masih menggerutu. Dia tidak perlu repot-repot mengantar gadis yang suda dipilih kedua orang tuanya untuk menjadi menantu di keluarga Pangestu itu. Namun Arka tidak segera melajukan mobilnya. Ia masih menunggu apa yang akan Maira lakukan sekarang. Ia penasaran karena gadis itu memilih duduk di pinggir jalan di banding mencari kendaraan umum atau ojek online. Ia memerhatikan Maira dengan lekat.
"Ngapain masih diem disitu sih?" kesalnya kemudian keluar dari dalam mobil. "Lo nggak ke kampus?" tanyanya saat sudah berada di dekat Maira.
"Apa urusannya sama Aden? Udah sana berangkat," kata Miara tanpa menatap Arka. Ia menghindari tatapan lelaki itu.
"Kenapa? Pusing?" kali ini Arka memperpendek jarak keduanya.
"Nggak. Udah Aden berangkat sana. Saya sebentar lagi juga berangkat," kata Maira mencegah agar Arka tidak semakin mendekat.
"Lo kenapa?" Arka menangkap hal aneh dari Maira. "Lo ketakutan ya?" tawa Arka membahana. Ia tidak menyangka jika Maira akan setakut itu. "Tenang aja, malaikat maut juga males nyabut nyawa lo sekarang. Nggak guna," katanya kemudian beranjak. Meninggalkan Maira yang kini mengepalkan tangannya kuat. Mau nangis? Malu lah, ini di jalan umum. Apa kata ayam tetangga?
Cukup lama Maira diam di tempat meskipun Arka sudah berlalu. Perlahan ia berjalan menuju pemberhentian bus yang untung saja tidak jauh. Beberapa kali ia menghela napas sembari menunguu bus. Maira sudah biasa berangkat dengan kendaraan umum, jadi ia sama sekali tiak pernah canggung melakukan hal itu. Ia pun mulai memikirkan ucapan Dharma yang akan memaksa Arka menikahinya karena kejadian tempo hari. Maira akan menolak dengan apapun caranya. Ia ke kota ini hanya untuk menuntut pendidikan demi masa depan keluarganya, tapi kejadian dengan Arka memang tidak selayaknya terjadi jika melihat dari ajaran agama. Sebenarnya ia berhak menuntut pertanggung jawaban. Tapi melihat bagaimana perilaku Arka, Ia pun mulai ragu. Biarkan saja ia harus merelakan itu di banding harus hidup bersama lelaki kurang waras itu. Ia tahu tadi Arka sengaja, tapi mendebat elaki itu juga bukan hal yang bijaksana. Di tambah Arka adalah anak majikannya, jadi rasanya akan sangat tidak sopan jika ia melakukan hal semacam itu. "Gimana nasib gue kalo sampe beneran nikah sama dia?" gumam Maira seraya mencari tempat duduk sembari menunggu bus. Ia menghela napas pelan menghapus semua ingatan yang seharusnya memang tidak muncul di saat yang tidak tepat seperti sekarang ini. Langkah Maira begitu berat memasuki bus. Ini masih pagi tapi harinya tidak cerah. Arka sudah merusaknya. Seharusnya ia menolak tadi, dengan alasan apapun tentunya agar tidak perlu mengalami kejadian seperti tadi. Nyawanya bisa melayang kalau lelaki itu lalai sebentar saja. Jika Arka yang mati bairkan saja, tapi bagaimana kalau ia yang mati? Ibunya akan sendirian.