Chereads / Iblis Manis / Chapter 6 - Bab 7 Ketahuan

Chapter 6 - Bab 7 Ketahuan

Pagi menyapa. Arka sudah bangun, tapi enggan beranjak dari kasur memilih untuk memeriksa beberapa yang sudah di kirim Sinta sejak subuh tadi. Ia heran dengan sekretarisnya itu, bagaimana mungkin ia bisa bangun padahal tengah malam baru sampai di rumah. Ia menghela napas pelan karena Sinta lebih mirip atasan yang memerintahnya untuk mengecek segera dokumen dan mengirimkan kembali jika ada perubahan atau harus diperbaiki. Ia tahu Sinta cukup kompeten dengan pekerjaannya, gadis itu juga supel dan pandai bergaul membuat Arka tak akan canggung melontarkan candaan saat mereka sedang santai. Tanggapan Sinta juga tidak berlebihan seperti kebanyakan gadis yang menyukainya selama ini. Gadis itu sangat bisa membawa diri dalam setiap keadaan. Arka tersenyum karena menemukan orang yang tepat untuk mendampinginya dalam urusan pekerjaan.

"Bukannya mandi malah senyum-senyum sambil lihatin HP," kesal Dini yang di utus sang mama membangunkan sang kakak.

"Baru jam tujuh," balas Arka yang tidak mengalihkan pandangan sama sekali dari layar ponselnya.

"Nggak kerja?" tanya Dini yang menyusul kakaknya itu masuk ke dalam selimut.

"Siangan," jawabnya masih sibuk dengan ponsel.

"Dih Mas Arka kok lihatin fotonya mba Sinta? Sejak kapan juga Mas jadi stalker?" mata Dini melotot sempurna mengetahui jika kakaknya ini diam-diam menyimpan foto sekretarisnya. "Dini aduin mama," katanya kemudian melompat dari kasur. Namun sayang langkahnya kalah cepat dengan tangan Arka yang menangkap kaki. Dini jatuh ke kasur tapi wajahnya hampir menyentuh lantai. "Mas Arka!" pekiknya.

"Mau ngapain lo?" kesal Arka tidak memerdulikan Dini yang terus meronta minta dilepaskan. "Selangkah keluar kamar apalagi sampai buka mulut awas," ancamnya membuat Dini mencebik.

"Lagian ngapain Mas Arka nyimpen foto mba Sinta?" sekali lagi Dini menyuarakan rasa penasarannya.

"Emang kenapa?" balas Arka yang kesal dengan sikap adik yang sangat kepo itu.

"Mas Arka naksir mba DSinta? Kasian mba Amira yang udah Mas sosor ih," kata Dini yang kali ini sudah bebas dari cekalan Arka. Bahkan ia sudah duduk menatap Arka dan menuntut penjelasan.

"Maira kali namanya," sungut Arka entah kenapa justru menimpali ucapan Dini.

"Cie,,, mengakui nih ceritanya," ejek Dini sembari menaik turunkan alisnya memandang Arka.

"Mengakui apaan bocah?" Arka mendelik tajam melihat tingkah adiknya itu.

"Ku cinta kau. Ku cinta kau Maira." Dini bersenandung sembari melarikan diri dari tangan Arka yang kali ini kalah cepat dengan pergerakannya. Ia menjulurkan lidah kemudian menutup pintu disertai semburan tawa yang renyah saat mendengar Arka mengumpat. Sungguh menarik memang mengerjai kakaknya ini. Arka akan dengan mudah mengeluarkan kata kotor jika sudah tidak bisa melakukan apapun. Hal yang akan membuatnya mendapat hadiah entah dari papa atau mamanya.

Merasa kesal dengan kelakuan adiknya, Arka melempar selimut yang sedari tadi membungkus tubuhnya sembarangan. Adiknya itu pasti tidak akan diam setelah ini. Ia pun pasrah jika kembali menjadi bulan-bulanan keluarganya.

"Lesu amat tampangnya, Mas?" sapa Witari begitu melihat anak sulungnya itu menarik kursi untuk ikut sarapan bersama.

"Capek," jawab Arka singkat. Ia tidak mencium aroma ejekan di ruangan ini dan seketika menghela napas lega.

"Capek apa karena nggak ketemu sama Maira?" Arka salah. Nyatanya sang mama telah menyiapkan senjata sejak tadi untuk menggodanya.

"Jangan bikin drama deh, Ma. Arka males," kata Arka sambil meraih kopi yang baru saja di sodorkan padanya.

"Maira sakit lho kamu tinggal. Nggak mau nengokin?" Witari mengabaikan protes Arka.

"Mau dia mati sekalipun bukan urusan Arka, Ma," ketus Arka yang kali ini benar-benar tidak suka dengan apa yang dilakukan sang mama.

"Jaga omongan." Kali ini Dharma memperingati putranya. "Kamu harusnya sudah memikirkan cara bertanggung jawab pada Maira karena sudah membuatnya malu di acara keluarga kita," tambahnya saat Arka diam saja.

Hening. Arka tidak suka membahas hal ini. Rasa tubuhnya yang lelah kini lebih terasa lelah setelah mendengar pembahasan pembuka di pagi mereka. Arka bukan tidak memikirkan hal itu, tapi Maira saja tidak pernah menuntutnya lalu kenapa kelaurganya yang justru memaksa? Arka menghela napas pelan. Ia mengambil roti kemudian mengolesinya dengan selai kesukaan. Ia berdiri untuk memasukan kue itu ke pemanggang.

"Biar saya aja, Den," itu suara Maira yang muncul dari samping.

"Gue bisa sendiri," ketus Arka membuat Maira menghela napas pelan kemudian beranjak ke meja makan untuk mengambil roti dan selai.

"Selamat pagi, Tuan dan Nyonya," sapanya ramah.

"Buat siapa?" tanya Witari heran. Setahunya Maira tadi sudah sarapan lebih dulu karena semalam tidak sempat makan.

"Buat Non Dini, Nyonya. Katanya mau makan di kamar saja," kata Maira yang membuat Witari menghela napas.

"Suruh dia kesini," perintah Witari yang tidak mungkin ditolak oleh Maira.

"Baik, Nyonya," jawab Maira kemudian beranjak menuju kamar Dini yang berada di lantai 2. "Non, di suruh ke bawah sama Nyonya," ucapnya begitu menyembulkan kepala tanpa mengetuk pintu lebih dahulu.

"Haduh riweh deh si mama. Ada Mas Arka?" sahut Dini kesal tapi tetap beranjak.

"Ada. Lagi manggang roti," jawab Maira yang hanya di angguki Dini.

Mereka turun dalam diam. Dini ingin makan di kamar karena malas bertemu Arka yang tentu akan menatapnya tajam dan berusaha mengintimidasi tentang kejadian tadi pagi. Bukan ia takut, tapi Arka akan benar-benar marah jika ia kelepasan membahas masalh tadi di dahapan orang tuanya. Semua tahu sikapnya yang tidak bisa menutupi sesuatu. Jadi ia memilih menghindar walau akhirnya gagal.

"Manja banget makan di kamar," celoteh Witari begitu melihat putrinya sudah duduk manis di kursi hadapannya.

"Sambil belajar, Ma. Besok adik ulangan," bohong Dini tanpa menatap Arka yang sudah siap melemparkan bom molotov jika adiknya itu kelepasan.

"Bukan alasan?" Witari masih memandang lekat wajah putrinya yang memang terlihat tidak bersemangat itu. "Atau jangan-jangan kamu baru putus?" Arka pun terbahak mendengar pertanyaan sang mama.

"Ish mama apaan sih? Putus itu kalo adik punya pacar. Ini deket sama cowok aja nggak pernah," kesal Dini karena setelah ini Arka akan memiliki senjata baru untuk menyerangnya balik.

"Kasian banget sih adik aku ini. Jomblo ya." Benarkan. Arka tentu tidak akan diam saja setelah mengetahui fakta memalukan ini. Dini mendengus kasar.

"Diem Mas! Jaga image di depan Mba Maira biar nggak nyesel-nyesel amat udah pernah kena sosor," ketus Dini membuat Arka melotot tajam sementara Witari dan Dharma tersenyum.

"Kamu yang diem," sentakk Arka yang juga kesal karena diingatkan dengan kejadian memalukan itu.

"Mas Arka nggak akan pernah menang kalau lawan Adik. Iya kan, Ma?" Dini meminta dukungan dari wanita paruh baya yang kini mengulurkan tangannya untuk bersorak bersama.

"Kalian selalu bersekongkol. Papa juga mau lawan Arka?" kali ini Arka menatap sang papa yang sudah jelas tidak akan berkutik di hadapan sang mama. Ia tersenyum mengejek. "Suami takut istri," cibirnya membuat Dharma menatapnya dengan horor.

"Udah Mas sama mba Maira aja sekongkolnya. Cuma mba Maira yang belum kasih dukungan ke siapa-siapa ya kan, Ma?" lagi Dini mencoba membuat Arka mati kutu di hadapan keluarganya. Ia hanya ingin kakaknya itu tidak songong lagi jika sudah berhadapan dengan dirinya. Dan kali ini ia tahu bahwa Arka tidak akan bersuara jika semua berkaitan dengan Maira.