STILL FLASH BACK ON ...
Katanya; jangan berikan Aphrodisiac pada seorang Scenasia Russ. Cukup biarkan dia menghabiskan sebanyak-banyaknya alkohol dan biarkan dia mabuk berat. Maka, wanita itu akan lebih liar ketimbang efek dari sebutir obat perangsang.
Jika saja dia menolak ajakan Jimmy malam itu. Mungkin esoknya, ia tak akan terbangun dengan tubuh polos di atas ranjang besar nan empuk lantas di sisinya ada sebuah cek senilai setengah miliar dari orang yang sama sekali tak ia kenal.
Sialan memang!
Itu memang sedikit memalukan bagi Scenasia yang paling anti melakukan cinta semalam. Sayangnya, pengaruh alkohol yang berlebihan itu, memang tak bisa ditolak lagi.
Ingatan terakhirnya adalah ketika ia ditinggalkan Jimmy karena lelaki itu harus menemui clinetnya yang kebetulan ada di sekitar club. Tapi, bahkan ketika Scenasia sudah menenggak bergelas-gelas alkohol. Lelaki dengan bibir pulm paling seksi itu tak juga datang kepadanya.
Karena terlalu mabuk namun masih ada sedikit kesadaran. Scenasia mengakhirinya sendiri. Dia harus keluar dari kelab dan mencari Jimmy atau jika tidak ketemu. Dia akan mencari taksi saja dan memilih untuk pulang.
Sayangnya. Segala usahanya untuk keluar dari bangunan super berisik itu tak ada gunanya. Dia malah menabrak seorang lelaki yang tampan memang, seingatnya. Lalu, karena tubuhnya yang terlalu mabuk parah. Dia hanya merasa bahwa tubuhnya tengah rubu pada objek yang nyaman.
Scenasia bahkan sempat mengendus bagaimana feromon bercampur dengan parfum yang maskulin itu sampai pada Indera pembaunya. Ternyata itu lebih memabukkan daripada banyaknya cairan coklat pekat dengan rasa pahitnya tadi.
Tubuhnya ambruk dan tak mau menghindar. Dia malah beringsut dengan nyaman sembari mengendus sepuasnya persis pada bagian ceruk leher. Ini gila dan memabukkan. Tapi, Scenasia menikmatinya. Dan dia tak akan peduli.
Seingatnya lagi, saat masih di dalam kelab. Tubuhnya seperti diangkat dalam sebuah gendongan. Dan benar saja, gendongan itu membuatnya berakhir dengan tubuh tanpa selesai benang di balik selimut putih nan tebal ini.
Wanita itu tengah memijat kecil keningnya sendiri. Dia tengah merasai bagaimana pening yang menyerang kepalanya. Termasuk merasai lagi tubuhnya yang terasa kaku dan ngilu-ngilu. Entah bagaimana semalam dia melakukan hal menggelikan itu dengan seseorang yang tak ia kenali.
Tapi, jika boleh diceritakan berdasarkan sisa-sisa ingatannya. Semalam itu begitu luar biasa. Scenasia bukannya tak pernah melakukan hubungan intim. Seks pertamanya ia lakukan bersama dengan mantan kekasihnya saat keduanya baru saja menginjak kelas dua di bangku SMA. Lalu, setelah itu sampai sekarang ini. Sampai usianya sudah di angka 24 tahun. Dia tak lagi pernah pacaran atau melakukan seks dengan orang lain.
Dirinya terlalu sibuk dengan banyaknya pekerjaan dan bisnis kecil-kecilan yang tengah ia bangun bersama dengan keluarganya.
Kembali pada sisa-sisa ingatan soal semalam. Sungguh, itu adalah rasa asing yang sakit namun begitu nikmat. Bagaimana benda besar itu bisa menerobos ketatnya dinding hangatnya sampai tertelan dengan sempurna.
Ia juga ingat. Semalam dia bahkan sempat menjerit hebat dan mencakar punggung lelaki itu dengan kuat ketika dorongan hasratnya makin-makin tinggi saja.
Dan satu lagi ingatan Scenasia yang masih mampu ia ais adalah dia sama sekali tak mendengar suara Si lelaki. Hanya sesekali geraman dengan suara rendah dan napas yang menderunya saja saat puncak putih itu tiba.
Lalu sekarang. Efeknya baru terasa siang ini. Selangkangannya ngilu, kulit di bagian dadanya juga terasa ngilu disertai banyak sekali bekas merah keunguan yang menggelikan. Bibirnya terasa bengkak. Intinya, seluruh tubuhnya terasa remuk bukan main.
Saat ia akan merebahkan lagi tubuhnya. Ponselnya bergetar panjang di atas nakas, di sisi ranjang. Ada nama Jimmy yang tertera di sana.
"Semalam kau ke mana, Sen?" satu tanya sumbang itu seketika mampir pada rungu Scenasia tanpa permisi.
Bukannya menjawab. Yang ada, Scenasia malah mengumpat. "Kupikir kau sudah mati, Jim?" balik tanyanya.
Latas, malah suara kekehan renyah yang didapatkan oleh Scenasia setelahnya. Itu Jimmy pelakunya.
Semalam, bukannya Jimmy tak mencari Scenasia setelah meninggalkan temannya itu selama berjam-jam lamanya guna menemani client untuk sekadar menikmati masing-masing kopi dan membicarakan proyek dari kerja sama yang masih terjalin selama empat tahun terakhir ini.
Saat dia kembali masuk ke dalam kelab. Beberapa orang yang tahu soal Scenasia menjawab bawah wanita itu keluar dalam gendongan seorang lelaki karena terlalu mabuk parah.
Jimmy juga sempat menghubungi nomor Scenasia. Namun, bahkan sudah tiga kali panggilan itu berlangsung. Tak satu pun yang terhubung dengan Scenasia.
Dan ... ya. Jimmy sama sekali tak khawatir. Paling Scenasia akan diantarkan pulang ke rumah atau mungkin akan berakhir tergolek lemas begitu saja di atas ranjang kamar hotel kenamaan Swiss dengan tubuh polos.
"Tertawamu itu tidak lucu, Jim!" Scenasia menyala dan menghentikan sang empunya di seberang sana.
"Sorry, Baby Girl. So, what should I do?"
"Just come and pick me up from this fucking hotel!" desis Scenasia kepalang marah.
Maka, sekali lagi tawa girang itu benar-benar meramaikan telinga Scenasia sampai wanita itu makin muak dan mematikan sambungan teleponnya begitu saja. Detik setelahnya, ia mengirimi satu pesan singkat guna mengabarkan di mana dia berada saat ini.
Scenasia berjalan setengah tertatih menuju ke arah kamar mandi. Dia harus segera membersihkan tubuhnya sebelum keluar dari tempat memaukan ini.
Sembari menunggu air dalam jacuzzi itu setengah penuh. Scenasia tengah duduk di pinggirannya dan maniknya sepenuhnya menatap bagaimana Ibu Kota mulai sibuk kendati ini adalah hari libur.
Saat ujung jemarinya yang menggantung di dalam jacuzzi telah menyentuh permukaan air. Dia mengerjap sejenak. Ia kembali melihati tampilan tubuhnya yang penuh dengan bekas merah keunguan kecuali di bagian leher yang masih mulus dan bersih meski dia ingat sekali jika semalam ada satu lidah basah nan hangat yang menjilatinya di bagian itu.
Scenasia mengangguk samar dan sedikit bersyukur karena tak ada bekas memalukan dan menyusahkan yang tertinggal di sana saat ini.
Di menit pertama. Air hangat itu sepenuhnya merendam tubuh payah Scenasia sampai dengan sempurna. Hanya terlihat bayang dari air yang bergoyang dan helai-helai surainya yang mengambang di atasnya.
Dalam diamnya itu. Scenasia merasai lagi dengan baik bagaimana rasa tubuhnya. Juga, dia sempat berpikir. Apa semalam lelaki itu memakai pengaman atau tidak.
Entah iya atau tidak. Untuk saat ini dia tak mau memikirkannya. Lagi pula, selama ini dia selalu rutin untuk melakukan kontrol mengenai rahimnya. Entah dia melakukan seks atau tidak. Dia bahkan tak pernah terpikirkan untuk hamil dan memiliki anak. Jadi, hal-hal semacam itu memang harus ia lakukan hanya agar nantinya jangan sampai dia bisa hamil dan punya anak.
Saat oksigennya makin menipis. Wanita itu membuka matanya lebih dulu dan segera naik ke permukaan. Dia menarik satu napas besar dan menyandarkan tubuhnya pada bagian ujung serta mencengkeram kuat pinggiran bak mandi besar itu dengan kuat sembari mengatur pasokan oksigennya lagi.
*************
"Bagaimana, Nona Russ?" jahil sekali caranya bertanya. "Apa semalam lembut sampai sesiang ini kau baru saja bangun tidur," sambungnya lagi.
"Tutup mulutmu, Tuan Jimmy Suh!" sungut Scenasia pada Jimmy tentunya.
Lelaki dengan tubuh atletis dan bibir super seksi itu telah datang ke hotel dan masuk sekaligus tepat ketika Scenasia telah selesai dengan acara mandinya.
Wanita itu membukakan pintu dengan tubuh yang dibalut bathrobe putih pun gelungan handuk putih pula di atas kepala.
Jimmy duduk di sofa dekat jendela sembari memerhatikan lagi bagaimana kekacauan yang tercipta di atas ranjang semalam itu.
"Kau tahu. Akan kau apakan uang setengah miliar itu?" sambung Scenasia sembari menujukan cek yang ada di sisinya saat dia baru saja bangun dari tidurnya siang tadi.
Jimmy memiringkan sedikit kepalanya ke kiri dengan wajah tengah berpikir. "Habiskan untuk mempercantik dirimu. Memeriksakan rahimmu seperti biasanya. Karena, kau tidak mungkin hamil dari lelaki yang tidak kau kenal, 'kan?" enteng sekali cara Jimmy menjawab.
Scenasia mendecih sempurna. Mendadak ia menjadi benci setengah mati pada sosok temannya itu. Tapi, mau dibenci seperti apa juga, dia 'kan memang Jimmy Suh! Bahkan bibir dan otaknya itu sama sekali tak memiliki rem ketika berucap dan berpikir. Bablas!!!
"Tidak akan! Aku melihat kondom dan isinya ada di dalam tong sampah kamar mandi,"
Mendengar jawaban ringan setengah sebal itu sontak membuat Jimmy menggut-manggut kepala dengan bibir melongo setengah kaget, seolah ingin melabeli sosok lelaki yang telah menggagahi Scenasia dengan gelar pro.