Hari sudah berganti, Arka masih melirik sinis Maira yang diminta menyiapkan roti isi untuknya. Arka bukan tidak mau, tapi ia tidak suka seolah dibuat dekat dengan gadis itu. Bukan tidak suka juga, tapi Maira itu saudara pembantunya yang kini ikut bekerja di rumahnya. Jadi apa kata dunia kalau ia bersama dengan pembantu? Ia berdecak kesal membuat semua mata menatapnya dengan heran.
"Ini rotinya, Den," suara Maira membuat tatapan itu beralih ke gadis itu.
"Makasih ya, Maira," Witari mewakili anaknya mengucapkan kalimat sakti itu.
"Nggih sama-sama, Nyonya," jawab Maira hormat kemudian undur diri. Pekerjaannya sangat banyak hari ini. Jadi ia harus segera menyelesaikannya mengingat jam 10 nanti ia sudah ada kelas.
"Maira! ambilin sepatu gue," perintah Arka saat Maira masih berada didapur. Ia melirik gadis itu untuk melihat bagaimana ekspresinya. Ia mendengus pelan karena wajah Maira biasa saja. Bahkan gadis itu sempat tersenyum saat berhasil menemukan barang yang diminta Arka.
"Ini, Den," kata Maira sembari memberikan sepatu yang dipegangnya.
"Jangan lupa bersihin kamar gue. Kalau nemu kondom balikin ke laci aja," kata Arka tanpa beban. Ia tidak menyadari tatapan lapar dari sang mama.
"Ngomong apa kamu, Ka?" sentaknya Witari.
"Apa sih ma? Emangnya Papa nggak pernah pake pengaman kalau lagi main gundu sama Mama?" jawabnya dengan gaya tidak berdosa. Ia memandang wajah papanya yang tetap menunduk. Sungguh jika bukan orangtua, Arka pasti sudah menertawakan dan mengejeknya mati-matian.
"Dini yakin Mas Arka besok resmi keluar dari keanggotaan keluarga Pangestu," timpal gadis cantik yang tetap tenang meskipun kakaknya yang kurang waras itu membahas hal yang tabu bagi usianya. Ia sudah sangat paham bahkan. Karena Arka akan selalu meletakkan barang haram itu sembarangan.
"Kamu ini sekolah tinggi IQ luar biasa tapi kelakuan minus," celoteh Witari. Ia tidak bisa membayangkan apa saja yang dilakukan putranya itu jika sedang berada diluar.
"Ih Mama sensi banget. Mana mungkin Arka bawa barang begituan?" Arka mulai menggangti topik pembicaraan. Ia tidak mungkin membiarkan orangtuanya tahu kegiatan panas apa saja yang sudah ia lakukan dengan gadis yang berbeda-beda setiap rasa 'ingin'nya muncul.
"Jangan main-main kamu," kesal Witari karena Arka selalu saja bisa mengalihkan pembicaraan. "Pasti ini gara-gara Papa," kali ini wanita paruh baya itu beralih kepada suaminya yang tidak bersuara.
"Kok papa?" heran Dharma yang tidak mengerti kenapa namanya dicatut.
"Iya. Kalau papa bisa didik Arka pasti dia nggak akan minus kelakuannya." Dharma menelan kasar salivanya melihat bagaimana tatapan horor sang istri. Kalau sudah begini dia bisa apa?
"Arka berangkat ya, Ma. Papa jangan lupa nanti siang ada meeting sama si cantik Maradona," ucap Arka sembari beranjak menghindari sendok yang sudah melayang dari tangan Dharma ke arahnya.
Dada Dharma kini kembang kempis usai kepergian Arka. Lelaki paruh baya itu ketar-katir karena istrinya langsung diam tanpa menimpali. Ragu-ragu ia mengangkat kepala dan melihat apa yang sedang Witari lakukan.
"Meeting lagi?" Witari menatap suaminya dengan tatapan membunuh. Ia tidak habis pikir kenapa suaminya masih mau bekerja sama dengan perempuan itu.
Sedikit cerita, Maradona adalah julukan untuk mantan pacar Dharma yang kini gencar meminta kerja sama perusahaan. Dharma bertemu wanita itu tentu tanpa sepengetahuan istrinya. Jika Witari tahu, tombak masa depannya sudah pasti akan terancam dibekukan dan tamatlah sudah riwayat tangguhnya mencangkul ladang.
"Ini kerja sama perusahaan ya, Ma. Nggak usah dikait-kaitin sama yang lain," jawabnya mencoba mencari jalan agar aman dan selamat.
"Sejak kapan?" tanya Witari masih dengan nada ketus meski tak sesarkas tadi.
"Sejak sebulan lalu." Dharma pun pamit ke kantor. Ia merutuki mulut Arka yang memang tidak pernah bisa untuk diajak berkompromi jika berurusan dengan yang namanya "Wanita". Anaknya itu akan memiliki banyak cara untuk membuatnya mendapat hukuman dari sang mama. Dharma pun memikirkan cara untuk membalas lelaki setengah usianya itu.
***
Arka pulang kerja. Suasana rumah sangat sepi karena sang mama mengaku akan menjenguk temannya yang sedang sakit setelaha arisan. Ia tidak melihat Dini, mungkin adiknya itu sedang berada di kamar. Lamat-lamat Arka mendengar suara seseorang menyanyi dari arah dapur. Ia pun melangkah ke ruangan perabotan itu sekaligus mengambil minum.
Disana Arka hanya melihat Maira yang sedang menyiangi sayuran. "Mau jadi pengamen?" ejeknya sembari meletakkan gelas bekasnya ke wastafel.
"Astagfirullah, Den Arka!" Maira langsung menatap tajam pada Arka yang kini menatapnya heran. "Bisa nggak masuk rumah ngucapin salam?" tambahnya begitu melihat wajah tak berdosa anak majikannya itu.
"Ini rumah gue," sahut Arka acuh.
"Tahu. Tapi bukan berarti nggak ngucap salam kalau masuk," sahut Maira tak mau kalah.
"Mulut siapa?" tanya Arka sembari melepas sepatunya di dekat tangga.
"Den Arka-lah," Maira menjawab cepat.
"Ya udah. Terserah gue dong jadinya mau ngucap salam atau nggak." Perdebatan ngga penting yang Arka lakukan hanya buang-buang tenaga saja sebenarnya.
"Kenapa Tuan Dharma bisa punya anak kayak Den Arka sih," gerurut Maira memilih mengabaikan Arka yang entah sedang apa masih berada di dapur.
"Bikinin gue Mie kuah pedas paket lengkap," kata Arka sembari berlalu. Ia tidak mengatakan apapun membuat Maira berdecak kesal.
"Bikin aja sendiri. Bosy banget," gerutu Maira begitu Arka tidak ada di dapur. Ia mengeluarkan mie, telur dan juga sayuran.
"Kenapa, Mai?" tanya Bi Ratih yang baru datang dari menngangkat jemuran.
"Bulek kok betah sih sama, Den Arka? Nyebelin gitu orangnya," adu Maira tanpa menutupi kekesalannya.
"Tapi ganteng kan?" iseng Bi Ratih mengerlingkan mata pada Maira.
"Gantenglah. Semua wanita pasti terpesona sama Arka, Bi," suara Arka membuat Maira segera memutar bola matanya malas kemudian memasukan mie ke dalam panci yang berisi sayuran dan sosis. "Mana mie gue?" lanjut Arka.
"Bentar," ketus Maira membuat Arka menaikkan sebelah alisnya.
Arka memilih diam dibanding menyahuti Maira. Ia tidak enak dengan Bi Ratih yang juga ada disana. Baginya wanita paruh baya itu sudah seperti ibu karena ikut merawat dan menjaganya sejak kecil.
"Nih," kata Maira sembari menyodorkan semangkuk mie kepada Arka yang sudah memainkan sendoknya dengan gaya yang sangat tidak sopan. "Bisa sabar kan," tambahnya ketika Arka menatapnya dengan kesal. Dia siap beranjak saat Arka mulai menyuapkan mie ke dalam mulutnya.
"Mau kemana?" suara Arka menghentikan langkah Maira.
"Beres-beres dapur, Den Arka," ucap Maira dengan nada kesal yang sangat kentara.
"Sini. Kalau gue belum selesai makan lo nggak boleh kemana-mana," kata Arka membuat Maira mengumpat dalam hati. "Nggak usah nanya kenapa, kalau mie ini nggak enak lo harus habisin," tambahnya saat melihat Maira akan membuka mulut. 'Yes, gue kerjai lo. Pembantu kok songong,' gumam Arka dalam hati karena merasa menang sudah bisa mengerjai. Ia pun makan dalam diam. Beberapa suapan sudah masuk ke dalam mulutnya. Sesekali ia melirik Maira yang memberengut disampingnya. Ide jahil kembali muncul. "Rasanya hambar. Lo aja yang makan," katanya sembari mendorong kasar mangkuk yang dipegangnya ke Maira.
"Hambar tapi udah mau habis, Den?" ejek Maira.
"Tadi terpaksa dimakan karena laper. Sekarang lo yang abisin." Sadisnya Arka, masa Maira disuruh ngabisin makanan sisa.
"Sisa, Den," gerutu Maira.
"Emang kenapa? Gue orang kaya, siapa tahu habis makan sisa gue lo ketularan tajir gitu," seloroh Arka membuat Maira melongo. "Makan sekarang, gue tungguin lo sampe selesai. Awas kalo lo buang," ancamnya.
Dengan terpaksa Maira makan mie sisa Arka. Ia tidak ingin berlama-lama bersama manusa aneh yang sialannya tampan itu. Sementara Arka kini sudah tertawa dalam hati karena Maira tidak bisa melawannya. "Kalo bukan majikan udah jalan ke surga lo," lirih Maira yang sebenarnya mirip umpatan.