Chereads / The Scenario / Chapter 3 - a Deal

Chapter 3 - a Deal

Setelah tawar menawar itu terjadi. Semua kembali pada porosnya. Sena kembali duduk dengan manis di balik meja kerjanya dengan setumpuk dokumen di bagian sisi kiri meja. 

Tapi, mau bersikap biasa pun, nyatanya Sena sedikit tak bisa fokus. Lebih-lebih ketika Rio mengatakan langsung, jika wanita itu harus ikut dengannya dalam meeting di siang harinya. 

Jika soal bagaimana respons rekan sesama sekretarisnya itu. Sena sama sekali tak peduli. Mau rekan kerjanya itu mendumal sampai mulutnya mengeluarkan busa juga siapa yang akan peduli. Anggap saja dia orang tidak waras. 

Meski saat bekerja, nyatanya Rio begitu profesional. Seolah tengah tak terjadi apa pun antara dirinya dengan lelaki itu. Tapi tetap saja, ada satu bagian yang membuat Sena jadi tak nyaman. 

Dan, Sena pikir segala rasa tak nyamannya itu akan sirna ketika ia sudah pulang ke apartemennya, saat sore tiba.

Nyatanya juga tidak. Di ruang tamu dia hanya terdiam dengan wajah datar dan rahang setengah mengeras. Satu jam saat ia masih menikmati empuknya kasur di dalam kamar. Bel apartemennya berdenting berkali-kali banyaknya. 

Satu tamu tak terduga yang sekarang ini tengah datang. 

"Ooo... jadi di sini kau tinggal," satu gumaman mengudara percuma.

"Katanya, kau baru pulang dua minggu yang lalu, ya, adikku yang cantik?" sambung suara bariton itu, lagi. 

Mendengar pertanyaan semacam itu sontak saja membuat Sena merasa mual. Dia masih menatap lurus nan tajam pada lawan bicaranya. 

"Untuk apa kau datang kemari?" Malah baik tanya Sena dengan nada ketusnya. 

Tamu itu adalah lelaki dengan paras tampan nan rupawan. Jika dalam mitologi Yunani ada takhta Dewa tertampan. Maka, itu sudah pasti bisa digeser dengan paras lelaki di hadapan Sena yang sempat menyebut gadis itu sebagai adiknya yang cantik. 

Tamu itu adalah Vernalt Lyod. Lelaki 35 tahun yang saat ini menyandang status sebagai kakak tiri Sena setelah masing-masing orang tua mereka menikah. Dua tahun yang lalu tepatnya. 

Pria dengan wajah tampan nan rupawan itu adalah anak satu-satunya dari keluarga Lyod yang namanya sudah terkenal karena bisnis pertambangan minyak dan gas di daratan Eropa. 

Karena Vernalt adalah anak satu-satunya. Maka, sudah pasti warisan terbanyak akan jatuh ke tangannya kendati ayahnya sudah menikahi janda tiga orang anak. Iya, janda itu adalah ibu dari Scenasia. 

Kembali pada Vernalt yang berhasil masuk ke dalam apartemen Sena setelah menekan berkali-kali banyaknya bel. Dia tengah duduk di sofa panjang dengan tubuh yang sepenuhnya bersandar di badan sofa. Ia merentangkan tangannya dan menyandarkannya juga pada badan sofa. Jangan lupakan dengan kaki yang menyilang, menandakan jika lelaki itu memang bos yang sesungguhnya. Tak kenal dengan siapa dia berbicara dan di mana dia tengah berada saat ini. 

Lalu Sena sendiri. Rahangnya masih saja mengeras dan gigi-giginya yang saling mengerat satu sama lain. Tatapannya dingin nan acuh, pun dengan gestur tubuhnya yang menandakan satu penolakan atas kehadiran Vernalt. 

"Ternyata, kau masih saja sama ya? Masih kaku dan angkuh. Kecuali satu hal--ketika kau di atas--" 

"Katakan dengan segera, apa tujuanmu datang kemari. Aku sangat lelah sehabis bekerja dan kau tiba-tiba datang seperti orang kesetanan," Sena menyahut memotong ucapan Vernalt yang sudah bisa ia tebak akan ke mana arahnya. 

Vernalt terkekeh sejenak. "Adikku yang cantik. Kenapa kau masih saja seperti ini? Aku ini kakak--" 

"Iya! Semua orang juga tahu jika kau itu kakak tiriku. Lalu kenapa? Haruskah aku menjadi manis saat di depanmu?" Sekali lagi Sena memotong ucapan Vernalt, masih dengan nada ketus dan tatapan dinginnya. 

Vernalt terkekeh samar. Dia turunkan kakinya dan sedikit mengubah posisi duduknya. Sedikit menyamping melihat ke arah Sena yang tengah duduk di sofa singgel, di sisi kanan dari posisi sofa panjang yang tengah ia duduki saat ini. 

"Baiklah. Kau mungkin masih marah denganku. Tapi, jika kau penasaran apa tujuanku untuk datang kemari. Jika saja kau lupa, nanti malam, Ayahku dan Ibumu akan mengadakan makan malam untuk merayakan kepulanganmu," Vernalt menjelaskan maksud kedatangannya kali ini. 

Sena mendesau samar lantas dia membuang tatapannya ke samping sejenak. "Penting bagimu untuk datang kemari dan hanya memberitahu soal makan malam untuk perayaan kepulanganku ini?" 

Pria itu mengangguk dengan mantapnya. "Kurasa iya. Karena kau memang harus datang, bukan?" Balik tanya Vernalt. 

Sena menarik setengah dari senyumnya. Lantas dia segera mengubah posisi duduknya dengan menyilangkan kaki jenjangnya. Dan hal itu sukses membuat manik Vernalt langsung tertuju pada kulit mulus Sena bagian paha yang terekspos dengan jelas. 

"Jaga matamu!" Sungut Sena yang seketika saja menegur Vernalt. 

"Kenapa? Bukankah kita--" 

"Jangan membahas apa pun selain apa tujuanmu datang kemari saat ini!" Sena memotong, menyalak begitu saja. 

Maka, satu tawa renyah benar-benar tengah meramaikan sepinya apartemen milik Sena ini. 

"Oke, baiklah. Kau mungkin masih saja malu karena itu. Jangan malu, Cantik. Tawaranku waktu itu masih tetap berlaku sampai hari ini atau kapan pun jika kau mau," ucap Vernalt menyiratkan satu hal lain yang pernah mereka lalui di masa lalu. 

Sena terdiam dan melirik tajam ke arah Vernalt. Benci! Hanya benci yang kini tengah Sena rasakan atas nama lelaki Lyod ini. 

Tapi dia lebih memilih diam saja dan tak menanggapi lebih, selain hanya lirikan tajamnya saja yang terlihat jelas. 

Vernalt embuskan napas besarnya dengan cepat lantas dia segera bangkit dari duduknya. Dia membetulkan lagi tatanan mantel panjang dan juga dasinya.

"Kurasa, selain aku ingin tahu di mana tempat tinggalmu saat ini. Aku juga sudah selesai menyampaikan undangan ibumu agar kau datang untuk acara makan malam. Juga, segera baca pesan dari ibumu, Cantik. Jangan biarkan orang tua menunggu terlalu lama," Vernalt berucap panjang lebar. Selanjutnya, lelaki itu segera melangkahkan kakinya menuju ke arah pintu apartemen Sena. 

Tapi, sebelum dia benar-benar keluar dari apartemen Sena. Saat dia tengah menyentuh gagang pintu tepatnya. Dia menghentikan langkahnya lantas memutar sedikit tubuh guna melihat Sena dengan jelas. 

"Tawaranku masih tetap berlaku, Scenasia. Dan aku tidak akan pernah diam begitu saja. Aku tidak peduli dengan status kita saat ini. Kau mau pulau pribadi, jet, atau kapal pesiar bahkan perhiasan paling mahal di dunia ini. Akan ku berikan asal kau menerima tawaranku yang satu itu," lelaki itu berucap panjang lebar menyampaikan satu tujuan lain dari kedatangannya ini. 

"Mau sampai kapan kau akan seperti ini, Ver?!" ketus Sena namun dia juga penasaran. 

"Aku tidak yakin gadis seacuh dirimu bisa punya kekasih atau seseorang yang mampu membuatku percaya jika kau adalah miliknya. Jadi, kupikir sampai kau punya kekasih, mungkin?" Sahuti Vernalt dengan acuhnya sembari mengendikan bahunya di akhir kata.

Sena yang mendengar itu hanya menampakkan wajah tak percayanya. 

"Dan jangan berpikir jika kau akan menyewa sahabatmu itu. Siapa namanya? Jimin? Jimmy atau siapa itu. Karena aku sudah tahu siapa dia," sambung Vernalt menegaskan satu hal yang telah ia ketahui sebelumnya. 

Sena seketika mengatupkan kedua rahangnya dan maniknya yang menyorot tajam tak suka pada Vernalt. 

"Baiklah, Adikku. Jangan lupa nanti malam, jam delapan, huh?" Dan debum daun pintu apartemen itu, menandakan bahwa keduanya telah terpisah. 

Sepeninggal Vernalt. Sena buru-buru mengembuskan napas sesaknya. Ulu hatinya sakit dan kedua pelupuk matanya memanas. Namun dia tengah menahannya mati-matian. Bukan Scenasia namanya jika dia bisa meneteskan air mata dengan mudahnya. 

Setelah mondar-mandir tak jelas di dalam kamar. Akhirnya Sena meraih benda persegi pipih itu tanpa pikir panjang. 

"Ya. Aku menerimanya." Satu ucapan singkat itu telah terlontar dari ranum seksinya. Satu kesepakatan telah ia setujui sore itu.