Chereads / Please Stay With Me. / Chapter 11 - Pukul Saja Aku Gelora

Chapter 11 - Pukul Saja Aku Gelora

Wanita itu masih belum sadarkan diri, sehingga membuat Pragma berkali-kali menghela napas panjang.

"Sayang," panggilnya pelan masih setia memandang Gelora. Posisinya ikut berbaring menyamping di sebelah wanita itu, dengan kepala yang bertumpu pada salah-satu tangannya yang ditekuk, sedangkan tangan yang satunya aktif mengelus wajah Gelora. Bahkan ia tak sungkan membuat pola-pola abstrak di pipinya, setelah itu dia mengecupnya hingga sedikit menghasilkan bunyi.

Cup

"Akhirnya aku menemukanmu." Kali ini, kecupan tersebut mendarat pada bibir ranum Gelora. Wanita itu masih belum sadarkan diri.

Cukup lama dan sedikit menyesap bibir yang masih menjadi candunya, hingga detik ini. Euforia masih berpihak padanya, bukan lagi semu tapi ini semua sudah nyata di depan matanya. Sekarang dia sudah bersama wanitanya. Lengkungan lebar pada bibirnya terus saja tertarik, seiring dengan ia yang terus mengecupi seluruh permukaan wajah wanitanya.

"Hihihi, aku senang," kikiknya geli merasa malu-malu dengan Gelora, sungguh gila bukan? Wanita itu masih belum sadar, entah apa yang akan ia perbuat saat telah sadar nanti. Dengan bodohnya Pragma masih saja memikirkan kesenangan yang baru saja ia temui dan dapatkan, tanpa mau memikirkan berbagai risikonya.

"Eunghh," Pragma mengerjab pelan saat mendengar lenguhan kecil dari Gelora.

Matanya melirik ke sana kemari untuk mengurangi rasa gugupnya, yang entah kenapa datang secara tiba-tiba.

Mata hazel itu sudah sepenuhnya terbuka, kembali menyipit saat sinar cahaya masuk ke dalam netranya, iris mata cokelat itu mengerjab pelan menyesuaikan cahaya yang masuk.

Saat kesadarannya telah kembali sepenuhnya, Gelora kembali merotasikan matanya beberapa saat, menatap ke sana kemari dan menyadari ia berada di tempat asing.

"Brengsek," umpatan kasar itu lolos begitu saja dari bibir ranumnya saat ia melihat ke bawah, tepatnya pada perutnya ada tangan kekar yang melilitnya, berotot dan berurat itu. Dan ia tahu siapa pemiliknya.

"Yeayyy, akhirnya, Loraku sudah bangun," pekik Pragma sembari tersenyum semakin lebar.

"Apa yang kamu lakukan brengsek!" balasnya semakin murka. Saat Pragma dengan berani membaringkan kepalanya di atas dadanya.

"Lora kamu jangan marah terus, aku gak suka tahu," cibirnya membuat Gelora dengan kasar menarik rambut Pragma. Menyingkirkan kepala jahannam itu darinya.

"Akhhh, sakit Sayang," ringis Pragma merasakan rambutnya ditarik kasar.

"Kamu!" Tunjuk Gelora semakin murka padanya.

"Jangan mengangguku terus, jangan memanggilku dengan embel-embel Sayang! Sesungguhnya aku sangat jijik padamu, dasar gila, brengsek," katanya semakin sarkas dan tajam. Bak sebuah ujung tombak yang sangat runcing menusuk dada kiri Pragma tepat pada jantungnya yang berdetak, sehingga semakin hancur berkeping-keping dan darahnya semakin berdesir hebat, bukan karena merasakan dejavu karena jatuh cinta. Akan tetapi, kehancuran yang terus mengobrak-abriknya.

"Kamu boleh menghukumku atas semua kesalahanku, Sayang. Tapi tolong jangan membuat hatiku semakin hancur dengan perkataan kasarmu. Kalau boleh, pukul saja aku semaumu, tapi tolong jangan berkata kasar kepadaku. Hatiku sakit," urainya menatap Gelora dengan mata memerah menahan buliran air matanya.

"Oia, tunggu sebentar yah," ujar Pragma lagi segera beranjak dari tempatnya mengambil sesuatu dari dalam nakas kecil, dekat tempat tidurnya kemudian meraih tangan Gelora.

"Ini, hukum aku semaumu, pukul saja aku, tapi jangan mengucapkan kata-kata kasar kepadaku. Di dalam sini, masih selalu tergiang-giang kamu mengataiku, Sa–sayang. Aku hikss ... tidak suka kamu berkata kasar kepadaku." Pragma mengatakan itu sambil memukul-mukul telinganya, tak lupa isakan-isakan kecil keluar dari bibirnya.

Gelora menatap lamat benda yang diberikan Pragma di telapak tangannya. Tatapannya kembali naik pada Pragma yang memejamkan mata, serta pria itu tak henti-hentinya meracau tidak jelas sembari terus memukuli telinganya.

"Lora bantu aku hiks...."

"Jangan mengatakan jijik padaku, kamu tidak boleh jijik Lora," racau Pragma semakin menjadi.

"Aku juga tidak brengsek!"

"Aku mencintaimu Sayang," teriaknya membuat Gelora tersentak seiring langkahnya semakin mundur ke belakang. Membentang jarak pada Pragma.

"Dia seperti terkena gangguan jiwa," pikir Gelora menyadari gelagat aneh dari Pragma.

"Cukup Pragma, apa yang kamu lakukan seperti itu. Gendang telingamu bisa pecah, jika kamu terus memukul telingamu," ucap Gelora menarik tangan Pragma yang brutal memukuli telinganya.

"Aku benci mendengar kata-kata kasarmu, di dalam telingaku ini, masih terus saja tergiang perkataanmu yang sangat kasar kepadaku," adunya berurai air mata.

Sejenak Gelora kembali menghela napas, kemudian mengembuskannya kasar. Menatap mata emerald itu dengan pandangan tak dapat diartikan.

"Ini kenapa?" tunjuknya pada lengan Pragma, di sana terdapat banyak goresan luka. Sepertinya luka itu masih baru.

"Aku tidak tahu," jawabnya pelan mengalihkan tatapannya.

Kalau diperhatikan dari dekat seperti ini, tubuh Pragma terlihat agak kurusan dari biasanya.

"Ambil ini kembali, aku tidak akan pernah bisa menyakitimu dengan benda tajam ini." Gelora mengembalikan pisau kecil itu pada Pragma.

"Tidak, kamu harus melukaiku dulu, setelah itu jangan meninggalkanku lagi," balasnya cepat mendorong tangan Gelora.

"Pragma," bentak Gelora tanpa sadar. Mantan suaminya ini sungguh keterlaluan sekali. Dengan kasar ia membuang pisau kecil itu, ujungnya yang sangat tajam dipastikan dapat merobek kulit dengan cepat. Gelora takut membayangkan hal itu.

"Maaf," ucap Pragma menundukkan kepalanya. Hatinya kembali sakit mendengarkan bentakan dari Gelora.

"Cepat katakan, aku ada di mana?" tanya Gelora akhirnya. Menahan diri untuk tidak marah kepada Pragma dan sejak kapan, Pragma jadi menyebalkan seperti ini.

"Kamu ada di rumah kita Sayang. Maaf yah, mansion ini agak kecil dari mansion kita di London," jelas Pragma turut mengamati apa yang Gelora lihat.

"Kecil apanya," dengus Gelora sinis. Bagaimana tidak, di dalam ruangan yang sekarang ia tempati sangatlah luas, Gelora tebak ini adalah kamar Pragma. Tatapan wanita itu jatuh pada setiap dinding kamar Pragma, di sana banyak sekali foto-fotonya bersama Pragma. Dalam hati ia merigis melihat salah-satu dari foto mereka, di sana mereka tengah bercumbu dengan mesra di bawah menara eiffel.

"Lupakan Gelora, jangan ingat hal itu," batinnya segera mengalihkan pandangannya. Saat tertangkap basah oleh Pragma menatap foto mereka.

"Aku tidak akan melupakan itu Sayang. Bibirmu sangat manis," celetuknya tiba-tiba memeluk Gelora dari belakang, menumpukan dagunya di pundak Gelora. Ke dua tangannya memeluk erat perut wanita itu.

"Lepaskan," sentak Gelora cepat. Kembali melepas paksa lilitan tangan Pragma dari perutnya.

"Jangan menekan perutku, bodoh!" umpatnya sekali lagi.

Cup

"Bibirmu ini sungguh manis dan mematikan di saat yang bersamaan. Aku bilang jangan terus mengumpatiku," ujar Pragma menatap Gelora tajam.

Wanita itu turut menatap Pragma tajam sembari terus mengelus perutnya. "Bagaimana caranya aku keluar dari sini?" pikirnya, sama sekali tak mengalihkan tatapannya pada Pragma.

"Aku mau pulang," sahut Gelora setelah lama diam. Melangkahkan kakinya mendekati pintu, sontak perlakuannya itu berhasil menyentak Pragma.

"Kamu tidak boleh pergi Gelora. Kamu mau pergi ke mana, di sini rumah kamu," tekan Pragma menarik Gelora dari belakang dengan satu tangannya. Lalu bergegas mengunci pintu kamarnya.

"Lepaskan," protes Gelora saat merasakan kesakitan pada perutnya, yang terlalu ditekan oleh Pragma.

"Dan kembalikan kuncinya Pragma," lanjutnya berusaha menggapai kunci itu.

"Tidak akan," imbuh Pragma mengangkat tangannya tinggi-tinggi, saat Gelora terus berusaha mengambilnya.

"Tolong Pragma, berikan kuncinya, aku mau ke rumah sakit," ucapnya lirih. Tanpa sadar membuat Pragma mengalihkan atensi sepenuhnya.

"Ke rumah sakit?" tanyanya, dengan alis yang hampir menyatu petanda bingung.

"Iya, dan juga, aku membutuhkan banyak uang. Jadi tolong, jangan terus menghalangiku," mohonnya pada Pragma. Saat pria itu masih saja diam, berusaha mencerna semua ucapannya. Gelora dengan refleks mengambil kunci, setelah itu, dia mendorong Pragma hingga terjungkal ke belakang.

Brukk

"Oh, shit Sayang. Kamu nakal," umpatnya. Sedangkan Gelora dengan cepat membuka pintu kamar, bergegas keluar. Dan secepat kilat ia mengunci pintu itu dari luar. Sangat tanggap dan licik masih sama seperti dulu, namun itulah Gelora.

Bersambung