Chereads / The Scenario / Chapter 7 - an Escape

Chapter 7 - an Escape

"Aku tidak tahu kenapa ibuku sampai bisa menikah dengan ayahmu, Tuan?" tanya Sena dengan kedua pelupuk mata yang sudah memerah. 

Rasa-rasanya baru beberapa bulan yang lalu ayahnya meninggal. Bahkan tanah kuburnya saja masih merah. Dan ibunya sudah akan menikah dengan lelaki lain. 

Sena benar-benar terkejut dengan keputusan mendadak sang ibu. Karena nyatanya, dia bahkan tak pernah tahu jika ibunya sudah menjalin hubungan percintaan dengan duda kaya raya pengusaha tambang minyak dan gas. 

Jujur saja. Sena kecewa saat ini. Dia bahkan belum mengiyakan izin ibunya untuk kembali menikah dengan kekasihnya dalam waktu kurang dari satu minggu ini. Tapi semuanya tetap berjalan seolah meminta izin kepada Scenasia itu adalah sebatas formalitas saja. 

Sedang Tuan yang diajak Scenasia berbicara itu adalah anak dari—anggaplah dari ayah tirinya saat ini. 

Dia memang sengaja memanggil Tuan karena dia memang tak tahu siapa nama anak dari ayah tirinya itu, yang bahkan jika ditanya siapa nama ayah tirinya saja, dia sendiri tak yakin akan bisa menyebutkannya dengan benar. Tapi, untuk yang satu itu. Scenasia pasti tahu jika lelaki di sisinya ini adalah anak dari ayah tirinya. 

Bukan sengaja mencari tahu. Tapi, dia memiliki satu kepentingan dengan lelaki itu. 

Keduanya tengah duduk di sebuah bangku taman sedikit jauh tempat pesta pernikahan itu tengah berlangsung pagi itu. 

"Apa kau tahu, Tuan—" 

"Namaku, Ver—" 

"Aku tidak peduli siapa namamu!" saling potong memotong kalimat itu akhirnya dimenangkan oleh Scenasia dengan nada setengah menyalaknya. 

"Ayahku baru saja meninggal!" sambung Scenasia, terjeda. 

Dadanya sudah kembang kempis menahan sesak. Tapi, dia tak ingin menangis lagi. Karena itu bukan lagi Scenasia yang biasanya. Scenasia yang kuat menjalani hari beratnya serang diri selama ini. 

"Tck! Itu jelas bukan urusanmu dan tidak seharusnya aku mengatakannya juga. Tapi apa kau tahu jika sebelum ini ayahmu memiliki hubungan dengan ibuku? Aku hanya curiga jika kematian ayahku itu adalah bagian rencana dari pernikahan ini? Kenapa kau hanya diam saja, Tuan?! Kenapa tidak menjawabnya?!" 

Scenasia meracau menanyakan banyak hal pada sosok asing di sisinya ini. Yang namanya hanya sampai pada kata "Ver" saja. 

Sedang Si lelaki itu hanya diam saja melihat bagaimana Scenasia menjadi seputus asa ini. 

"Yang perlu kau tahu, Nona. Hubunganku dengan ayahku tidak sebagus yang kau kira. Jadi, aku pasti tidak akan tahu atau lebih tepatnya tidak mau tahu dengan kisah cinta ayahku sendiri." Jawab Si lelaki sambil mengangguk samar.

"Dan sekarang, aku menyesal karena baru saja mengetahuinya saat ini," sambung lelaki itu. 

"Maksudmu? Menyesal karena apa? Karena ayahmu yang menikahi ibuku, begitu?" tak mengeti Scenasia. 

Lelaki itu terkekeh samar. "Menyesal kenapa aku baru tahu jika malam itu adalah kau, Nona," jawabnya. 

"Hah?" 

"Harusnya malam itu aku membawamu saja pulang dan menikahimu di keesokan harinya," sambung Si lelaki yang malah menambah kebingungan Scenasia. 

"Kau lupa, ya?" tanya Si lelaki, lagi. 

"Ma—maksudmu?" balik tanya Scenasia. Bingung, bingung sekali dia saat ini. 

"Sudah kau gunakan untuk apa uang setengah miliar itu? Kau tidak hamil kan setelah itu?"

Kak terhantam palu gada dalam seketika. Scenasia melongo tak percaya. Dia ingat dengan kejadian malam itu di hotel kenamaan Swiss, kamar presiden suit. 

"Ver ... nalt? Kau ..." tak tuntas ucapan Scenasia dan lelaki itu mengangguk kepalanya.

"Iya, aku Vernalt Lyod," 

Scenasia bungkam dalam seketika. Dari yang mulanya dia marah sekali. Kini sudah berubah menjadi malu sekali. Bahkan jika saja boleh jujur, dia masih terngiang-ngiang betapa jalangnya dirinya waktu itu saat dalam pengaruh alkohol ditambah dengan feromon memabukkan dari Si lelaki. 

Si lelaki yang telah menggagahinya waktu itu dan kali ini kembali bertemu dengannya dan telah menjadi saudara tirinya sekaligus ini bernama Vernalt Lyod.

"Aku tidak peduli dengan status para orang tua di sana itu. Jadi, menikahlah denganku tanpa sepengetahuan mereka. Aku punya beberapa pulau pribadi yang jauh dari negara ini. Kita akan hidup berdua dan kau pasti akan mendapat pelayanan terbaik olehku. Malam-malam kita pasti akan selalu pana—"

Belum selesai tawaran gila Vernalt. Telapak tangan Scenasia sudah mendarat begitu saja ke pipi Vernalt dengan kerasnya. 

"Mati saja, kau, brengsek!" umpat Scenasia dan segera mengambil langkah lebarnya sembari mengangkat gaun panjang yang ia kenakan agar mempermudah langkahnya untuk menjauh. 

Saat dia kembali dalam acara pesta itu. Dia bertemu Jimmy yang baru saja datang katanya. 

Dia menyeret tubuh Jimmy begitu saja untuk keluar dari acara pesta itu. 

"Hey kenapa, Babe?" tanya Jimmy penasaran sembari terus melangkah mengikuti langkah Scenasia. 

Panggilan sayang semacam itu bukan hal tabu bagi keduanya. Meski awalnya Scenasia merasa risi. Tapi, lama kelamaan, Scenasia menjadi bodoh amat. Terserah maunya Jimmy seperti apa. Toh, mau diingatkan juga tidak akan mempan. 

"Antarkan aku pulang, Jim!" ketus Scenasia yang seketika saja tahu di mana letak mobil Jimmy tengah di parkir. 

"Baby girl! Why? This is your mom's party, Baby?" 

"Fucked up, Jim! Please!" sentak Scenasia dengan wajah memerahnya. sampai beberapa tamu undangan yang tak sengaja lewat di sekeliling mereka sampai menoleh dengan tatap terkejutnya. 

"O—okay, Babe. Yes, sure!" setuju Jimmy pada akhirnya dan segera ia membukakan pintu mobil untuk Scenasia. 

Saat dalam perjalanan menuju rumahnya. Dua sahabat itu hanya diam saja. Itu semua jelas sukses membuat Jimmy penasaran bukan main. Tapi, dia tahu jika sahabatnya ini sedang tak baik-baik saja. Karena dia memang jadi orang pertama, tempat Scenasia berkeluh kesah soal pernikahan ibunya kali ini. 

"tolong bukakan resleting bajuku, Jim," ujar Scenasia saat keduanya baru saja masuk ke dalam rumah Scenasia. 

"Apa, Sen?" 

"Kau tuli?! Bukakan resleting bajuku!" Wanita kembali menyala. 

Tak pernah seumur-umur Jimmy mendapati Scenasia penuh dengan kemarahan semacam ini. 

Jimmy mendekati Scenasia dan segera memeluk wanita itu dari depan. "Kau kenapa, Sen?" Tanyanya lirih.  "Apa yang membuatmu menjadi semarah ini, Baby?" sambungnya. 

"Aku ingin pergi dari negara ini," balas Scenasia dengan nada setengah bergetarnya. 

"Apa?! Kau kenapa, Scenasia? Kenapa sampai ingin pergi dari negara ini?!" Penasaran Jimmy makin mengeratkan pelukannya pada Scenasia. 

Sahabat yang paling dia percayai selama ini hanya Scenasia saja. Tidak ada yang lain. Jadi, ketika wanita dalam dekapannya ini berkata akan pergi dari negara ini. Jimmy jelas tidak bisa menerimanya begitu saja. 

"Kau ingat kejadian di hotel beberapa bulan yang lalu itu?" baik tanya Scenasia setelanya. 

Jimmy merenggang. Dia menatap lamat pada manik Scenasia. 

"Dia adalah saudara tiriku, Jim! Bagaimana bisa aku harus bertemu dengan wajahnya lagi setelah satu hal memalukan waktu itu?! Dia bahkan menawariku untuk menikah tanpa menghiraukan status ibuku dan ayahnya saat ini apa? Bukankah itu gila, Jim?!!!" 

Jimmy terdiam dan menerima setiap perkataan Scenasia dengan baik. Dalam embusan napas pendeknya itu. Dia bisa menerima bagaimana situasinya. Dia kembali maju pada tubuh Scenasia. Jemarinya terulur guna menurunkan kepala resleting dari gaun Scenasia dalam diamnya. 

Baiklah. Untuk yang satu ini. Meski berat, Jimmy akan merelakan sahabatnya pergi sejauh mungkin dari negara ini. 

Cukup dirinya saja yang tahu wanita itu akan ke mana. Maka, Jimmy pasti akan membantu Scenasia dengan sebaik mungkin. 

Tanpa malu lagi. Scenasia melepas gaunnya begitu saja di depan Jimmy termasuk melepas stilettonya dan berlalu menuju ke lantai dua di kamarnya. Dia harus bergerak cepat sebelum pesta itu selesai. Dia tak akan mengatakan ke mana dia akan pergi karena dia memang belum tahu akan pergi ke mana. Tapi, sepucuk surat itu harus diketahui oleh ibunya dengan baik setelah kepergiannya. 

Jimmy mengekor di balik tubuh Scenasia yang hanya dibalut dengan sepasang bra dan panties hitam saja itu. 

Dia akan membantumu Scenasia memasukkan barang-barang yang akan wanita itu bawa. 

"Nenekku ada di pedesaan Jerman. Apa kau tertarik untuk di sana?" tawar Jimmy sembari memasukkan barang-barang wanita itu ke dalam sebuah koper besar. 

"Pesankan aku tiketnya, Jim. Aku sudah terlalu lelah di sini! Vernalt dan keluarganya begitu gila! Aku takut!" cicit Scenasia sembari mengenakan kaos pendeknya setelah sukses mengenakan celana jeansnya. 

"Vernalt?" tanya Jimmy tak mengerti. 

"Namanya Vernalt Lyod!" Pertegas Scenasia dan Jimmy hanya mengangguk selagi dirinya yang tengah mengutak-atik ponselnya untuk memesankan satu tiket penerangan ke Jerman. 

Sesuai rencananya. Scenasia benar-benar meninggalkan rumahnya tanpa memberitahukan ke mana dia akan pergi dan hanya meninggalkan secarik note di atas meja dekat ranjang tidurnya. 

Dan, Scenasia telah menghilang bak ditelan bumi dalam seketika setelah itu. 

Semua berkat bantuan Jimmy yang merahasiakan keberadaannya bahkan sengaja meminta menghapus nama Scenasia dalam buku penumpang pesawat hari itu dengan mudahnya.

FLASH BACK OFF ...