Chereads / Iblis Manis / Chapter 5 - Bab 6 Ciuman Tak Langsung

Chapter 5 - Bab 6 Ciuman Tak Langsung

Arka masih kesal karena ternyata susu yang ia minum adalah milik Maira. Dan kedua orangtuanya yang justru meledeknya habis-habisan. Suasana hatinya buruk mendadak padahal ia akan berangkat ke Bandung untuk menemui klien penting. "Nasib gue gini banget ya," gumamnya di samping kursi kemudi. Ia mengabaikan sopir yang sejak tadi sudah berwajah masam karena menahan tawa.

"Siangnya kita ke hotel ya, Sin. Besok baru meeting lagi, hari ini cukup satu saja. Saya pusing," kata Arka pada sekretarisnya, Sinta.

"Ini masih pagi, Pak. Kok bisa pusing?" tanya Sinta yang sejak tadi diam saja memperhatikan kegelisahan bosnya.

"Iya! Mendadak mood saya buruk," jawab Arka yang enggan membahas bencana paginya.

"Mau di resechedule, Pak?" tanya Sinta pengertian.

"Nope. Kita meeting sampe siang aja. Selesai itu istirahat," pungkas Arka yang disetujui oleh Sinta.

"Iya, Pak."

Hening. Arka memilih memejamkan matanya dan menikmati alunan melodi yang sengaja ia perdengarkan untuk mengusir kekesalan hatinya. Mengingat susu juga Maira membuatnya sangat berantakan. Lagi pula memang tidak biasanya ia akan minum susu saat sarapan. Dan bagaimana ceritanya ia langsung meminum tanpa bertanya. Arka merasa sangat bodoh akan hal itu.

Tak terasa perjalanan 4 jam sudah berlalu. Kini Arka sudah berada di hadapan sang klien untuk membahas tentang kerja sama yang sebenarnya sudah terjalin sejak beberapa tahun terakhir. Dan kali ini mereka akan membahas perkembangan usaha juga kerja sama selama ini. Arka sebelumnya sudah mengirimkan beberapa berkas terkait keuntungan perusahaan yang harus di bagi, tapi klien nampaknya ingin mereka bertemu secara langsung.

Sesuai permintaannya, Sinta memesankan hotel untuk mereka saat selesai meeting. Semua jadwal akan di pindahkan esok hari. "Ini kunci kamar, Bapak. Saya di sebelah dan di sebelahnya lagi pak sopir," ucapnya tanpa jeda. Ia kasihan memang melihat Arka yang tidak sesemangat biasanya jika akan bertemu dengan klien penting, tapi juga tidak berani bertanya.

Arka masuk ke kamarnya dan langsung menuju kamar mandi yang sudah di idamkan sejak tadi. Ia pun memilih pakaian santai kemudian membuka aplikasi pesan yang ada di ponsel kesayangannya itu.

~E-CA~

Arka~

Jangan sok sibuk lo pada

Daren~

Masih jam kerja

Arka~

Sok lo.

Adrian~

Katanya meeting? Alasan doang lo

Arka~

Udah kelar

Restu~

Cepet amat. Lo meeting apa tanam saham?

Adrian~

Hahahaahahahah

Daren~

Sa ae lo kaleng rombeng

Arka~

Tanam saham lah bego. Kalo gue tanam yang lain bisa murka si Bapak di rumah, hahahahah

Restu~

Lo sama Sinta?

Adrian~

Sama Sinta?

Arka~

Ya iyalah gue sama Sinta. Emang sama siapa lagi?

Daren~

Lo tanam saham sama Sinta?

Arka terdiam sejenak memikirkan maksud sahabat kurang akhlaknya itu. Dalam hatinya merutuki maksud ambigu dari pertanyaan Restu yang justru ia tanggapi dengan serius.

Arka~

Nanam saham nggak akan cukup waktu 6 jam bego. Setan lo

Restu~

Setan ganteng kakak

Adrian~

Lo kenapa sih, Ka? Kayaknya kurang jajan

Arka~

Gue bete banget dari pagi

Daren~

@Restu @Adrian gue wakili. Kesel kenapa @Arka?

Arka pun menceritakan kejadian pagi yang menimpanya. Ia berharap sahabatnya itu bisa sedikit menghapus kekesalan yang ia rasakan sehingga bisa mengembalikan mood yang sejak pagi memang sudah sangat berantakan. Tapi sepertinya Arka lupa pada sahabat macam apa yang ia punya.

Adrian~

Jadi secara nggak langsung lo nyium Maira

Restu~

Gelas yang sama. Yang lo pake minum sisi yang mana, Ka?

Arka~

Lo pada emang temen bangsat tahu nggak

Restu~

Kan gue nanya

Arka~

Nanya lo tuh nggak penting

Adrian~

Ya penting. Kan gelas yang lo pake sama. Kalo bekasnya di tempat yang sama berarti emang ciuman secara nggak langsung

Arka~

Serah lo deh. Tambah pusing gue ngomong sama lo pada

Daren~

Lo sehat, Ka?

Arka~

Sehat lah

Dan pesan itu pun berlanjut tapi Arka sudah tidak menanggapi. Pikirannya melayang pada gelas susu. Ia tidak ingat tadi bekas bibir Maira atau bukan yang ia sesap tadi. Arka benar-benar merutuki kebodohannya karena terburu-buru. Arka pun tertidur karena terlalu lelah berpikir.

Sementara Maira, kini sudah berada di kampus. Ia memang berangkat tak lama setelah Arka pergi. Tadinya Witari ingin mengantar, tapi di tolak karena tidak ingin merepotkan. Ia sudah terbiasa melakukan kegiatan apapun sendiri. Ia menghela napas mengingat kejadian tadi pagi. Memang tidak menyangka jika Arka akan dengan mudah meminum susu yang ada di gelasnya. Ia bahkan tidak pernah melihat Arka meminum susu di pagi hari. Lelaki itu akan minum kopi atau teh sebagai teman roti sarapannya. Menghela napas sekali lagi, Maira melangkahkan akkinya menuju pelataran kampusnya. Ia tidak bisa melupakan apa yang terjadi tadi pagi. Perilaku Arka memang sangat tidak masuk akal. "Kenapa aku masih kepikiran sih?" kesalnya pada diri sendiri.

***

Dua hari berlalu. Arka kini sudah dalam perjalanan kembali ke kota. Ia berharap tidak akan melihat Maira sementara waktu. Dan berharap gadis itu sudah tidak ada di rumahnya tentu saja. Arka tidak akan rela jika harus dipaksa menikahi saudara jauh ART di rumahnya. Arka masih ingin mencari pasangan yang sesuai dengan tipenya. Ia menghela napas kasar membuat Sinta menatapnya dengan heran.

"Kenapa, Pak?" tanya Sinta.

"Nggak," jawab Arka cepat.

"Capek tidur aja. Sampai rumah di bangunin," kata Sinta yang melihat Arka memang sedikit berbeda hari ini.

"Iya. Jangan lupa semua hasil meeting hari ini kirim ke saya," kata Arka sambil memejamkan matanya. Ia ingin menghapus ingatan tentang gelas susu yang sialnya tetap bertahan manis di otak tampannya.

Suasana kembali hening. Arka sudah memejamkan erat matanya meskipun tidak benar-benar tertidur. Ia hanya tidak ingin Sinta menatapnya seperti tadi dan menghujaninya dengan banyak pertanyaan yang tentu akan sulit untuk tidak di jawab. Dan Arka adalah pribadi yang sangat tidak suka berbohong meskipun kadang harus. Suasana yang semakin tenang justru berkhianat pada Arka. Bayangan bagaimana Maira menyesap susu dari gelas yang sama dengannya justru tidak mau beranjak barang sebentar. Ia kembali berdecak kesal dan mengusap wajahnya dengan kasar. Tentu saja mengundang tatapan heran Sinta dan sopir yang hanya bisa meliriknya dari spion atas. "Jangan lihat saya begitu," kesalnya membuat Sinta dan pak sopir saling lirik kemudian meluruskan pandangan ke depan. Arka mengeluarkan ponsel dan mencari kontak seseorang. "Siapin air mandi. Bentar lagi gue sampe rumah," katanya dengan nada ketus begitu sambungan terhubung. Ia tidak membiarkan orang di seberang memberikan tanggapan jadi secepat kilat mematikan telepon dan kembali menyimpannya di saku jaz. Ia ingin melihat bagaimana wajah orang itu saat melihatnya nanti. Eh tunggu! Bukankah tadi Arka berharap orang itu tidak ada di rumahnya lagi? Lalu kenapa sekarang ia sangat ingin melihat wajahnya? Ia sekali lagi mengusap wajahnya dengan kasar. Maira benar-benar membuat hidupnya tidak tenang. 'Gue bakal buat perhitungan. Tunggu aja!" bathinnya bermonolog. Ia melempar padangan ke luar jendela untuk mengurangi bosan yang entah mengapa sangat menyiksanya. Biasanya ia akan sangat menikmati perjalanan kemanapun asal tidak ada kelurganya yang akan terus mengganggu dengan pertanyaan dan ejekan yang kadang menyinggung perasaan. Arka tidak mati rasa tentu saja, tapi menanggapi dengan serius sikap keluarganya yang memang sedikit berbeda juga bukan pilihan yang bijak. Mereka memang sudah berada di ambang batas kewarasan jika sudah berkumpul.